"Apa yang kau inginkan?"
Pesan itu lama tidak dibalas. Aku hampir berpikir semuanya selesai ketika notifikasi lain muncul. Kali ini, lebih panjang:
"Aku hanya ingin bercerita. Seperti dulu, kau bercerita untukku. Kau yang memanggilku dengan cerita-ceritamu, ingat? Kau menulis tentang aku, dan aku menjawab. Tapi sekarang aku ingin lebih."
Aku mulai mengingat semua cerita yang pernah aku tulis di grup ini. Cerita tentang makhluk yang hidup di bayang-bayang, yang memanfaatkan rasa takut untuk mendekat.
"Aku ingin keluar dari cermin, dari bayangan, dari layar ini. Aku ingin berada di dekatmu."
Tiba-tiba, listrik di rumahku padam. Ruangan itu gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya redup dari ponselku. Aku mendengar suara ketukan lembut, seperti dari jendela. Tapi jendelaku ada di lantai dua.
Aku menyalakan senter di ponsel dan berjalan ke arah suara itu. Tidak ada apa-apa di jendela. Tapi saat aku berbalik, aku melihat pantulan di layar ponselku seorang pria kurus, tinggi, dengan wajah yang buram, berdiri di belakangku.
Aku berteriak dan menjatuhkan ponselku. Ketika aku memungutnya kembali, layar sudah mati. Grup chat itu hilang, begitu pula semua pesan dan bukti keanehan itu. Tapi sejak malam itu, aku tidak pernah sendirian.
Aku masih mendengar ketukan di malam hari. Dan kadang-kadang, aku melihat bayangan seseorang di pantulan layar ponselku, menatapku dengan tenang, menunggu saatnya tiba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H