Hadits ini membimbing kita supaya tidak menggunakan lidah secara boros, sehingga tidak semua hal yang terjadi dikomentari oleh sang lidah berbisa tersebut. Karena kecendrungan dan hobi dan memperbanyak bicara sesuatu yang ia tidak tahu akar permasalahannya akan mendatangkan musibah yang besar. Mengenai hal tersebut, Imam Syafi’i juga pernah mengatakan dalam salah satu ceritanya, ketika beliau tidak pernah membalas dan cenderung diam ketika dimusuhi.
Ia mengatakan, “banyak orang berkata: mengapa engkau diam, padahal engkau dimusuhi?. Imam Syafi’i meniru teguran teman-temannya. “Menanggapi suatu permusuhan jawabannya sama dengan melakukan kejahatan. Bersikap diam dalam menghadapi orang bodoh merupaka kebijaksanaan. Sebab, di dalam sikap diam terdapat upaya memelihara kehormatan. Tidakkah engkau ketahui bahwa harimau ditakuti karena berdiam diri atau diamnya?”. Bukankah anjing berkeliaran di jalan raya sering dilempari orang karena ia terlalu banyak menggonggong?”
Oleh karena itu, kita bisa belajar dari seorang Imam besar ini karena ia menganggap diam sebagai perniagaan. Meskipun tidak ada untungnya, tetapi paling tidak seseorang tidak akan rugi. Ada sebuah mantra hebat mengatakan, “ orang bodoh itu ngomong, tapi orang bijak itu bicara yang baik”.
Kebanyakan kita selalu sibuk untuk berlatih bagaimana berbicara di depan publik dengan baik. Berbagai latihan dilakukan, termasuk diantaranya dengan berpidato, retorika, dan lain sebagainya.Untuk itu, anda perlu bersyukur karena termasuk orang yang lincah dalam berbicara dan fasih ketika mengucapkan kata-kata, karena ada juga orang yang tidak dikaruniai kemudahan dalam mengungkapkan isi hatinya dengan kata-kata. Ia berkata dengan gugup, tidak sistematis pembicaraannya, bahkan kadang kala setiap pembicaraannya itu tidak bisa dipahami oleh orang lain.
Bagi anda yang sudah memiliki bakat alamiah dalm bentuk kemudahan ketika mengungkapkan kata-kata dan berbicara maka hendaknya anda mengelola lidah dengan baik. Karena semua lidah, baik yang fasih atau tidak ketika berbicara, mempunyai kesamaan potensi untuk melakukan kemaksiatan sekaligus juga dapt melakukan kebaikan. Dalam kehidupan kita sehari-hari, banyak sekali orang yang kebingungan dan mempertanyakan hal-hal berikut: bagaimana saya berbicara, bagaimana memilih kata-kata yang baik untuk bicara, bagimana mengusai materi agar pembicaraan tidak ditertawakan orang, kenapa ide yang selalu saya utarakan selalu hilang, dan bagaimana memulai pembicaraan ?.
Pertanyaan-pertanyaan itu tentu tidak salah anda utarakan, dan pertanyaan anda itu harus sungguh dicari jalan keluarnya. Dengan berbagai langkah, tentu anda harus dapat berbicara dengan fasih dan lancar sebagaimana kedua orang tua kita mengajari kita supaya bisa berbahasa dengan benar, fasih, jelas, dan dapat dipahami.
Berbagai pertanyaan di atas kelak menjadi sesuatu yang semestinya diajukan karena pertanyaan pada fase awal tentu pertanyaan untuk memacu seseorang agar ia dapat berbicara dengan lancar, cepat, tepat, dan benar. Dengan kata lain, seharusnya seseorang “terutama” yang suadh bisa berbicara dengan lancar, tepat, dan benar, serta fasih menggunakan bahasa, seharusnya menggunakan argumentasi dengan pernyataan yang reflektif, “apa yang telah saya katakan”. Untuk itu, orang yang berpikir reflektif tentu akan menggunakan cara pandang seperti, “pikirkan apa yang sudah anda katakan”. Sebaliknya, bukan dengan mengajukan pertanyaan, “apa yang akan saya katakan”.
”Jangan anda katakan apa yang ada dalam pikiran, tetapi pikirkan apa yang anda katakan”. Maksudnya, jika anda mengatakan segala sesuatu yang ada dalam pikiran maka akan menimbulkan banyak masalah. Sebab, tidak semua orang akan menerima pikiran anda sekaligus ide anda itu, tetapi yang bijak adalah bagaimana anda memikirkan tentang apa yang anda katakan karena itu akan memberikan pengayaan reflektif bagi seseorang untuk menilai dan mengevaluasi setiap apa yang dikatakannya.
Lidah manusia seharusnya bergerak untuk selalu berdzikir kepada Allah SWT. Karena setiap organ tubuh itu mempunyai hak, dan setiap hak harus ditunaikan kepada yang bersangkutan. Setiap sesuatu mempunyai hak. Sebagaimana tubuh manusia mempunyai hak untuk beristirahat dan berolah raga, hati manusia mempunyai hak untuk senantiasa dekat dengan pemiliknya (Tuhan) dengan beribadah kepadaNya. Demikian halnya dengan mata, ia punya hak untuk melihat hal-hal yang menjadi haknya dan bukan hal-hal yang bathil, demikian pun juga dengan telinga ia punya hak untuk mendengar setiap nasehat dan kebaikan, bahkan lidah manusia atau senjata mematikan ini pun juga demikian, ia mempunyai hak untuk berbicara dengan sesuatu yang baik dan ada hak utama yang ada pada lidah, yaitu berdzikir.
Dzikir merupakan bagian dari cara orang terhindar dari membicarakan hal-hal yang tidak perlu dan semestinya, dzikir juga dapat mengobati seseorang dari penyakit hati dan akan menambah ketentraman dalam kehidupannya. Diakhir tulisan ini saya akan menutupnya dengan sebuah syair untuk membimbing lidah yang dikutip dari Adzkar Nawawi:
”Seorang pemuda tertimpa musibah karena tergelincir lidahnya