Pengaruh agama dalam kehidupan politik semakin dibatasi oleh penyebaran kebudayaan dan ide-ide liberal, sebuah proses yang terutama mencolok di Barat industri. Akan tetapi, sekuralisme liberal bukan berarti sebuah kecendrungan anti-agama. Namun, ini berkenan dengan pembentukan sebuah lingkup dan peran yang pas bagi agama.
Dengan menekankan pada pembagian publik maupun privat, ia berusaha untuk membatasi agama pada ranah privat, dan membiarkan kehidupan publik diatur pada landasan sekuler. Kemunculan bentukbentuk keagamaan yang baru dan kadang sering kali lebih asertif, meningkatkan pengaruh-pengaruh gerakan keagamaan, dan yang paling penting hubungan yang lebih erat antara agama dan politik, marilah kita menegok sejarah kebelakang khususnya pada tahun 1970-an, telah mengacaukan apa yang disebut “tesis sekularisme”. Tesis ini menyatakan bahwa suatu ideologi sebuah institusi atau badan negara harus terpisah dari agama dan kepercayaan.
Peryataan ini secara dramatis diperlihatkan oleh revolusi islam di Iran pada 1979-an, yang mengantarkan Ayatullah Khoemaini menuju kekuasaan sebagai pemimpin dari negara islam pertama kali di dunia. Akan tetapi, segera tampak dengan jelas bahwa ini bukan sebuah perkembangan eksklusif islam, karena geraka-gerakan fundamentalis juga muncul di dalam agama kristen.
Meskipun kebangkitan keagamaan dapat dipandang sebagai konsekuensi dari kebangkitan yang lebih besar dalm politik identitas, agama terbukti menjadi sebuah alat yang berpotensi besar untuk membangkitkan kembali identitas personal dan sosial dalam kehidupan modern. Ketika masyarakat-masyarakat menjadi atomistik, menyebar dan plural, terdapat, menurut argumen, sebuah hasrat yang lebih besar terhadap rasa akan makna, tujuan dan kepastian yang tampak secara sadar ditawarkan oleh agama. Ini tampak efektif karena agama memberikan kepada pengikutnya sebuah pandangan dunia dan visi moral yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, atau bahkan sungguh paling tinggi, karena ia muncul dari apa yang diyakini sebagai sumber ketuhanan.
Agama mendefenisikan dasar-dasar dari wujud manusia, ia memberikan manusia sebuah kerangka acuan mutlak, dan juga sebuah orientasi moral di sebuah dunia yang semakin ditandai oleh relativisme moral. Relativisme moral adalah sebuah kondisi dimana terdapat perselisihan yang mendalam dan meluas dalam isu-isu moral. Di samping itu, agama membangkitkan sebuah rasa solidaritas sosial yang kuat, menghubungkan masyarakat satu sama lain pada sebuah level yang tebal dan dalam, yang berlawanan dengan hubungan-hubungan yang tipis dan yang umum terdapat di masyarakat-masyarakat modern.
Hubungan agama dan politik paling jelas dalam hubungannya dengan islam, dimana ia tercermin dalam kemunculan fundamentalisme islam, yang sering kita istilahkan sebagai islamisme. Islamisme disebut juga politik islam, sebuah ideologi politik keagamaan yang berlawanan dengan keyakinan sederhana dalam islam. Meskipun ideologi politik islam tidak memiliki manifestasi politik tunggal, tetapi beberapa keyakinan tertentu dapat didefenisikan sebagai: (1). Masyarakat harus dikontruksi untuk selaras dengan cita-cita islam. (2). Negara sekuler harus diganti dengan negara islam. (3). Barat dan nilai-nilai barat dianggap korup dan mengorupsi, membenarkan, bagi sebagian pengertian tentang jihad terhadap mereka. Akan tetapi, defenisi dan versi-versi islamisme yang berbeda antara sunni dan syiah telah dikembangkan, yang pertama terkait dengan wahabisme, dan yang kedua terkait denagn revolusi islam.
Fundamentalisme dalam islam tidak mengimpilkasikan dalam islam pada keyakinan kebenaran harfiah dari Al-Quran, karena itu diterima oleh seluruh muslim, dan pengertian tersebut semua muslim adalah fundamentalis. Namun dibalik itu, ia menunjuk pada sebuah keyakinan yang kuat dan milita pada keyakinan-keyakinan islam sebagai prinsip yang mengatur kehidupan sosial dan kehidupan politik, begtu juga dengan moralitas personal. Para fundamentalis islam ingin menguhkan agama dari politik.
Dalam praktiknya, ini berarti bahwa penbentukan sebuah negara islam, sebuah teokrasi, yang diatur oleh otoritas spiritual dari pada otoritas temporal, dan menerapkan syariah. Teokrasi secara harfiah, kekuasaan oleh tuhan, berprinsip bahwa otoritas keagamaan harus berlaku di atas otoritas politik, biasanya melalui dominasi masjid atas negara. Sedangkan syariah secara harfiah berarti jalan atau jalur. Hukum ketuhanan dalam islam, berdasarkan pada prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Quran.
Syariah meletakkan sebuah landasan undang-undang bagi pelaku hukum dan keagamaan, termasuk sebuah sistem hukuman bagi sebagian besar tindakan kejahatan, dan juga aturan bagi pelaku-pelaku pribadi baik itu laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, islam dibedakan dengan islamisme. Islamisme menunjukkan kepada sebuah kredo politik yang dilandaskan pada ide-ide dan prinsip-prinsip islam, atupun ia juga merujuk kepada gerakan politik yang diinspirasi oleh kredo tersebut. Ia mempunyai tiga tujuan pokok.
Pertama, ia memperjuangkan kesatuan pan-islamisme, yang membedakan antara islamisme dan nasionalisme politik tradisional. Kedua, ia memperjuangkan pemurnian dunia islam dengan menyingkirkan para pemimpin murtad dari negara-negara muslim ( para pemimpin sekuler atau pro Barat ).Ketiga,ia menyerukan penghapusan dunia Barat, dan khususnya Amerika Serikat dari dunia muslim, dan sebuah perjuangan politiko kultural terhadap Barat itu sendiri.
Didalam buku politik edisi keempat karya Andrew Hywood dijelaskan, kebangkitan islamisme terkadang diinterpretasikan sebagai bukti dari munculnya “benturan peradaban” antara islam dan Barat. Benturan peradaban maksudnya, sebuah ide bahwa konflik abad ke dua puluh satu akan bersifat kultural daripada idiologis, politis maupun ekonomis. Sebuah pengertian yang memiliki implikasi-implikasi besar bagi politik global maupun bagi masyarakat-masyarakat Barat yang memiliki komunitas-komunitas muslim yang besar.