Mohon tunggu...
Rendi Wirahadi Kusuma
Rendi Wirahadi Kusuma Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Pakuan

Seorang mahasiswa Hukum di Universitas Pakuan, gemar dalam membaca, belajar, dan mendalami setiap seluk belum ilmu pengetahuan terkait hukum, penelitian dan penulisan sudah menjadi kewajiban, penuangan argumentasi dalam berdebat sudah menjadi kebutuhan dalam kehidupan, mengkritisi dan memahami adalah kegiatan keseharian.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Cyber Child Sexual Exploitation Dalam Perspektif Perlindungan Atas Kejahatan Cyber

3 Januari 2025   16:19 Diperbarui: 3 Januari 2025   16:19 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

         Perkembangan dan penggunaan teknologi informasi yang semakin pesat dewasa ini membawa dan memberikan dampak yang signifikan bagi seluruh lapisan masyarakat, dan termasuk juga adalah anakanak. Teknologi berbasis informasi tersebut dipahami kemudian sebagai Internet. Mieke Komar Kantaatmadja menjelaskan: "Teknologi internet semakin memudahkan setiap anak untuk berelasi dalam sebuah dunia maya yang bersifat abstrak universal, lepas dari keadaan, tempat dan waktu" Internet membawa pada suatu keadaan yang tidak lagi memiliki pemisah ruang dan waktu. Salah satu keunggulan yang ditawarkan oleh Internet adalah kecepatan penyediaan dan perolehan informasi tersebut (Kantaatmadja, 2002: 14).

         Namun demikian bagaikan satu mata uang yang memiliki dua sisi, maka Internet dan segala kecanggihan teknologi tentunya memberikan dampak lain yang cukup signifikan bagi lahirnya suatu kejahatan yang kemudian dapat memancing munculnya kerentanan bagi anak sebagai korban sekaligus pelaku dalam sebuah konstruksi kejahatan di dunia maya, melalui fasilitasnya yang online serta wireless. Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom menegaskan dampak penggunaan internet yang semakin banyak sangat berkaitan erat dengan pihakpihak tertentu dalam melakukan tindak pidana. (Mansyur dan Gultom, 2005: 95). Bentuk-bentuk kejahatan seperti pornografi, perjudian, pencurian, dan lain-lain dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak pada usianya.

         Untuk itu menjadi hal yang paling utama mengintegrasikan perlindungan tersebut kepada penggunanya. Namun demikian tidak dapat ditolak secara fakta, kecenderungan tereksploitasinya anak sebagai korban dari kejahatan siber, yang khusus di dalam artikel ini akan membahas mengenai Online Child Sexual Eksploitation. Mengenai hal tersebut, Anjan Bose menegaskan sebagai berikut:

New platforms used for exploiting children:

  • social networks
  • peer to peer file sharing networks
  • TOR (The Onion Router) networks
  • Cloud storage and encyrpted file distribution
  • Emerging forms of sexual exploitation of sexual exploitation of children:
  • Real time streaming of sexual exploitation abuse
  • Interactive video chat rooms
  • Online games (MMORPGS)
  • Virtual 3D platforms (Bose, 2012:4-5)

Merujuk pada pendapat tersebut, sesungguhnya menunjukkan bagaimana teknologi internet bermanifestasi menjadi suatu sarana untuk terciptanya eksploitasi pada anak.

  • Kejahatan Siber dan Proses 
  • Viktimisasi Pada Anak Atas Kejahatan Siber

Pertumbuhan dan perkembangan teknologi Internet (teknologi informasi) memberikan information added yang memang dibutuhkan oleh penggunanya, dan sekaligus berperan sebagai pemicu (trigger) bagi munculnya kejahatan canggih yang disebut dengan cyber crime, dan yang menimbulkan korban dalam perspektif kejahatan siber itu sendiri, walaupun tidak dipungkiri teknologi internet dan segala akselerasinya memberikan dampak positif yang luar biasa, khususnya bagi perkembangan di bidang perekonomian. 

         Internet memberikan kemudahan dan keuntungan secara positif, dan penggunanya kemudian mengembangkannya untuk melakukan aktivitas-aktivitas di dunia maya. Aktivitas yang nyaman tersebut kemudian dimanfaatkan pula oleh para pelaku kejahatan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi kelemahan-kelemahan dalam jaringan internet. Sifat dan karakteristik cyber crime atau kejahatan siber sepertinya tidak nampak akan membawa kekerasan bagi para korbannya, tetapi kemudian hal tersebut telah berubah paradigmanya.

        Pengertian cyber crime atau kejahatan siber dapat dipahami dari beberapa pendapat ahli sebagai berikut: Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom menyatakan ciri-ciri khusus cyber crime adalah: 1. Non-violence (tanpa kekerasan); 2. Sedikit melibatkan kontak fisik (Minimize of physical contact); 3. Menggunakan peralatan (equipment) dan teknologi; 4. Memanfaatkan jaringan telematika (telekomunikasi, media dan informatika) global (Mansur dan Gultom, 2005:27).

         Clifford, disarikan dalam buku Petrus Golosse, menyatakan bahwa Cybercrime berbeda dengan kejahatan komputer lainnya, karena adanya kecepatan cyberspace sehingga terjadi perubahan mendasar mengenai kejahatan tersebut. Hal tersebut adalah: 1. Karena kecanggihan cyberspace, dalam hal ini dimaksudkan bahwa kejahatan dapat dilakukan dengan cepat; 2. Karena cyberspace yang tidak terlihat secara fisik, maka interaksi baik individu maupun kelompok terjadi sehingga pemikiran yang dianggap illegal di luar dunia cyber dapat disebarkan ke masyarakat melalui dunia cyber; 3. Karena dunia cyber yang universal memberikan kebebasan seseorang idenya termasuk yang illegal seperti muncul bentuk kejahatan baru, seperti cyberterrorism; 4. Karena cyberspace tidak dalam bentuk fisik, maka konsep hukum yang digunakan menjadi kabur; 5. Kejahatan cyber bukan merupakan kejahatan domestik, tetapi sudah menjadi masalah internasional, dan sifat kejahatannya transnational. (Golose, 2008:27). Dengan demikian pada dasarnya karakteristik kejahatan siber adalah sebagai berikut: a. Terdapat sistem elektronik (computer) yang terhubung dengan jaringan; b. Dapat berbentuk kejahatan lama atau baru; c. Pelaku tindak pidananya sulit terjangkau; d. Bersifat non violence, dan tidak meninggalkan bekas secara fisik, tetapi secara elektronik dalam bentuk data elektronik; e. Merupakan Tindak Pidana Lintas Batas; f. Dilakukan melalui jaringan sistem informasi, baik privat maupun publik.

         Terkait dengan sifatnya yang non violence, berdasarkan pendapat dari Shinder sebagaimana dikutip oleh Petrus Golose, dapat dipahami bahwa selain sifatnya yang non violence, pada kejahatan siber itu dapat pula muncul menjadi suatu yang bersifat violence. Shinder membagi cyber crime menjadi 2 kelompok, yaitu sebagai berikut: a. Cybercrime with violence (kejahatan dengan kekerasan atau secara potensial mengandung kekerasan, seperti cyberterrorism, assault by threat, cyberstalking, dan child pornography; b. Cybercrime without violence (tanpa kekerasan), seperti cybertrespass, cybertheft, destructive cybercrimes, dan other non violent cybercrime  (Golose, 2008:34-42).

         Sutan Remi Sjahdeini menambahkan bahwa yang menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya kejahatan siber adalah: "... Pengakses dan pengguna jaringan komputer/Internet bersifat anonim (tidak diketahui siapa yang menggunakan jaringan itu) dan tidak mudah dilacak; karena sifatnya yang demikian itu, maka banyak yang mengatakan bahwa tindak pidana komputer adalah suatu "perfect crime"...; Penegak hukum tidak dapat mengendalikan Internet; misalnya munculnya child pornography yang menjamur merupakan kejahatan yang tidak dapat dicegah ataupun ditindak.... (Sjahdeini, 2009:47-48).

  • Perspektif Hukum Perlindungan Anak

         Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Child on the Sale of Children, Child Prostitution, and Child Pornography yang merupakan protokol pilihan atas Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh banyak negara, dan oleh Indonesia baru saja diratifikasi dan kemudian diundangkan dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Child on the Sale of Children, Child Prostitution, and Child Pornography. Optional Protocol tersebut dikeluarkan dengan mengingat beberapa hal, antara lain: Concerned about the growing availability of child pornography on the Internet and other evolving technologies, and recalling the International Conference on Combating Child Pornography on the 

         Internet, held in Vienna in 1999, in particular its conclusion calling for the worldwide criminalization of the production, distribution, exportation, transmission, importation, intentional possession and advertising or child pornography, and stressing the importance of closer cooperation and partnership between Government and the Internet Industry. Believing that the elimination of the sale of children, child prostituion and child pornography will be facilitated by adopting a holistic approach, addressing the contributing factors, including underdevelopment, poverty, economic disparities, inequitable socioeconomic structure, disfunctioning families, lack of education, urban-rural migration, gender discrimination, irresponsible adult sexual behaviour, harmful traditional practices, armed conflicts and trafficking in children.

         Adapun makna dari Child sexual exploitation dapat dipahami sebagai: "Commercial sexual exploitation of children as "a sexual abuse by an adult accompanied by remuneration in cash or in kind to the child or third person(s)" (UNICEF, 2001: 1). Online child sexual exploitation berarti pengeksploitasian seksual anak secara online. Melalui penjelasan tersebut dipahami bahwasanya eksploitasi seksual komersial anak dikategorikan sebagai suatu kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa yang diikuti dengan pembayaran kepada anak tersebut maupun kepada pihak ketiga lainnya. Dengan perkataan lain, dalam sebuah pemaknaan eksploitasi seksual komersial, seorang anak akan dibeli oleh seorang dewasa dengan diberikannya pembayaran baik kepada si anak maupun pihak ketiga lainnya (mucikari). Pada sexual exploitation tersebut terdapat pihak lain yang mendapatkan keuntungan berupa uang, keuntungan, maupun alasan lainnya dari aktivitas seksual yang melibatkan anak, baik laki-laki maupun perempuan.

         Pemahaman mengenai eksploitasi seksual komersial tersebut dapat pula termasuk aktivitas prostitusi anak. Interalia dengan pengertian tersebut, pada Artikel 2 huruf b Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, child prostitution and child pornography mengartikan: "Child Prostitution means the use of a child in sexual activities for remuneration or any other form of consideration". Sederhananya dapat dipahami bahwa menggunakan anak dalam kegiatan seksual untuk mendapatkan pembayaran atau bentuk keuntungan lainnya, yang dapat meliputi perbuatan menawarkan, memperoleh, melelang atau menyediakan seorang anak untuk kegiatan prostitusi anak.

         Adapun yang dimaksud dengan Sale of children menurut Artikel 2 huruf a Optional Protocol tersebut adalah: "Sale of children means any act or transaction whereby a child is transferred by any person or group of persons to another for remuneration or any other consideration". Pemaknaan ini dapat dipahami dengan sebuah bahasa yang sederhana bahwa anak berada di dalam suatu konstalasi perdagangan atau penjualan, yang dapat ditujukan untuk diberikannya suatu remunerasi. Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya disebut sebagai UU PTPPO) menjelaskan secara definisi yang dimaksud            dengan             perdagangan    orang adalah: Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang             dengan             ancaman          kekerasan, penggunaan             kekerasan,       penculikan, penyekapan,        pemalsuan,             penipuan, penyalahgunaan kekerasan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

         Perspektif UU PTPPO menekankan makna perdagangan orang pada adanya serangkaian proses yang dapat dilakukan sebagai tindakan awal untuk mewujudkan adanya suatu perbuatan perdagangan, tetapi yang tidak harus diwujudkan semuanya. Proses tersebut ternyata diikuti dengan serangkaian cara yang sifatnya dapat mempermudah untuk tercapainya niat tersebut, dengan sebuah tujuan agar orang tersebut dapat dieksploitasi atau untuk tujuan eksploitasi. Perbuatan yang dilarang dalam UU PTPPO pada hakikatnya meliputi: (1). Perbuatan untuk melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat untuk mengeksploitasi orang tersebut. Ketentuan ini menegaskan perbuatan tersebut dilarang meskipun mendapat persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain. (vide Pasal 2 UU PTPPO); (2). Perbuatan memasukkan orang ke dalam wilayah RI dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah RI atau di negara lain (vide Pasal 3 UU PTPPO); (3). Perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang yang membawa WNI ke luar wilayah RI, yang dilakukan dengan maksud untuk dieksploitasi di negara lain (vide Pasal 4 UU PTPPO).

         UU PTPPO memasukkan pula mengenai makna perdagangan orang adalah termasuk perdagangan anak. Namun tidak secara eksplisit dijelaskan mengenai makna perdagangan anak itu apa, karena perdagangan orang dewasa dengan anak pastinya berbeda. UU PTPPO hanya memaksudkan adanya pemberatan sebanyak 1/3 dari ancaman pidana maksimumnya apabila perdagangan tersebut dilakukan terhadap seorang anak (vide Pasal 17 UU PTPPO).  Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dipahami bahwasannya perdagangan orang yang termasuk di dalamnya adalah perdagangan anak dapat meliputi berbagai bentuk yang menyebabkan terjadinya suatu eksploitasi.

         Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut sebagai UU Perlindungan Anak) pada hakikatnya telah mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang untuk dilakukan baik berupa eksploitasi seksual, eksploitasi ekonomi, percabulan, persetubuhan, sampai dengan perdagangan anak. Beberapa ketentuan pidana tersebut meliputi: (a). Pasal 78 UU Perlindungan Anak, yang pada hakikatnya mengatur mengenai dilarangnya suatu perbuatan di mana setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang terekploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual, anak yang diperdagangkan,... dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta; (b). Pasal 81 Ayat (1) UU Perlindungan Anak, yang mengatur mengenai ketentuan pidana atas perbuatan di mana setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, diancam pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda minimum Rp. 60 juta dan maksimal Rp. 300 juta; (c). Pasal 81 Ayat (2) UU Perlindungan Anak menegaskan pula bahwa ketentuan Pasal 81 Ayat (1) diterapkan pula bagi setiap orang yang ternyata dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Mens rea dalam Pasal 81 Ayat (2) dilakukan dengan suatu kesengajaan untuk melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak, sehingga dilakukan persetubuhan baik dengan pelaku maupun dengan orang lain; (d). Pasal 82 UU Perlindungan Anak yang menekankan pada adanya perbuatan dilarang bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Atas perbuatan tersebut, UU Perlindungan Anak mengancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun, dan denda paling banyak Rp. 300 juta dan paling sedikit Rp. 60 juta; (e). Pasal 83 UU Perlindungan Anak menegaskan larangan bagi perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual. Ancaman pidana yang dikenakan bagi pelanggaran atas Pasal 83 adalah pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp. 300 juta dan paling sedikit Rp. 60 juta.

         Permasalahan mengenai eksploitasi seksual anak secara online meminta perhatian yang sangat banyak dari seluruh komponen masyarakat dan Pemerintah. Trend yang terjadi adalah Internet dan fasilitas komunikasi lainnya yang disediakan melalui Internet dipergunakan untuk mengeksploitasi anak secara seksual. Internet dapat mendukung dilaksanakannya praktik-praktik prostitusi anak, child sex tourism, pornografi anak yang dilakukan melalui media online. Ahmad Taufan Damanik menambahkan sebagai berikut: "The internet further supports the child sex tourism industry by providing patrons of these tours a means by which to easily connect with like-minded others throughput the world" (Damanik, 2012: 2).

        Australian Federal Police, Christopher Sheehan menjabarkan dalam presentasinya sebagai berikut: Experience shows -- offenders: a. Network online; b. Groom children and carers to gain access; c. Network to arrange sexual abuse of children; d. Distribute child exploitation material including material produced during CST; e. Contribute to the supply and demand for child exploitation material (Sheehan, 2012:8). Berdasarkan penjelasan tersebut menunjukkan adanya kecenderungan dipergunakannya Network online oleh para pelaku kejahatan eksploitasi seksual pada anak untuk melakukan perbuatan jahatnya. Jaringan online dipergunakan untuk mempersiapkan ekspoloitasi seksual pada anak. Kemudahan untuk mengakses internet memungkinkan pendistribusian materi-materi yang memuat pornografi anak dan segala sesuatu yang bersifat eksploitasi atas anak. Kemudahan yang ditimbulkan lainnya adalah pada banyaknya permintaan dan penawaran di internet atas material pornografi dan eskploitasi seksual anak yang menyebabkan semakin sulitnya untuk pencegahan dan pemberantasan atas kejahatan seksual anak yang dilakukan melalui dunia siber.   

         UNICEF di dalam laporan penelitiannya menjelaskan anak sebagai korban kekerasan seksual ternyata memiliki korelasi pada munculnya dampak serius. Child victim of sexual or physical abuse = 4x increased risk of suicidal thoughts and attempts; Child victims of sexual abuse = 3x more likely to experience intimate partner violence as an adult  (Mc Coy, 2012:13).

         Melihat dari penelitian UNICEF tersebut sesungguhnya menunjukkan suatu keprihatinan yang sangat besar bagi seluruh Pemerintahan di dunia, termasuk dalam hal ini Pemerintah Indonesia, masalah pemecahan masalah atas eksploitasi seksual terhadap anak, yang disebabkan oleh alasan apapun, yang seharusnya tidak boleh diberlakukan kepada anak. Prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak harus selalu berada di dalam pikiran dan menjadi mind set bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mewujudkan perlindungan hukum yang tebaik bagi anak.

         Pemerintah Indonesia melalui Undang Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the child on the Sale of Children, Child prostitution and child pornography menunjukkan komitmen dan keseriusan di dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi anak, khususnya di dalam meresponse berkembangnya jenis kejahatan seksual terhadap anak melalui media online dan media lainnya. Untuk itu Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional harus turut serta secara aktif dalam rangka mencegah, memberantas, dan menghukum pelaku tindak pidana penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak. Disadari betul oleh seluruh lapisan masyarakat dan Pemerintah Republik Indonesia bahwa penjualan anak, pornografi anak, dan prostitusi anak yang di dalamnya termasuk pula child sex tourism merupakan bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang sudah mengarah pada tindak pidana. Untuk itu perlu dilakukannya upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan yang relevan bagi tindak pidana tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun