Grup chat itu sudah lama mati. Namanya "NightOwls", grup teman-teman SMA yang dulu sangat aktif. Setiap malam, kami membahas berbagai hal-drama sekolah, game, bahkan cerita-cerita horor. Waktu itu, aku yang sering mengirim cerita menyeramkan untuk membuat teman-temanku takut. Tapi seperti semua hal lainnya, grup itu perlahan ditinggalkan.
Setelah bertahun-tahun, hanya aku yang masih bertahan di grup itu. Bukan karena sentimentalitas, tapi karena aku malas menghapusnya. Setiap kali melihat notifikasi dari grup, aku hanya mengabaikannya, mengira itu pesan lama yang entah bagaimana muncul kembali. Tapi malam itu berbeda.
Pukul 23:12, sebuah pesan baru masuk.
"Masih ingat cerita horor kita dulu?"
Aku berhenti sejenak. Pesan itu datang dari akun tanpa nama, hanya gambar profil kosong dengan latar hitam. Aku pikir mungkin itu bug. Aku bahkan tidak yakin siapa lagi yang masih ada di grup ini.
Aku membuka daftar anggota. Hanya ada satu nama di sana: aku sendiri.
Hatiku mulai berdegup lebih kencang. Aku mencoba menghapus pesan itu, tapi tidak bisa. Aku memutuskan untuk menutup aplikasi, tapi ponselku tiba-tiba bergetar. Pesan lain masuk.
"Kau suka cerita tentang 'Sosok Tanpa Nama', bukan? Yang kau bilang selalu mengawasi?"
Aku tertegun. Sosok Tanpa Nama adalah cerita horor yang aku buat bertahun-tahun lalu. Ceritanya tentang makhluk yang bisa masuk ke mana saja ke rumah, ke mimpi, bahkan ke percakapan tanpa pernah terlihat. Tidak ada yang tahu asal usulnya, tapi dia selalu meninggalkan jejak berupa pesan aneh di tempat-tempat yang kau pikir aman.
Aku membalas pesan itu, berharap ini hanya lelucon.
"Siapa ini? Bagaimana kau masuk ke grup ini?"
Balasannya datang seketika.
"Aku tidak pernah pergi."
Tiba-tiba, layar ponselku berkedip-kedip, dan sebuah foto muncul di grup. Itu adalah fotoku diambil dari belakang, saat aku sedang duduk di sofa malam itu. Foto itu buram, tapi aku bisa melihat detail yang jelas: bantal biru di sofa, cangkir teh di mejaku, dan diriku sendiri yang sedang memegang ponsel.
Aku langsung berdiri, membalikkan badan, dan memeriksa seluruh ruangan. Tidak ada siapa pun. Semua pintu terkunci. Aku mencoba menenangkan diri.
"Tidak mungkin," gumamku. "Mungkin ada seseorang yang mengerjaiku."
Aku membuka kembali grup chat. Kali ini, ada suara. Sebuah rekaman audio pendek. Dengan ragu, aku memutar pesan itu.
"Aku ada di sini..."
Suaranya pelan, serak, dan terdengar seperti berasal dari dalam ruanganku.
Ketakutan mulai menyelimuti. Aku memutuskan untuk keluar dari grup. Tapi sebelum aku sempat menekan tombol "Keluar", pesan lain masuk.
"Jika kau keluar, aku akan datang."
Aku berhenti. Tanganku gemetar, tapi aku mencoba untuk tetap rasional. Aku mengetik balasan:
"Apa yang kau inginkan?"
Pesan itu lama tidak dibalas. Aku hampir berpikir semuanya selesai ketika notifikasi lain muncul. Kali ini, lebih panjang:
"Aku hanya ingin bercerita. Seperti dulu, kau bercerita untukku. Kau yang memanggilku dengan cerita-ceritamu, ingat? Kau menulis tentang aku, dan aku menjawab. Tapi sekarang aku ingin lebih."
Aku mulai mengingat semua cerita yang pernah aku tulis di grup ini. Cerita tentang makhluk yang hidup di bayang-bayang, yang memanfaatkan rasa takut untuk mendekat.
"Aku ingin keluar dari cermin, dari bayangan, dari layar ini. Aku ingin berada di dekatmu."
Tiba-tiba, listrik di rumahku padam. Ruangan itu gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya redup dari ponselku. Aku mendengar suara ketukan lembut, seperti dari jendela. Tapi jendelaku ada di lantai dua.
Aku menyalakan senter di ponsel dan berjalan ke arah suara itu. Tidak ada apa-apa di jendela. Tapi saat aku berbalik, aku melihat pantulan di layar ponselku seorang pria kurus, tinggi, dengan wajah yang buram, berdiri di belakangku.
Aku berteriak dan menjatuhkan ponselku. Ketika aku memungutnya kembali, layar sudah mati. Grup chat itu hilang, begitu pula semua pesan dan bukti keanehan itu. Tapi sejak malam itu, aku tidak pernah sendirian.
Aku masih mendengar ketukan di malam hari. Dan kadang-kadang, aku melihat bayangan seseorang di pantulan layar ponselku, menatapku dengan tenang, menunggu saatnya tiba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H