Fenomena seperti ini sebenarnya hanya sebagian kecil dari banyaknya persoalan dunia akademik, terutama dalam hal karir dosen. Pemerintah memiliki skema dalam karir dosen seperti adanya jabatan fungsional akademik yaitu jabatan terendah asisten ahli, kemudian jabatan kedua lektor, dan jabatan ketiga lektor kepala, serta sampai pada pucuk jabatan fungsional seorang dosen yakni Profesor, yang sampai hari ini banyak di kejar oleh semua orang, terutama mereka-mereka yang tanpa melalui proses sebenarnya.
Sebenarnya tidak ada persoalan jika siapapun, dimanapun, dengan latar belakang apapun ingin menjadi profesor, itu hak semua orang, asalkan melalui prosedur dan syarat yang sebenarnya. Secara sederhana siapapun boleh saja bermimpi dan berangan menjadi profesor asalkan lolos syarat kualifikasi untuk menjadi seorang profesor. Masa iya untuk menjadi orang pada kasta tertinggi di dunia Akademik tidak memiliki kompetensi, bahkan parahnya memulai segala sesuatu dengan cara bodong, hal yang tidak ada diadakan, begitupun hal yang ada ditiadakan.
Saya justru kagum dengan sosok seperti Rocky Gerung, beliau tidak ngebet dipanggil prof, justru kita secara sadar menikmati kebermanfaat dari keilmuan beliau melalui layar kaca, dan tanpa paksaan semua orang memanggil beliau dengan sebutan prof. Tak sampai di situ, saya juga menaruh respect kepada beberapa prof beneran, prof yang mencapai gelar guru besar dengan cara jujur, salah satunya Rektor Universitas Islam Indonesia yang merelakan untuk dihilangkan penulisan gelar professor dengan alasan menguatkan atmosfir kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi.
Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa orang yang memiliki kapabilitas untuk menjadi ilmuwan, guru besar, professor, atau apapun penyebutannya biasanya memiliki sikap yang rendah hati. Tidak peduli persoalan gelar, tidak peduli dengan respect orang lain, tetapi bermanfaat untuk banyak orang.
Jika terdapat orang yang ngebet untuk menjadi profesor, dan menghalalkan segala cara untuk menjadi profesor, saya kira perlu kita duga bahwa jangan-jangan orang tersebut tidak memiliki kapabilitas. Karena sejatinya gelar memiliki tanggungjawab akademik dan moral, bukan sekedar status.
Semoga kedepan tidak adalagi siapapun baik dari politisi, pejabat, bahkan akademisi yang tidak memiliki kapabilitas mengejar jabatan ini, jika tidak mampu mempertanggungjawabkan kompetensi keilmuan yang bermanfaat bagi semua orang.
Selain itu untuk memulihkan kredibilitas guru besar atau profesor, memerlukan komitmen yang kuat. Kasus ini juga menjadi momentum untuk mengevaluasi kembali sistem pendidikan tinggi secara menyeluruh. Kita perlu membangun sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan berintegritas, sehingga mampu melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas dan berdaya saing.
Kesimpulannya, perlu diingat bahwa jabatan guru besar atau profesor merupakan misi mulia yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab. Kehadirannya tidak hanya memberikan keuntungan pribadi, tetapi juga memajukan pendidikan nasional. Oleh karena itu, kita wajib menolak segala bentuk kecurangan dan memperjuangkan sistem pendidikan tinggi yang adil dan bermartabat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI