Baru-baru ini dunia akademik dihebohkan dengan temuan dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) yang mengungkapkan bahwa ada 84 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) terancam ditutup. Alasan utama penutupan PTS adalah ketidakpatuhan kampus dalam menyelesaikan proses akreditasi. Hal ini mencerminkan permasalahan dalam manajemen dan mutu pendidikan. Sesuai pemberitaan tersebut sebenarnya sudah bisa kita simpulkan bahwa dari banyaknya kampus swasta memang tidak semuanya berkualitas, hal tersebut bisa dilihat dari adanya praktik jual beli ijazah yang pernah viral maupun pelaksanaan pendidikan yang ala kadarnya tanpa memperhatikan kualitas yang baik. Situasi seperti ini sebenarnya banyak kita jumpai di beberapa kota pendidikan di Indonesia, dengan banyaknya jumlah kampus swasta yang tersebar.
Sebenarnya persoalan yang menyebabkan intitusi swasta tidak mampu mengelola kampusnya dengan baik terletak pada kemampuan finansial yang buruk. Sebagai contoh banyak kampus swasta kecil tidak memiliki sarana prasarana yang mumpuni, kemudian banyak juga dosen yang bekerja dikampus swasta yang sering mengeluh terkait kesejahteraannya. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa memang kampus swasta kecil itu sangat memprihatinkan, jangankan menolong dosen dan mahasiswanya, menolong dirinya sendiripun tak mampu.
Jumlah perguruan tinggi di Indonesia per tahun 2023 mencapai angka 4.426 institusi, ini merupakan angka yang tinggi. Namun dari jumlah yang banyak tersebut tidak semua institusi itu bermutu, sehingga hari ini banyak institusi yang bermasalah.
Saya memiliki beberapa teman yang berprofesi sebagai dosen di berbagai institusi, baik institusi swasta yang besar dan bonafit, maupun di institusi swasta yang berkembang, serta institusi swasta kecil yang menolong dirinya sendiri pun tak mampu. Dari beragam jenis dan kondisi institusi tersebut yang memprihatinkan tentu menjadi dosen di institusi swasta kecil.
Ketika mendengar kata kecil, yang muncul di benak ialah segala sesuatu yang sempit, sesak, kurang, amat kekurangan. Institusi swasta yang kecil merupakan institusi yang serba terbatas dalam hal aset, sarana prasarana, permodalan operasional dan lain sebagainya. Maka tidak heran jika ada institusi swasta yang tercancam tutup karena tidak mampu memenuhi standar akreditasi nasional.
Kampus swasta kecil yang tercancam tutup juga biasanya memiliki keterbatasan dalam hal jumlah mahasiswanya. Menurut APTISI atau Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia jumlah mahasiswa yang dikatakan ideal dan sehat pada sebuah institusi pendidikan swasta adalah dengan jumlah minimal 6.000 mahasiswa. Sedangkan institusi yang memiliki jumlah mahasiwa dibawah angka tersebut bisa dikatakan kurang ideal. Saat ini jika kita telusuri pada pangkalan data pendidikan tinggi, sangat banyak kampus swasta yang memiliki mahasiswa di bawah 6.000, tak hanya itu bahkan adapula yang memiliki mahasiswa tak sampai 500.
Jika kembali pada persoalan mengapa ada 84 kampus swasta yang terancam tutup?, Hal tersebut karena mereka tidak mengikuti anjuran dan program dari pemerintah dengan sebaimana mestinya. Atau dengan kata lain membangkang. Pemerintah melalui Kemendikbudristek telah mencanangkan program penyatuan perguruan tinggi atau merger bagi Institusi pendidikan yang memiliki mahasiswa dibawah 1.000 orang. Muncul pertanyaan, siapa saja institusi pendidikan yang memiliki mahasiswa dibawah 1.000 orang? Ya tentu institusi swasta kecil yang hari ini terancam tutup karena tidak mampu menjalankan operasionalnya dengan baik dan semestinya.
Sebenarnya program merger adalah solusi terbaik bagi semua institusi swasta kecil yang terancam tutup, karena program merger ini bertujuan agar institusi yang tadinya kecil bisa scale up menjadi besar dan berkembang. Namun dalam implementasinya hal tersebut jauh dari harapan, banyak institusi yang belum ingin bergabung atau merger dengan berbagai macam alasan dan pertimbangan.
Hal tersebut mendatangkan kekhawatiran bagi masa depan pendidikan di Republik ini. Institusi yang kecil tentu terbatas dalam segala aspek, bisa jadi lulusannya pun mengalami keterbatasan dalam hal kompetensi keilmuannya. Tak hanya persoalan kompetensi keilmuan untuk lulusannya, namun kesejahteraan karyawannya pun menjadi persoalan.
Sebuah institusi kecil untuk menolong dirinya sendiri agar berkembang pun sulit, apalagi menolong dosennya atau karyawannya untuk berkembang, jangankan berkembang, untuk mendapatkan upah yang layak pun belum bisa terealisasikan. Meskipun pemerintah memiliki berbagai skema dalam karir dosen seperti adanya jabatan fungsional akademik, dan program sertifikasi dosen yang dapat meningkatkan pendapatan dosen. Namun hal tersebut tidak mudah dicapai jika berada di institusi yang tidak mensupport dosennya untuk berkembang, dalam hal ini institusi swasta kecil.