Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberkulosis (M.TB) . Penularan M.Tb terjadi melalui udara (airborne) yang menyebar melalui percik renik (droplet nuclei) saat seseorang batuk atau bersin.
Upaya pengendalian TB telah direkomendasikan oleh WHO menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak tahun 1995. Dalam DOTS fokus utamanya adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demikian menurunkan angka insiden TB di masyarakat. Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada tahun 2016-2019 target program pengendalian TB harus disesuaikan dengan target Global TB Strategy pasca 2016 dan target SDGs (Sustainable Development Goals). Target utama pengendalian TB pada tahun 2016-2019 yaitu penurunan insiden TB yang lebih cepat dari sekitar 1-2% per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas sekitar 4-5% per tahun. Karena itu diharapkan pada tahun 2020 Indonesia dapat mencapai target penurunan insidensi sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2016.
Keberhasilan program pengendalian TB harus didukung oleh ketersediaan petugas kesehatan yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (kompetensi) yang diperlukan. Oleh karena itu jumlah dan jenis serta kualitas tenaga yang dibutuhkan dan terlibat dalam pelaksanaan program disemua tingkat sistem kesehatan harus memadai.
Ketenagaan dalam program penanggulangan TB memiliki standar-standar yang menyangkut kebutuhan minimal (jumlah dan jenis tenaga) untuk terselenggaranya kegiatan program TB pada puskesmas sebagai berikut:
• Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri :
Kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium.
• Puskesmas satelit :
Kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter dan 1 perawat/petugas TB.
• Puskesmas Pembantu :
Kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 perawat/petugas TB (Kemenkes RI, 2014).
Turnover staf yang tinggi dan distribusi staf yang tidak merata mengakibatkan permintaan lebih tinggi terhadap ketersediaan tenaga yang terampil, padahal sumber daya manusia yang handal sangat berpengaruh terhadap kualitas layanan puskesmas. Karena itu peran kebijakan pimpinan di puskesmas sangatlah penting dalam mempertahankan sumber daya manusia nya. Akan tetapi fenomena yang sering terjadi adalah padawaktu kinerja puskesmas baik, dapat menjadi rusak akibat perilaku petugas. Salah satu bentuk perilaku petugas tersebut adalah intensi keluar (turnover intentions) yang dapat berujung pada keputusan petugas meninggalkan pekerjaannya. Intensi keluar (turnover intentions) dapat diartikan yaitu pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi.
Turnover dapat berupa pengunduran diri, perpindahan keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota organisasi. Tingkat turnover yang tinggi akan menimbulkan dampak negatif bagi organisasi, hal ini seperti menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpastian (uncertainity) terhadap kondisi tenaga kerja dan peningkatan biaya
sumber daya manusia yakni yang berupa biaya pelatihan yang sudah diinvestasikan pada petugas. Turnover yang tinggi juga mengakibatkan organisasi tidak efektif karena puskesmas kehilangan petugas yang berpengalaman dan perlu melatih kembali petugas baru, yang secara tidak langsung membutuhkan dana untuk melaksanakannya. Sedangkan bila ditinjau dari segi sumber daya, puskesmas akan kehilangan tenaga kerjanya yang dapat mengakibatkan ketimpangan dalam puskesmas seperti petugas harus merangkap berbagai pekerjaan karena peristiwa turnover ini.
Akibat dari tingginya turnover petugas tuberkulosis (TB) di puskesmas juga akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan pasien TB, mengingat waktu yang dibutuhkan oleh seorang pasien TB dalam menyelesaikan pengobatannya minimal adalah 6(enam) bulan, sehingga petugas mempunyai kewajiban yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat serta memberikan informasi yang lengkap mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengobatan maupun efek samping obat yang mungkin akan dialami oleh pasien TB, tentunya hal ini tidak mungkin dilakukan dengan baik oleh petugas TB apabila petugas tersebut memiliki beban kerja ganda yang merupakan dampak dari turnover. Seorang petugas TB di puskesmas dianggap memiliki kompetensi yang baik dalam pelayanan TB apabila sudah mengikuti pelatihan dasar program TB (initial training in basic DOTS implementation).
Kepustakaan:
Kementrian Kesehatan RI, (2014) Pedoman Nasional Pengendalian TB, Jakarta.
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H