Yogyakarta, sebuah kota yang terkenal dengan julukannya sebagai kota pendidikan atau kota pelajar membuat saya merasa ditarik sebuah magnet impian yang besar untuk melanjutkan studi maupun mewujudkan cita-cita dan keinginan saya ke kota tersebut. Kota yang terkenal dengan akulturasi budayanya yang kental, wisata dan peninggalan sejarahnya yang indah, serta kulinernya yang dikenal mempunyai ciri khas sendiri, dan sebuah kota yang masih dipimpin oleh seorang raja sebagai gubernurnya mengisyaratkan saya untuk mengunjungi kota istimewa ini.
Semua berawal sejak saya masih dibangku pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada waktu tamat SMP saya ingin sekali rasanya melanjutkan sekolah keluar pulau Sumatra alias merantau. Tetapi semua belum akan terwujud sedangkan saya saja hanya baru anak yang tamat dari sekolah menengah pertama, ingusan saja masih belum bisa menghapus sendiri apalagi harus berpisah dari ayah dan ibu tercinta. Saya merupakan anak pertama dari 3 orang bersaudara, dan adik saya kedua-duanya itu perempuan. Saya adalah patokan atau sebagai pedoman, pembimbing, panutan bagi adik-adik saya kelak.
Setelah tamat dari sekolah menengah pertama saya melanjutkan sekolah ke Madrasah Aliyah Negri (MAN) Koto Baru Solok, sebuah madrasah yang termasuk favorit ditempat saya. Sebuah tantangan baru bagi saya dari sekolah umum masuk ke sekolah agama, tak hanya itu saja bahkan cemoohan dan ledekan orang-orang disekitar saya mempengaruhi pikiran saya untuk melanjutkan sekolah ke madrasah itu. Orang dikampung tempat saya tinggal itu lebih mementingkan melanjutkan sekolah ke sekolah umum dibandingkan dengan melanjutkan ke sekolah agama.
“Kenapa kamu melanjutkan sekolah ke MAN ? ntar kamu mau kuliah dimana ? kamu mau jadi apa tamat dari situ ? mau jadi ustad !!!!, ah sudahlah ustad sudah banyak ngapain kamu jadi ustad lagi !!” (ujar masyarakat disekitar saya). Saya sedikitpun tak pernah terpengaruh oleh olokan dan cemoohan orang-orang itu, saya optimis dan yakin dengan pilihan hati saya bahwa inilah yang terbaik. Tak hentinya motivasi dari seorang malaikat tanpa sayap yang diberikan tuhan untuk saya yaitu ibu yang sangat saya cintai. Ibu bagi saya seorang pelita penerang yang menyinari anaknya sampai kapanpun dan dimanapun. “Terima kasih ibu”.
Hari demi hari saya lalui semua dengan iklas di madrasah saya, waktupun terus berjalan seakan tak terasa untuk menyelesaikan sekolah. Pada saat kelas 12, rasa kesedihan dan rasa akan kehilangan keluarga baru (teman-teman) seakan sudah mulai menghampiri. Saya merupakan ketua kelas dari kelas 12 Agama 1, saya lebih menekankan konsep kekeluargaan kepada seluruh teman-teman agar setelah kita berpisah pun silaturrahmi kita masih tetap terjalin dan takkan berhenti walaupun terpisah jarak dan waktu. Kami pun terasa seperti sebuah keluarga yang saling melengkapi satu sama lain, bahkan kelas kami banyak meraih prestasi dalam bidang apapun dikala itu.
Libur tenang pun datang, sebelum melaksanakan sebuah evaluasi yang besar yang dikenal dengan Ujian Nasional (UN). Minggu dimana seluruh anak kelas 12 diliburkan dengan maksud menengankan dan menghilangkan semua masalah yang terjadi dalam diri sebelum melaksanakan UN tersebut. Tapi libur tenang itu tidak bersahabat, tidak menenangkan, bahkan tidak menyelesaikan masalah bagi saya, kenapa ?? saat libur tenang tersebut menjadi sebuah kesedihan yang mendalam bagi saya bahkan sampai sekarang saya masih merasakannya. Saya kos didekat madrasah, saat libur tenang saya pulang kampung atau kembali ke rumah untuk meminta doa dari sang ayah dan ibu semoga melaksanakan ujian nasional berjalan lancar. Jatah libur diberikan sekolah saat itu 4 hari. Saya telah melalui 3 hari libur itu dirumah bersama keluarga. Satu hari sebelum ujian nasional merupakan puncak awal kesedihan saya bahkan yang dinamakan libur tenang itu seakan tak ada artinya sedikitpun.
Pada suatu malam saat ba’da magrib, saya mau makan dengan ibu dan adik-adik saya. Setelah semua makanan terhidang kemudian datang seorang ibu-ibu dan anaknya memberitakan bahwa ayah saya kecelakaan dan dia tidak tau ke rumah sakit mana ayah saya dibawa. Suasana saat itu terasa sangat tegang, adik-adik saya langsung menangis mendengar kabar tersebut. Tanpa pikir panjang dengan kegelisahan yang tidak menentu itu saya langsung mengambil motor paman saya dan mencari sendiri ke rumah sakit mana ayah dibawa. Waktu itu pukul 22.00 saya telah mencari ayah saya didua rumah sakit tapi hasilnya nihil tidak ada ayah disana.
Hati semakin cemas dan kesedihan yang tidak tertahan lagi membuat saya berhenti dipinggir jalan, “kemana lagi aku harus mencari ayah dan dimana ayah??”(ujar saya berbicara sendiri). Kemudian ada sebuah telfon dari nomor yang tidak saya kenal, dia bilang “nak kamu dimana, ayahmu tidak dibawa ke rumah sakit, ayahmu dibawa ke tempat tukang urut dekat rumahmu”(ujar orang misterius itu). Dengan nafas yang terengah-engah saya langsung menuju ke tempat urut tersebut, ternyata ayah saya memang benar disana. Ayah tak menderita luka sedikitpun tetapi hal yang lebih besar terjadi pada ayah, kaki ayah patah dan harus dilakukan pengobatan yang lebih serius agar bisa sembuh.
Keheningan dan sunyi senyap disertai rasa dingin malam yang semakin terasa menambah kesedihan yang semakin mendalam dihati. Tak tau apa yang akan terjadi pada ayah, apakah ayah akan bisa berjalan seperti semula atau tidak. Tepat pukul 02.00 dini hari, saya harus terpaksa balik ke rumah karena adik-adik hanya berdua saja dirumah dan besoknya saya harus melakukan ujian nasional. Sebelum berangkat ke sekolah ibu sempat menelvon dulu kepada saya, “Nak!! Kamu harus tetap semangat ujian ya, kamu fokus dulu ujian, ayah pasti akan sembuh kok, ingat kamu itu agent of change, social control, cerdas cendikia, iron stock bagi keluarga. Ingat !!”. Dengan hati yang bercampur gundah gulana saya paksakan untuk terus bersemangat melaksanakan ujian walaupun dalam pikiran ada sebuah masalah yang besar menopang.
Ujian nasional pun berakhir setelah 4 hari melaksanakan ujian, semua siswa riang gembira karena tak ada ujian yang akan mereka hadapi lagi, tak terkecuali dengan saya. Bahkan satu orang teman pun tak tau apa yang terjadi pada saya karena saya tidak mau menceritakan kesedihan saya pada siapapun. Semua teman kelas saya akan mengadakan syukuran setelah melaksanakan ujian itu dengan mengadakan makan bersama, saya siap ujian langsung keluar kelas dan menitipkan sebuah pesan kepada wakil ketua kelas.
“ Teman, kondisikan kelas kita ya, aku harus pulang dulu karena ada urusan yang lebih penting lagi dari ini, tolong ya teman. Sampaikan salam maaf saya kepada seluruh teman-teman karena tidak bisa ikut acara syukuran ini, semoga teman bisa paham keadaan saya”,(ujar saya pada wakil ketua). Teman saya yang bernama Jamal ini terus mendesak apa alasan saya tidak bisa ikut acara itu. Tanpa sebuah jawaban yang jelas saya bilang, “maaf ya mal”, dan saya langsung pergi tanpa ada ucapan perpisahan pada teman lain.