Hari itu, diantara tugas yang saya terima salah satunya adalah meliput tentang pemerintah desa. Desa tujuannya adalah desa yang ada di Kecamatan Cikembar. Jaraknya lumaya jauh dari jalan utama. Jalannya lumayan ekstrim. Selain masih berbatu, juga harus melewati kebun karet. Namun itu semua tidak menyulutkan saya. Kantor menargetkan, akses warga yang belum tersentuh program pemerintah di desa harus diangkat dalam berita agar ke depan pemerintah memprioritaskan pembangunan di desa ini.
Setelah melalui jalan yang cukup menantang tersebut, tiba lah di kantor yang saya tuju. Sepeda motor yang saya kendarai, diparkirkan di halaman kantor desa. "Pantas saja kantor mengirim saya ke desa ini, ternyata selain jalan yang masih butut juga gedung kantornya masih kumuh. Memang benar, desa ini harus diprioritaskan pembangunannya," gumam saya lagi dalam hati.
Tak berfikir lama, saya pun langsung berjalan menuju ke dalam kantor desa. Berharap bisa mewawancarai Kepala Desa seperti yang ditugaskan redaksi. Namun sayang, baru juga dua anak tangga yang saya injak, tiba-tiba pria berseragam desa ke luar ruangan dan menghampiri saya. Seraya menyodorkan uang sekitar Rp25 ribu, pria itu meminta saya untuk pergi dari kantor desa.
"Gak usah ke sini lah, ini nih," ucap pria yang belakangan saya ketahui dia adalah Kepala Desa tersebut.
Perasaan saya marah, kesal dan murka atas perlakuan pria tersebut. Saya mencoba menjelaskan maksud dan tujuan atas kedatangan saya itu, namun seakan-akan ia tak menghiraukan. Tak berfikir panjang, seketika itu saya langsung meninggalkan kantor desa tersebut.
Selama dalam perjalan pulang, perasaan saya berkecambuk dan penuh tandatanya atas sikap Kades yang saya datangi itu. "Mengapa wartawan diperlakukan demikian? Ini apa yang salah," gumam saya.
Hingga akhirnya, arah kendaraan saya tujukan ke kantor kecamatan. Mencari jawaban atas perlakuan Kades tersebut. Cukup kaget ketika mendengar penjelasan dari orang-orang kecamatan saat itu.
"Mungkin belum kenal kang. Maklum, selama ini desa sering didatangi orang yang ngaku-ngaku wartawan. Nulis berita tidak bisa, dan kantornya pun tidak jelas. Ujung-ujungnya mereka meminta uang. Padahal, wartawan Radar Sukabumi selama saya kenal tidak ada yang demikian. Kami akan berikan penjelasan kepada desa bersangkutan," papar pegawai kecamatan.
Dari pengalaman ini saya belajar, bahwa citra wartawan buruk itu akibat ulah oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang mengaku sebagai wartawan. Mereka datang hanya semata-mata untuk uang. Prilakunya jauh dari kode etik jurnalistik. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H