Usai tampil apik di lakon “Dokter Syamsi”, perlahan tapi pasti Devi Dja mulai menyaingi ketenaran Miss. Riboet dan Fifi Young, dua wanita pemeran utama Dardanella. Bersama Tan Tjeng Bok, ia menjadi sosok penting dalam kisah sukses grup Dardanella.
Saat Dardanella pertama kali mentas di luar negeri, Devi Dja baru 17 tahun. Usia yang kata Devi Dja lagi seger-segernya. Menurut catatan Ramadhan KH, saat Dardanella manggung di luar negeri, nama kelompok Dardanella mulai berganti-ganti, dengan personil yang juga berganti-ganti. Kecuali Pedro dan Devi Dja tentunya.
Dardanella lalu main di Hongkong, New Delhi, Karachi, Bagdad, Basra, Beirut, Kairo, Yerusalem, Athena, Roma. Terus keliling Negeri Belanda, Swiss, dan Jerman. Pada Mei 1937 saat manggung di India, rombongan mereka tampil di depan Jawaharlal Nehru yang kemudian jadi pemimpin negeri itu. Kabarnya mereka sempat menginap di rumah Mahatma Gandhi.
Dan seperti dituturkan Devi Dja pada Majalah Tempo di tahun 80-an, saat bermain di luar negeri, Dardanella berubah namanya menjadi “The Royal Bali-Java Dance”. “Kami lebih mengutamakan tari-tarian daripada sandiwara, sebab khawatir penonton tidak tahu bahasanya,” katanya.
Devi Dja juga masih ingat ketika Perang Dunia II mulai berkecamuk, mereka sedang berada di Munich, Jerman. Saat itu keadaan masyarakat dunia sedang dalam kegelisahan yang juga dialami oleh personel “The Royal Bali-Java Dance” (Dardanella) terkait situasi perang.
Ramadhan KH menulis, di tengah kegelisahan masyarakat Eropa khususnya, Pedro kemudian mengambil keputusan menyeberang ke Amerika saat mereka sedang berada di Belanda. Akhirnya bersama rombongan kecil Dardanella, Devi Dja naik kapal “Rotterdam” menuju Amerika.
Perhitungan Pedro ketika itu barangkali karena negara Amerika relatif lebih menjanjikan dan dikenal sebagai Tanah Harapan. Dengan nama tenar yang disandangnya, sesampainya di Amerika mereka mendapat sponsor dari Columbia untuk pentas hampir di seluruh kota besar Amerika. “Kami keliling, tidur di trem saja. Cuma di New York menetap dua minggu,” tutur Devi Dja.
Sudah merasa cukup lama di Amerika mereka bermaksud kembali ke tanah air, tapi Indonesia keburu diduduki Jepang. Akhirnya mereka tertahan di Amerika tidak bisa pulang. Setelah Perang Dunia II usai anggota rombongan tinggal belasan orang, sebab sebagian berusaha pulang. Dan semangat pun mulai luntur. Demi bertahan hidup di Amerika, Pedro dan Devi Dja membuka sebuah niteclub bernama Sarong Room di Chicago, yang sayang terbakar habis pada 1946.
Pedro akhinya merasa tak tahan dan meninggal dunia di Chicago tahun 1952. Di masa awal kemerdekaan Indonesia, Devi Dja sempat bertemu Sutan Syahrir yang tengah memimpin delegasi RI untuk memperjuangkan pengakuan Internasional terhadap kemerdekaan Indonesia di markas PBB New York tahun 1947.
Oleh Syahrir, dia sempat diperkenalkan sebagai duta kebudayaan Indonesia kepada masyarakat Amerika. Dan namanya pun makin dikenal di negara itu. Sebab itu tak sulit baginya mendapatkan kewarganegaraan Amerika.
Tahun 1951 Devi Dja resmi menjadi warga negara Amerika. Sepeninggal Pedro, Devi masih sempat mementaskan kebolehannya dari pangung ke panggung bersama anggota kelompok yang tersisa. Devi menikah dengan seorang seniman Indian bernama Acce Blue Eagle.