(Wacana Kenaikan Iuran 100% Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan)
Sesuai informasi dari beberapa media saat ini baik media elektronik maupun media cetak terkait wacana atau rencana kenaikan tarif iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat selaku pengguna jaminan kesehatan. Kenaikan iuran 100% pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) terjadi di seluruh kelas dan kelompok pada tanggal 1 Januari 2020 mendatang.
Rencana menaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan ini tentu menghasilkan dualisme persepsi, yaitu pro dan kontra antara pengambil kebijakan, pengamat serta para pakar kebijakan publik. Terdapat tiga kelas dalam BPJS, yakni kelas I, kelas II, dan kelas III pada BPJS Kesehatan. Kelas-kelas tersebut sebagai pembeda pelayanan kesehatan yang diterima dan biaya angsuran setiap bulannya.
Kenaikan iuran BPJS ini disebabkan karena adanya defisit anggaran, pendapatan negara terbatas sementara pengeluaran untuk Jaminan Kesehatan Nasional tidak terbatas. Defisit BPJS kesehatan yang selalu naik setiap tahun mengakibatkan defisit pada tahun 2018 mencapai Rp 9 Triliun, kemudian disisi lain tunggakan iuran peserta BPJS kesehatan telah mencapai Rp 3,4 Triliun. Situasi ini tentu akan mengancam sustainability (ketahanan) program Jaminan Kesehatan Nasional ini.
Menurut penulis hal yang memperburuk keadaan ini adalah ketidakmampuan masyarakat dalam mencapai taraf ekonomi maksimal sehingga adanya tunggakan iuran BPJS.Â
Kondisi ini dikarenakan pengangguran meningkat akibat lapangan pekerjaan kurang dan kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan pemindahan ibukota negara dengan jumlah dana yang besar yakni Rp 446 Triliun yang seharusnya belum terlalu penting untuk dilakukan mengingat akibat yang ditimbulkan dari defisit BPJS yang setiap tahun terus meningkat akan memberikan beban kepada masyarakat sebagai pengguna JKN tersebut.Â
Dalam hal ini negara tidak hadir sebagai pemberi rasa aman dan nyaman kepada masyarakat melainkan negara hadir sebagai pemberi beban kepada masyarakat dengan implementasi kebijakan yang menguntungkan para pemegang jabatan dan pengusaha.
Solusi dari penulis untuk mengatasi permasalahan ini yang pertama adalah pemerintah baiknya lebih bijak dalam menentukan prioritas kebijakan, dalam hal ini presiden sebagai pemimpin tertinggi kiranya dapat menggunakan hak prerogratifnya sebagai presiden untuk dapat menelaah dan menilik secara cermat dan sistematis dari kebijakan yang telah dicanangkan, sehingga kebijakan yang diberikan dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakatnya. Â
Masalah yang lebih aktual terjadi di masyarakat yang merupakan kepentingan publik harusnya lebih menjadi prioritas, dalam hal ini rencana kenaikan tarif iuran BPJS dirasa lebih krusial dan membebani rakyat ketimbang memprioritaskan hal yang tidak krusial seperti pemindahan ibukota yang telah berlangsung.
Solusi kedua yaitu, membuka lapangan pekerjaan sesuai janji politik Presiden Jokowi pada kontestasi politik lalu, dengan membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan menurunkan angka pengangguran. Implementasi dari janji politik tersebut tentunya akan memberikan penghasilan dan dapat meningkatkan kualitas ekonomi masyarakat sehingga masyarakat mampu memenuhi segala kebutuhan hidup termasuk pembayaran iuran BPJS tersebut.Â
Menurut Puspitawati (2013) dalam Amanaturrohim (2016) yaitu kesejahteraan ekonomi keluarga, diukur dalam pemenuhan akan input keluarga (pendapatan, upah, aset dan pengeluaran) sementara kesejahteraan material diukur dari berbagai bentuk barang dan jasa yang diakses oleh keluarga. Hal ini juga didukung dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan pasal 13 bahwa "pemberi kerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta jaminan kesehatan dengan membayar iuran", sehingga masyarakat yang memiliki pekerjaan akan merasa aman dan nyaman atau terlindungi.