Tahun 1972, awal mula hadirnya kerajinan cor kuningan di Desa Bejijong yang terletak di Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. Berawal dari 1 unit usaha dengan 4 orang tenaga kerja, kemudian lambat laun tenaga kerja tersebut mencoba untuk mandiri dengan membuka usaha sendiri, demikian seterusnya sehingga sekarang telah berkembang menjadi lebih dari 40 unit usaha, dengan rata-rata penyerapan tenaga kerja sebanyak 4 orang. Keseluruhan tenaga kerja tersebut merupakan warga Desa Bejijong itu sendiri. Seiring dengan bertambahnya unit usaha, maka bertambah pula karya-karya kerajinan cor kuningan yang dihasilkan. Guna menghindari terjadinya pembajakan, maka perlu adanya kesadaran antar sesama pengrajin untuk berlaku jujur dengan tidak menjiplak karya orang lain. Sebenarnya pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM telah memberikan perlindungan terkait hal ini dengan adanya HKI (Hak Kekayaan Intelektual), namun karena pengusaha menganggap biaya pengajuannya terlalu besar, maka mereka membuat aturan sendiri guna melindungi karya cipta kerajinan mereka antar sesama pengusaha di desa tersebut. “PerDes” demikian nama yang akrab disebut oleh para pengusaha kerajinan cor kuningan di Desa Bejijong untuk melindungi karya cipta mereka dari pembajakan, akronim dari Peraturan Desa. Perdes dibentuk melalui forum rembug sesama pengrajin berdasarkan usulan Hariyadi, tokoh masyarakat sekaligus pengusaha yang mengawali adanya kerajinan cor kuningan di desa tersebut. Bermodalkan kesadaran bersama tentang pentingnya berlaku jujur dan saling menghargai, pengusaha bersatu membentuk komitmen untuk tidak saling mencontek karya yang telah didaftarkan dalam Perdes tersebut. Melalui Perdes, setiap pengrajin yang berhasil menciptakan karya baru dapat mendaftarkannya kepada pengurus, yang dalam hal ini diketuai oleh Hariyadi sendiri untuk kemudian foto hasil karya tersebut diarsipkan dan dipublikasikan kepada masyarakat keaslian dan pemegang hak desain atas karya cipta tersebut. Perdes ini bersifat sukarela, namun masyarakat khusunya para pengusaha kerajinan cor kuningan menyambut baik adanya Perdes ini. Disamping proses pengajuan yang mudah kepada pengurus, Perdes ini pun tidak mengenakan biaya pendaftaran alias gratis. Kembali pada komitmen bersama untuk saling jujur dan manfaat timbal balik, kalau ingin karyanya dilindungi maka jangan merusak (membajak) karya orang lain. Selain berlaku bagi para pengusaha kerajinan cor kuningan di Desa Bejijong, Perdes ini rupanya juga berlaku bagi beberapa pengusaha serupa di Kabupaten Jombang yang berbatasan dengan desa tersebut. Pengurus Perdes di Desa Bejijong bekerja sama dengan forum rembug antar pengrajin di luar desa tersebut dan membentuk kesepakatan untuk saling menjaga dan tidak mencontek karya yang telah didaftarkan dalam Perdes. Sebagai sanksi atas pelanggaran Perdes, masyarakat sendiri yang memberikannya, yakni pengucilan serta stigma bahwasannya si pelanggar adalah tukang contek serta penghapusan perlindungan atas karyanya sendiri yang telah didaftarkan dalam Perdes. Kendati demikian, sejauh ini Perdes dinilai cukup efektif untu melindungi karya sesama pengrajin, sehingga pembajakan karya kerajinan cor kuningan sesama pengrajin dapat diantisipasi. Kini, Perdes yang berlaku semakin tertantang fungsi keberadaanya karena Perdes hanya mampu mem-backup pengusaha kerajinan cor kuningan yang ada di Desa Bejijong dan sekitarnya saja, sementara produk-produk kerajinan dari para pengusaha tersebut telah abnyak beredar di Bali maupun manca negara, sehingga resiko pembajakan oleh pengusaha kerajinan cor kuningan selain dari Desa Bejijong dan sekitarnya masih mungkin sekali terjadi. Disamping itu, terdapat pula beberapa calon konsumen kerajinan cor kuningan yang bertindak “nakal”, diantaranya dengan menawarkan pemesanan produk karya seorang pengrajin ke pengrajin lainnya, yang tentu saja dengan harga lebih murah. Hal ini cukup menggiurkan bagi pengrajin lain yang mau membajak karya tersebut, karena dia cukup me-repro karya tersebut tanpa perlu menghabiskan waktu dan tenaga untuk merancang produk baru. Kasus penawaran pembajakan ini seringkali dirasakan oleh para pengusaha cor kuningan khusunya di pihak pengrajin yang mendesain produk karena merasa diadu domba. Bagi pengrajin yang bersedia menerima tawaran ini, sesaat dia akan merasa diuntungkan karena menerima penghasilan kendati mencuri hak intelektual berupa desain produk karya orang lain, namun di sisi lain si perancang desain produk pastinya dirugikan karena hal tersebut. Agar tidak terjadi konflik antar sesama pengrajin terkait semakin maraknya adu domba dari calon konsumen yang nakal melalui cara tersebut di atas, para tokoh masyarakat tidak henti-hentinya mensosialisasikan melalui forum rembug dan kumpulan antar pengusaha cor kuningan ajakan untuk berlaku jujur dalam berkarya dengan tidak membajak karya milik orang lain. (tpl)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H