Bagaikan Katak di dalam tempurung ---pepatah lama yang tak pernah lekang oleh waktu. Begitu pula yang terjadi ketika internet sebagai subyek yang imperial menguasai alam bawah sadar menjelma dalam modernitas digitalisasi. Seseorang dengan potensi wawasan yang luas dipaksa memiliki pemikiran yang sempit. Jika algoritma adalah tanda, maka internet adalah ruang dalam struktur satuan waktu yang mengisolasi setiap objek secara intelektual.
"Dunia yang dibangun dari kesamaan (sesuatu yang familiar) merupakan tempat dimana kita tidak bisa belajar apa-apa." --- begitulah kata seorang aktivis internet asal Amerika Serikat itu, Eli Pariser dikutip dari The Economist. Ia menyadari bahwa internet tidaklah seperti apa adanya, melainkan ada kejanggalan yang berbahaya dari sistem algoritma. Algoritma internet mengakibatkan seseorang terisolasi secara intelektual dan terbelenggu dalam sebuah "gelembung besar". Inilah yang dimaksud oleh Pariser sebagai "Filter Bubble" dalam bukunya The filter Bubble: What the Internet is Hiding from You.
Filter bubble sebagai sebuah istilah dimana algoritma berperan sebagai alat sortir dan seleksi informasi apa saja yang kita sukai dan inginkan. Chief Executive Google, Lary Page dikutip dari tirto.id menyampaikan mesin pencari utama akan mengerti dengan tepat apa yang kamu maksud, dan mencarikan apa yang kamu inginkan. Dengan asumsi bahwa bagaimanapun jejak kita di internet dalam media sosial akan menimbulkan konsekuensi pada cara kerja algoritma. Informasi yang cocok dan relevan akan direkomendasikan sementara yang mengganggu akan di singkirkan. Ketika seseorang tertarik dengan informasi sains maka tidak mungkin menampilkan informasi sosial, itu tidak adil.
Mungkin itulah mengapa seorang bapak-bapak memiliki laman Facebook dengan status-status dan isi yang sama tentang aksi Rohingya berbeda laman dengan isi Facebook seorang pria yang berdiri melihatnya. Tutur pria itu tidak ada satupun bahasan tentang aksi Rohingya disini, Justru pembicaraan banyak mengenai aksi pembubaran Seminar 1965 di Kantor Lembaga Hukum Indonesia (LBH) yang kebetulan terjadi di waktu yang sama.[2]
Itu lumrah, fenomena ini terjadi karena adanya perbedaan preferensi antara bapak dan pria tersebut. Algoritmalah yang menyaring konten apa yang paling relevan untuk keduanya. Sehingga yang terjadi mereka miliki tampilan yang berbeda. Namun yang berbahaya adalah bukan tidak mungkin terdapat lebih dari seribu orang lainnya mengkonsumsi postingan yang sama. Masalahnya yang terjadi menurut Pariser, filter bubble menciptakan personalisasi terhadap penggunanya dalam bentuk autopropaganda secara tidak terlihat, bahkan hal tersebut mampu mendoktrinasi penggunanya dengan ide atau gagasan pengguna sosial media (Paramita, dkk, 2019). Dengan kata lain Algoritma filter bubble telah bekerja secara klandestin mengelabui kesadaran. Menembus lorong-lorong yang tak diketahui akal, menutup celah, manarik tirai agar kita tak dapat melihat sesuatu dari perspektif lain.
Kekhawatiran yang akan terjadi adalah seseorang hanya akan memiliki satu sudut pandang dan pemikiran tertentu sehingga mengabaikan dan mengingkari eksistensi gagasan yang lain. Pariser mengungkapkan bahwa dalam waktu tertentu, internet tampaknya akan sepenuhnya mendemokratisasi masyarakat. Demokrasi mengharuskan setiap masyarakat (dalam hal ini pengguna) untuk melihat sesuatu dari sudut pandang satu sama lain. Tapi alih alih demikian malah mereka tertutup dalam gelembungnya sendiri. Demokrasi bergantung pada fakta bersama, sebaliknya malah terjebak dalam ruang terpisah (Pariser, 2011).
Ketika orang-orang bergerak dan bertemu dalam satu ruang yang sama, besar kemungkinan mereka akan membicarakan hal yang sama pula. Inilah yang menciptakan seseorang memiliki kecenderungan pemikiran yang fanatik sehingga mereka menutup diri atas pandangan yang berbeda dengannya. Hal ini layaknya gugusan Jambu yang diselimuti pembungkus hitam, sehingga anasir tak mampu menjangkaunya dalam jarak karena telah ada tabir yang kokoh sebagai pelindungnya.
Kecenderungan tersebut mampu mendikotomi suatu pemikiran suka dan tidak suka bagaikan logika biner, jika dia suka A maka benci B dan sebaliknya. Itulah alasannya mengapa pada pemilu 2019 kita sering mendengar istilah "Cebong dan Kampret" merupakan plesetan dari istilah kubu paslon Jokowi dan kubu paslon Prabowo. Hal ini juga mungkin menjawab kegemparan yang mengejutkan warga Amerika Serikat kala itu atas kemenangan Trump pada pemilu 2016 silam. Hal tersebut ada kaitannya dengan fenomena echo chamber, maksudnya, kita seakan-akan telah mengetahui segala hal yang terjadi di sekitar kita, padahal sama sekali tidak.
Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi pernah bilang "kebohongan yang sering dan berulang-ulang disampaikan akan menjadi sebuah kebenaran". Hasilnya bagi mereka yang jauh dari kata sadar, media sosial menjadi tempat "pembenaran" bukan "kebenaran." Dengan kata lain merupakan politik mencari kawan atas "suara-suara ekstrim" yang mengakibatkan disharmoni sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H