Adanya pernyataan Sultan Hamengkubuwono, bahwa dalam penentuan keistimewaan Yogyakarta akan diberlakukan sebuah mekanisme referendum tentunya menarik perhatian banyak pihak. Ketertarikan pada pernyataan orang paling berkuasa se-DIY tersebut tidak hanya pada masyarakat Jogja sendiri,hal ini menjadi sebuah isue nasional yang hangat dibicarakan para pemerhati demokrasi dan otonomi daerah.
Referendum secara ringkas memiliki arti adalah penyerahan suatu masalah kepada orang banyak atau masyarakat supaya mereka yang menentukannya secara langsung. Sehingga pengambilan keputusan dari masalah tersebut tidak melalui parlemen ataupun diputuskan oleh sebuah rapat. Dengan kata lain referendum merupakan mekanisme pengambilan keputusan secara voting yang dilakukan oleh masyarakat akar rumput untuk menentukan pilihan penyelesaian dari sebuah masalah yang ada di wilayahnya.
Adanya pelaksanakan referendum disebabkan oleh beberapa hal antara lain: Pertama, lambatnya kinerja pemerintahan pusat dalam menelurkan RUU tentang keistimewaan Yogyakarta, Kedua, penentuan keistimewaan yogyakarta sebenarnya bukan hanya berkaitan dengan pengisian jabatan kepala daerahyang terkesan menjadi problematika kepentingan kekuasaan saja. Keistimewaan Yogyakarta merupakan keistimewaan bersama, dan masyarakat Jogjalah yang memiliki dan menikmati keistimewaan itu. Sehingga adanya referendum merupakan sebuah refleksi dari suara masyarakat untuk menentukan pilihan hidup bagi mereka sendiri.Terlepas dari adanya dampak negatif dari pelaksanaan referendum tersebut.
Seperti yang dipaparkan di atas, bahwa keistimewaan Yogyakarta tidak hanya sekadar pada penetapan Kepala Daerah saja, beberapa faktor yang menjadikan Yogyakarta masih sangat relevan dalam menyandang gelar Daerah Istimewa antara lain:
1.Fakta Hsitoris
Melalui kacamata sejarah, yang menjadikan Yogyakarta berbeda dengan provinsi lain adalah: satu, Yogyakarta adalah kerajaan-sebelum menjadi provinsi dalam NKRI- yang menyatakan mendukung dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk pertama kalinya. Ketakutan kerajaan nusantara lain untuk menyatakan bergabung dengan NKRI akibat masih terduduki oleh Belanda. Bahkan Kraton Yogyakarta sempat mengirimkan surat kepada Kraton Solo untuk segera memberikan respon terhadap pernyataan kemerdekaan RI oleh Soekarno.
Dua, Yogyakarta pernah menjadi Ibukota RI sementara saat Batavia mengalami suasana 'panas'. Dan yang tidak banyak diketahui orang adalah Kraton Yogyakarta pun pernah membiayai operasional pemerintahan atau dengan kata lain menggaji para pejabat pemerintahan dengan mata uang Kraton Yogyakarta yang pada masa itu masih berupa golden.
2.Fakta Sosial
Beberapa hasil survey dikatakan bahwa masyarakat Yogyakarta masih menginginkan wilayahnya dipimpin oleh Kepala Daerah yang juga merupakan seorang raja atau sultan. Hal ini bisa dibuktikan dengan nuansa kerajaan yang masih sangat kental di Yogyakarta. Kraton seakan-akan menjadi kiblat bagi masyarakat Yogyakarta. 'Kerajaan' yang masih hidup pada masa sekarang ini dengan kesesuaiaan perkembangan masyarakat dan hak-hak tradisional adalah Yogyakarta. Hal ini merupakan indikasi bahwa keistimewaan sebagai sebuah provinsi yang bersifat kerajaan masih diinginkan oleh masyarakat.
3.Fakta Politik
Secara politis, saat Yogyakarta melakukan perubahan dalam mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan bukan sultan yang mengisi jabatan tersebut maka hal yang akan terjadi adalah DUALISME KEPEMIMPINAN. Memang dengan adanya seorang gubernur, kekuasaan sultan sebagai kepala daerah (secara definitif) seakan terlumpuhkan karena ada pemimpin baru yang konstitusional. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah akankah legitimasi kekuasaan seorang pemimpin baru bagi bumi Ngayogyakarto Hadiningrat akan sebesar legitimasi kekuasaan seorang raja yang sebenar-benarnya raja bagi masyarakat Yogyakarta. Ketundukan masyarakat yang masih sangat menjunjung kehidupan Kraton seakan dipaksa untuk merubah haluanya kepada seorang pemimpin baru yang 'asing' bagi mereka. Walaupun ini baru sekadar analisis mendasar, tetapi kuat alasan untuk menjadikanya sebuah kekhawatiran bagi keberlangsungan paranata sosial masyarakat Yogyakarta.
4.Fakta Hukum
Dalam UUD 1945 sudah dijelaskan pada pasal 18B yang berbunyi:
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang-undang.
Dengan hanya membaca pasal di atas sudah sangat jelas bahwa Keistimewaan Yogyakarta merupakan sebuah hal yang masih relevan dengan masa sekarang ini, terutama pada pasal dua disebutkan bahwa “...kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat...” . Pada kenyataanya memang masyarakat Yogyakarta masih menginginkan dan senantiasa menjaga adanya keistimewaan tersebut .
Kita mengenal bahwa demokrasi merupakan sebuah konsep yang memaparkan bahwa suara rakyat merupakan power terbesar dalam menentukan nasib mereka sendiri, dan dalam konteks pembangunan bisa diartikan sebagai penentuan terhadap pengelolaan wilyahanya. Sehingga pemilihan kepala daerah yang berwenang harus melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat dengan media Pemilu / Pemilukada. Apabila keistimewaan Yogyakarta hanya dikatikan dengan pengisian jabatan kepala daerah, seakan-akan kita mengerdilkan makna dari keistimewaan itu sendiri.
Padahal pengawalan terhadap keputusan dan kinerja pemerintahan daerah Yogyakarta pun senantiasa dilakukan oleh masyarakat, parlemen dan media. Tidak ada penghilangan pelaksanaan pemerintah yang demokratif.
Kekhawatiran pemerintah bahwa adanya keistimewaan Yogyakarta akan membuat wilayah lain di NKRI merasa iri, dan akan meminta adanya keistimewaan yang sama dalam mekanisme penentuan kepala daerah seakan menjadi kekhawatiran tanpa analisa mendalam. Penentuan Kepala Daerah yang seumur hidup seperti DIY terjadi karena adanya kontrak sosial di masyarakat dan merupakan sebuah adat tradisonal yang dipertahankan. Belum lagi fakta-fakta yang sudah dipaparkan di atas yang hanya dimiliki oleh DIY dan menjadikanya pantas untuk menjadi Daerah Istimewa. Sehingga tidak ada alasan kuat bagi provinsi lain di negara ini yang berhak meminta keistimewaan seperti yang dimiliki DIY.
Penting untuk diketahui bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan penetapan karena adanya kontrak adat tradisional yang sudah menjadi tradisi bukan berarti suatupencacatan demokrasi. Karena sesungguhnya rakyatlah yang menginginkankesitimewaan itu terus berlanjut. Suara dari akar rumput untuk selalu menjunjung rajanya, menjunjung sultanya, menjunjung haluan hidupnya. Sebuah pemaknaan yang mendalam dari pepatah VOX POPULI VOX DEI. Demokrasi yang deliberative (menimbang-menimbang) dan manjadikan local wisdom sebagai sebuah acuan demokrasi yang subtantive di bumi pertiwi yang kaya akan perbedaan demi terciptanya BHINEKA TUNGGAL IKA.
Diskusi dengan pembicara Ir. Idham W. Wicaksono, Kamis 21 Oktober 2010
Tulisan Heru Wahyukismoyo dalam kolom Forum Kompas tanggal 19 Oktober 2010
Tulisan Untoro Hariadi dalam kolom Opini Kedaulatan Rakyat
Sebuah blog: Dunia Anggara diakses Kamis 21 Oktober 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H