Mohon tunggu...
rendi lustanto
rendi lustanto Mohon Tunggu...

study in university of indonesia, philosophy program. interested with literature classic, new foucaultian. twitter: @RendiLustanto.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Morality is Based on God’s Command and why Morality Does Not Depend on Religion’’

4 Januari 2016   00:43 Diperbarui: 4 Januari 2016   00:43 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada review Etika kali ini saya akan mencoba untuk menguraikan perdebatan apakah etika itu berdasar pada perintah tuhan atau bahkan etika itu tidak berkaitan dengan agama. Bagi kita yang percaya bahwa etika itu berdasar pada perintah tuhan dan kita percaya terhadap tuhan, hal ini akan sangat penting untuk mematuhi larangan larangan yang tertulis pada kitab suci agar kita dapat menjalani kehidupan dengan benar, menurut Robert  C .Mortimer argumenya mengenai Ethics sesuatu yang benar maupun yang salah itu ditentukan oleh kehendak tuhan, jika tuhan sudah memutusan bahwa itu benar pasti itu benar sudah tidak dapat disangkal kebenaranya, atau jika tuhan mengatakan bahwa itu salah maka sudah tidak dapat disangkal perkataan tuhan itu, dalam berbagai kitab suci agama agama semit disebutkan bahwa wahyu dalam kitab suci merupakan pemikiran dari tuhan, nah bersumber dari wahyu wahyu inilah kita dapat mengerti mana yang baik dan mana yang buruk, ini dapat kita gunakan sebagai cermin dalam melakukan kegiatan dimuka bumi ini, jika kita mengikuti perintah dari pikiran tuhan itu maka tuhan akan menyukai kita, kemudian dalam kitab suci terdapat sebuah statement bahwa bagaimana kita dapat hidup jika itu bukan merupakan kehendak dari tuhan, pesan moral yang dapat kita ambil dari kalimat ini adalah  merupakan penyelesaian dari statement yang pertama dan sangat tidak berkaitan dengan yang pertama, bahwa sebuah tindakan kebaikan akan kehendak tuhan tidak berkaitan dengan kebaikan atau sikap seseorang terhadap tuhan. Ini bukan berarti jika kita percaya terhadap tuhan kita akan terpengaruh dengan tindakan tuhan, karena itu belum tentu saling terkait contoh jika kita setuju dengan Nazi belum tentu kita bertindak seperti Nazi, atau jika kita setuju dengan orde baru bukan berarti kita setuju dengan kejahatan kemanusian yang menimpa kader Gerwani pada saat itu, ini merupakan salah satu contoh analogi yang saya gambarkan untuk kasus kedua ini.

Jika kita menengok agama kristen , didalam bible mereka berisi penyelasaian dari pemikiran tuhan, dan digunakan sebagai acuan untuk memberikan pencerahan bagi pikiran manusia.  Fondasi yang pertama adalah keyakinan bahwa tuhan merupakan pencipta bumi dan seisinya, ini merupakan sebuah klaim kebenaran yang wajib untuk dipatuhi, sebenarnya klaim mengenai tuhan merupakan pencipta dari bumi dan seisinya tidak hanya berlaku pada agama kristiani saja namun juga berlaku pada agama agama semit (islam maupun yahudi). Kita tidak bisa ada didunia ini jika kita tidak mendapatkan dari kebenaran pernyataan ini. dalam kitab suci disebutkan bahwa tuhan menciptakan manusia dan segala isinya , dan sebenarnya manusia ditempatkan di taman eden, namun karena manusia pertama(Adam dan Hawa), memakan buah yang terlarang karena dia memiliki nafsu atau keinginan untuk memakan nya, padahal buah itu merupakan buah yang dilarang untuk dimakan sehingga tuhan melempar mereka kebumi dan memiliki dosa bawaan. Hal ini berarti bahwa terdapat distingsi antara mana yang baik dan buruk apakah itu benar benar independen dari apa yang kita pikirkan, ini semua berakar dari pemikiran tuhan yang sudah tertuliskan dalam kitab suci. Bible menyediakan sebuah norma dan standar mengenai batasan tindakan yang diperuntukan bagi manusia, dan manusia memiliki kewajiban untuk selalu menyembah tuhan, mencintai kebaikan, menjunjung wibawa dari tuhan. Perintah dari tuhan diharapkan agar benar benar diimplementasikan dalam tindakan dan dipresepsikan sebagai sebuah tuntunan dalam melakukan berbagai hal.

Namun karena kita merupakan mahluk yang memiliki kemampuan untuk berfikir, jika dalam hati kecil kita mengatakan bahwa itu merupakan suatu yang baik namun menurut tuhan itu merupakan suatu hal yang salah, hal ini terjadi dalam konsep deontologi kant, jika kita dihadapkan pada sebuah kasus contoh terjadi penggrebekan terhadap kader wanita dari salah satu partai terlarang, dan wanita yang dicari itu sedang hamil berat dan akan dieksekusi mati, ternyata wanita tersebut meminta perlindungan kerumah kita untuk bersembunyi, ketika petugas keamanan yang memburu wanita tersebut menanyakan kepada kita apakah wanita tadi ada dirumah anda, maka kita akan menjawab bahwa wanita itu tidak ada, karena kita kasihan jika wanita itu sampai dihukum mati. Lantas dalam kasus ini kita berbohong padahal dalam ketentuan tuhan berbohong merupakan sesuatu yang dilarang sedangkan nyawa dari wanita itu juga penting, nah dalam kasus inilah salah satu contoh jika hati kecil kita bersuara bahwa itu benar namun menurut ketentuan tuhan itu salah.

Dalam berbagai hal, wahyu wahyu tuhan memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan putusan ethic yang diambil oleh manusia, secara perlahan manusia mulai meninggalkan hukum alam untuk mencari sebuah keadilan, contoh jika membunuh harus dibalas dengan membunuh, nah sedangkan dalam agama hal seperti itu harus dihindari karena tidak sesuai dengan wahyu tuhan,

Sedangkan menurut John Erthur, moralitas tidak terkait dengan agama, karena jauh dari agama manusia mempunyai keperluan untuk berfikir apa itu kebenaran, dan sering kali diperoleh melalui jalan ini. Arthur menyangkal bahwa hukum moral merupakan sesuatu yang disukai oleh tuhan, dan dia mencoba untuk melepaskan penglihatan bahwa hanya perintah tuhan lah yang dapat menjelaskan secara objektif perbedaan antara apa itu benar dan salah, dia membuat sebuah kesimpulan bahwa moralitas itu tidak diberikan oleh agama dan agama tidak memberikan moralitas, dalam faktanya moralitas itu terpisah dengan agama, keduanya merupakan logika dan kondisi psikologis subyek pelakunya, setidaknya kita memiliki pedoman kapan kita harus berbicara moralitas dan kapan kita harus berbicara dengan menggunakan agama. Dengan menggunakan natural morality adalah untuk mempertanyakan apakah itu berarti masyarakat dapat eksis tanpa menggunakan moral code. Dalam natural morality hapir mirip dengan natural justice bahwa kebaikan, kebenaran, kewajiban, tidak akan pernah dapat digunakan jika tidak dengan melegalkan perasaan itu. Masyarakat tidak akan memiliki tendensi untuk mengevaluasi atau mengkritisi perilaku orang lain, atau merasakan penyesalan yang mendalam mengenai perilaku yang mereka kerjakan.

Apa hubungan antara agama dan moralitas, jika ada, antara moral code dalam masyarakat dan kepercayaan agama?  Banyak orang merasa harus terdapat penghubung antara sebuah moralitas dan kepercayaan agama, namun adakah itu? Bagaimana pun penghubung itu bukan sebagai keperluan dan sungguh sangat sering agama adalah yang merusak sosial code dengan memberikan saran dan masukan terhadap perilaku diantara anggotanya. Sehingga terjadi pergeseran bahwa sebenarnya masyarakat memiliki moral code yang tidak berhubungan dengan agama namun karena agama terlalu sering bisa dikatakan sangat intens untuk memberi masukan dalam membuat suatu putusan moral ini berdampak moral code yang dimiliki oleh masyarakat akirnya luntur.

 

Lenteng Agung, 4 Januari 2016

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun