Perkembangan dan penggunaan teknologi informasi yang semakin pesat dewasa ini membawa dan memberikan dampak yang signifikan bagi seluruh lapisan masyarakat, dan termasuk juga adalah anakanak. Teknologi berbasis informasi tersebut dipahami kemudian sebagai Internet. Mieke Komar Kantaatmadja menjelaskan: "Teknologi internet semakin memudahkan setiap anak untuk berelasi dalam sebuah dunia maya yang bersifat abstrak universal, lepas dari keadaan, tempat dan waktu" Internet membawa pada suatu keadaan yang tidak lagi memiliki pemisah ruang dan waktu. Salah satu keunggulan yang ditawarkan oleh Internet adalah kecepatan penyediaan dan perolehan informasi tersebut (Kantaatmadja, 2002: 14).
     Namun demikian bagaikan satu mata uang yang memiliki dua sisi, maka Internet dan segala kecanggihan teknologi tentunya memberikan dampak lain yang cukup signifikan bagi lahirnya suatu kejahatan yang kemudian dapat memancing munculnya kerentanan bagi anak sebagai korban sekaligus pelaku dalam sebuah konstruksi kejahatan di dunia maya, melalui fasilitasnya yang online serta wireless. Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom menegaskan dampak penggunaan internet yang semakin banyak sangat berkaitan erat dengan pihakpihak tertentu dalam melakukan tindak pidana. (Mansyur dan Gultom, 2005: 95). Bentuk-bentuk kejahatan seperti pornografi, perjudian, pencurian, dan lain-lain dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak pada usianya.
     Untuk itu menjadi hal yang paling utama mengintegrasikan perlindungan tersebut kepada penggunanya. Namun demikian tidak dapat ditolak secara fakta, kecenderungan tereksploitasinya anak sebagai korban dari kejahatan siber, yang khusus di dalam artikel ini akan membahas mengenai Online Child Sexual Eksploitation. Mengenai hal tersebut, Anjan Bose menegaskan sebagai berikut:
New platforms used for exploiting children:
- social networks
- peer to peer file sharing networks
- TOR (The Onion Router) networks
- Cloud storage and encyrpted file distribution
- Emerging forms of sexual exploitation of sexual exploitation of children:
- Real time streaming of sexual exploitation abuse
- Interactive video chat rooms
- Online games (MMORPGS)
- Virtual 3D platforms (Bose, 2012:4-5)
Merujuk pada pendapat tersebut, sesungguhnya menunjukkan bagaimana teknologi internet bermanifestasi menjadi suatu sarana untuk terciptanya eksploitasi pada anak.
- Kejahatan Siber dan ProsesÂ
- Viktimisasi Pada Anak Atas Kejahatan Siber
Pertumbuhan dan perkembangan teknologi Internet (teknologi informasi) memberikan information added yang memang dibutuhkan oleh penggunanya, dan sekaligus berperan sebagai pemicu (trigger) bagi munculnya kejahatan canggih yang disebut dengan cyber crime, dan yang menimbulkan korban dalam perspektif kejahatan siber itu sendiri, walaupun tidak dipungkiri teknologi internet dan segala akselerasinya memberikan dampak positif yang luar biasa, khususnya bagi perkembangan di bidang perekonomian.Â
     Internet memberikan kemudahan dan keuntungan secara positif, dan penggunanya kemudian mengembangkannya untuk melakukan aktivitas-aktivitas di dunia maya. Aktivitas yang nyaman tersebut kemudian dimanfaatkan pula oleh para pelaku kejahatan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi kelemahan-kelemahan dalam jaringan internet. Sifat dan karakteristik cyber crime atau kejahatan siber sepertinya tidak nampak akan membawa kekerasan bagi para korbannya, tetapi kemudian hal tersebut telah berubah paradigmanya.
    Pengertian cyber crime atau kejahatan siber dapat dipahami dari beberapa pendapat ahli sebagai berikut: Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom menyatakan ciri-ciri khusus cyber crime adalah: 1. Non-violence (tanpa kekerasan); 2. Sedikit melibatkan kontak fisik (Minimize of physical contact); 3. Menggunakan peralatan (equipment) dan teknologi; 4. Memanfaatkan jaringan telematika (telekomunikasi, media dan informatika) global (Mansur dan Gultom, 2005:27).
     Clifford, disarikan dalam buku Petrus Golosse, menyatakan bahwa Cybercrime berbeda dengan kejahatan komputer lainnya, karena adanya kecepatan cyberspace sehingga terjadi perubahan mendasar mengenai kejahatan tersebut. Hal tersebut adalah: 1. Karena kecanggihan cyberspace, dalam hal ini dimaksudkan bahwa kejahatan dapat dilakukan dengan cepat; 2. Karena cyberspace yang tidak terlihat secara fisik, maka interaksi baik individu maupun kelompok terjadi sehingga pemikiran yang dianggap illegal di luar dunia cyber dapat disebarkan ke masyarakat melalui dunia cyber; 3. Karena dunia cyber yang universal memberikan kebebasan seseorang idenya termasuk yang illegal seperti muncul bentuk kejahatan baru, seperti cyberterrorism; 4. Karena cyberspace tidak dalam bentuk fisik, maka konsep hukum yang digunakan menjadi kabur; 5. Kejahatan cyber bukan merupakan kejahatan domestik, tetapi sudah menjadi masalah internasional, dan sifat kejahatannya transnational. (Golose, 2008:27). Dengan demikian pada dasarnya karakteristik kejahatan siber adalah sebagai berikut: a. Terdapat sistem elektronik (computer) yang terhubung dengan jaringan; b. Dapat berbentuk kejahatan lama atau baru; c. Pelaku tindak pidananya sulit terjangkau; d. Bersifat non violence, dan tidak meninggalkan bekas secara fisik, tetapi secara elektronik dalam bentuk data elektronik; e. Merupakan Tindak Pidana Lintas Batas; f. Dilakukan melalui jaringan sistem informasi, baik privat maupun publik.
     Terkait dengan sifatnya yang non violence, berdasarkan pendapat dari Shinder sebagaimana dikutip oleh Petrus Golose, dapat dipahami bahwa selain sifatnya yang non violence, pada kejahatan siber itu dapat pula muncul menjadi suatu yang bersifat violence. Shinder membagi cyber crime menjadi 2 kelompok, yaitu sebagai berikut: a. Cybercrime with violence (kejahatan dengan kekerasan atau secara potensial mengandung kekerasan, seperti cyberterrorism, assault by threat, cyberstalking, dan child pornography; b. Cybercrime without violence (tanpa kekerasan), seperti cybertrespass, cybertheft, destructive cybercrimes, dan other non violent cybercrime  (Golose, 2008:34-42).