Siapa yang tidak kenal tahu dan tempe? Tahu dan tempe merupakan makanan khas dari Indonesia dan sangat digemari oleh seluruh lapisan masyarakat. Makanan tersebut merupakan salah satu makanan wajib dan hampir setiap hari ada di meja makan kita karena selain harganya murah, mudah dicari dan memiliki kandungan protein yang tinggi, maka tahu dan tempe menjadi pilihan makanan orang Indonesia.
Makanan tersebut terbuat dari biji kedelai yang diolah dengan proses pemasakan kedelai yang telah dijadikan bubur untuk pembuatan tahu dan proses fermentasi biji  kedelai yang sudah direbus untuk pembuatan tempe.
Kebutuhan kedelai nasional  Indonesia jatuh pada angka 2,7 ton/ tahun, namun produksi kedelai Indonesia masih belum dapat memenuhinya dan harus melakukan impor. Setiap tahun terjadi peningkatan volume impor kedelai, pada tahun 2013 negara kita mengimpor 1,78 juta ton dan saat tahun 2017 Indonesia mengimpor 2,53 juta ton, dalam jangka waktu 4 tahun terjadi peningkatan volume impor sebanyak 42% dan tahun berikutnya diperkirakan akan terjadi peningkatan lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan kedelai industri tahu dan tempe.
Hal tersebut tentu saja dilakukan pemerintah untuk menambah jumlah kedelai dari petani Indonesia yang digunakan untuk bahan baku pembuatan tahu dan tempe. Meskipun impor membutuhkan biaya yang besar, namun tetap dilakukan pemerintah demi memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Jika tidak dilakukan impor kedelai dan menggantungkan kebutuhan kedelai pada petani Indonesia, maka akan membutuhkan biaya yang lebih tinggi dari impor, sehingga harga tahu dan tempe akan naik dan masyarakat akah mengeluh akan hal itu.
Negara kita sebenarnya mampu untuk memproduksi kedelai tanpa harus mengimpor. Kedelai yang ditanam di Negara tropis memiliki umur 3 dengan hasil 3,2 ton/hektar, sedangkan kedelai yang ditanam di Negara subtropis bias memiiki umur 6 bulan dengan hasil panen 5-6 ton/tahun. Namun, pada tahun 2014 dilakuan perhitungan produksi kedelai di bawah 1 juta ton dan angka tersebut terus menurun setiap tahun. Jumlah tersebut tentu saja tidak dapat memenuhi kebutuhan kedelai nasional.
Namun, harga kedelai impor lebih murah, lebih tinggi kualitasnya dan lebih baik kuantitasnya jika dibandingkan dengan kedelai yang ditanam oleh petani di Indonesia. jika kedelai kita dihargai seharga kedelai impor maka petani akan mengalami kerugian karena biaya produksi dirasa sangat besar karena petani masih menanam kedelai dengan skala kecil. Petani Indonesia banyak  yang  membudidayakan padi atau tanaman pangan lainnya karena memiliki harga jual yang stabil dan relative tinggi dibandingkan dengan kedelai.
Untuk mewujudkan swasembada kedelai pemerintah harus menyediakan lahan yang lebih luas dengan dilakukan perluasan lahan kedelai. Dengan dilakukannya perluasan lahan akan meningkatkan produktivitas. Pada tahun 2017 Indonesia memiliki produktivitas lebih dari 2 Â ton/ha, produktivitas kita dirasa kurang optimal karena produktivitas kedelai di luar negeri mencapai 3,3 Â ton/ha. Dengan dilakuannya perluasan lahan diharapkan dapat menambah produktivitas.
Meskipun perluasan lahan dirasa sangat sulit dilakukan karena banyak terjadi alih fungsi lahan kedelai  dengan mengganti komoditas tanaman kedelai menjadi  tanaman padi, jagung, dan tanaman komoditas lainnya karena harga jualnya lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai. Selain itu, banyak lahan kosong yang belum dimanfaatkan menjadi lahan kedelai , hal tersebut dapat dijadikan potensi untuk perluasan lahan.  Swasembada kedelai dapat berjalan lancar jika terjadi kerjasama antar petani dan pemerintah. Jika tidak terjadi kerjasama maka swasembada tidak akan terealisasikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H