Mohon tunggu...
ALBERTUS ANTERO ARNAYUSRANDITA
ALBERTUS ANTERO ARNAYUSRANDITA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S-1 Program Studi Teknologi Sains Data Universitas Airlangga

Still learn about Data, Technology, Business, Design, and Social Life

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia: Kekayaan dan Kemajuan yang Terhalang Pola Pikir SDM Rendah

23 Juni 2022   08:00 Diperbarui: 23 Juni 2022   08:39 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia, sebuah negara yang memiliki ribuan pulau didalamnya dan tersebar di wilayah selatan Asia Tenggara. Berbatasan langsung dengan benua Australia, Asia, Samudera Hindia, dan samudera terbesar dunia, Samudera Pasifik. Negara yang dalam sejarahnya pernah menguasai beberapa bagian negara lain di kawasan Asia Tenggara melalui kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang berdiri di wilayah tersebut. Negara yang terjajah oleh beberapa negara barat seperti karena kekayaan alam yang tidak bisa didapatkan di negara-negara penjajah tersebut. Dan tentunya, negara dengan 1001 perbedaan mulai dari Budaya, Agama, Bahasa, dan Ras.

            Jika mendengar kata "Indonesia", yang terbesit di kepala orang-orang terutama dunia internasional ialah, "Berkembang", "Kaya Raya", "1001 Kebudayaan", "Macan Asia Tertidur", "Ekonomi terbesar di Asia Tenggara", dan berbagai macam sebutan lain. Hal tersebut menjadi bukti, bahwa sebenarnya Indonesia sangat mampu dan berpotensi menjadi negara yang sangat maju. Negara yang besar, dipisahkan oleh ribuan pulau didalamnya, dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat baik, menjadikan Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk sebagai anggota Group of Twenty atau G-20. Indonesia juga masuk ke dalam beberapa organisasi dunia lain karena kekuatan ekonominya yang terus berkembang. Jika dilihat dengan seksama, Indonesia mempunyai segala hal yang mampu menambah daftar kelengkapan sebagai negara yang maju. Perekonomian yang besar, kekayaan alam yang melimpah, kebudayaan yang sangat beragam, bahkan perbedaan antar agama, ras, dan golongan pun ada di Indonesia. Sebenarnya banyak hal yang tidak dimiliki oleh negara maju, tapi dimiliki oleh Indonesia yang notabene sebagai negara berkembang. Namun, mengapa Indonesia dengan segala macam asset yang dimilikinya, masih jauh tertinggal dari negara-negara maju, terutama tetangganya sendiri, Singapura? Padahal secara geografis, Singapura hanyalah negara kecil yang luasnya sama dengan luas Jakarta, tidak memiliki asset alam dan kebudayaan, namun secara keseluruhan Singapura dinyatakan sebagai negara maju.

            Jika dilihat dalam sejarahnya, setelah lepas dari genggaman Federasi Malaysia, Singapura hanyalah negara kecil yang sangat miskin, rakyatnya hidup dalam penderitaan, tidak memiliki apa-apa. Berbeda dengan Indonesia yang saat itu menjadi primadona Asia Tenggara, memiliki asset alam yang melimpah, bahkan lebih maju dibandingkan Singapura. Tetapi, takdir tersebut berubah beberapa tahun setelahnya, dimana kekayaan alam tidak lagi menjamin kemajuan sebuah negara apalagi setelah dihantam badai krisis moneter 1998, Indonesia tidak lagi menjadi seperti dulu. Namun, pada saat itu Singapura melesat hingga menggeser posisi Indonesia sebagai negara maju di kawasan Asia Tenggara. Mungkin yang terpikir di benak orang-orang Indonesia adalah, "Kok bisa, negara kecil yang tidak memiliki harta alam melimpah bisa sekaya dan semaju itu?"

            Wilayahnya yang sangat kecil dan tidak memiliki kekayaan alam apapun, salah satu yang bisa diandalkan adalah Sumber Daya Manusia-nya, itulah Singapura. SDM itulah yang menjadi satu-satunya asset negara Singapura, sehingga mereka cenderung berusaha memanfaatkan dan mengembangkan asset-asset negara tersebut, agar dapat berkembang dan berpikiran maju, sehingga mampu membangun Singapura lepas dari cengkraman kemiskinan. Selain itu, pemimpin Singapura juga menambahkan dan memberlakukan berbagai macam aturan yang ditujukan untuk mendisiplinkan warganya. Alhasil, dari pengolahan SDM hingga sangat matang dan pemberlakuan aturan yang bermacam-macam, Singapura menjadi negara yang sangat maju dan sangat kaya, terutama di kawasan Asia Tenggara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, kemajuan suatu negara itu dilihat dari kemajuan Sumber Daya Manusia-nya dalam berpola piker baik secara akademis maupun non-akademis. Namun, untuk mencapai hasil yang sedemikian rupa, tentunya negara tersebut harus memilih pilihan sulit, salah satunya pemberlakuan aturan dan kebijakan yang semakin membatasi kebebasan berpendapat.

            Dari sejarah Singapura tersebut, dapat dikatkan bahwa kemajuan suatu negara dilihat dari kemajuan pola pikir, masyarakatnya baik secara akademis maupun non-akademis. Lalu, bagaimana dengan Sumber Daya Manusia di Indonesia?

            Berdasarkan riset yang dilakukan oleh WorldBank pada tahun 2018, Indonesia menempati peringkat ke-87 dari 157 negara dengan nilai 0,53 dalam kategori indeks Sumber Daya Manusia (SDM). Nilai tersebut terbilang cukup rendah untuk negara seperti Indonesia. Dari nilai tersebut, Indonesia termasuk dalam kategori tertinggal dari beberapa negara lain yang berada di kawasan Asia Tenggara. Selain riset yang dilakukan oleh WorldBank tersebut, fakta-fakta terkait rendahnya SDM di Indonesia juga tercermin dari pola perilaku dan pola berpikir yang terlihat dalam kehidupan nyata dalam masyarakatnya sendiri.

            Salah satu fakta rendahnya SDM Indonesia terlihat dari banyaknya remaja di Indonesia yang haus akan konten demi ketenaran dirinya sendiri dan kelompoknya. Banyak dari mereka yang melegalkan dan menghalalkan segala cara demi membuat konten yang viral dan nama mereka menjadi dikenal oleh masyarakat. Namun, konten-konten mereka cenderung dibuat tanpa melakukan riset lebih mendalam dan matang. Buktinya, mereka cenderung membuat konten yang membahayakan dirinya sendiri, masyarakat, dan bahkan makhluk hidup lain. Salah satunya yang baru-baru ini sangat viral adalah fenomena remaha yang turun ke jalan raya secara tiba-tiba untuk menghadang truk-truk yang melintas. Mereka dengan sengaja turun ke jalan untuk membuat konten, menunjukkan bahwa seolah-olah mereka adalah orang yang terkuat dan paling berani, namun nyatanya malah banyak merenggut nyawa mereka sendiri. Menurut salah seorang Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, perlakuan tersebut mencerminkan upaya untuk mendewakan identitas. Bagi mereka, keinginan dinilai "hebat", "gagah", dan "berani" lebih penting dibandingkan peran dan kontribusi mereka ke depan untuk kemajuan bangsanya.

            Selain itu, adapula fenomena "klitih" yang viral beberapa bulan lalu, terkhusus di D.I. Yogyakarta. Klitih atau yang dikenal dengan Keliling Golek Getih, jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, Keliling Mencari Darah. Lagi-lagi pelaku tindakan klitih ini kebanyakan berasal dari kalangan pelajar yang saling menyerang pelajar lain, baik pelajar independent ataupun pelajar yang tergabung dalam geng tertentu. Adapun tujuan dari klitih ini ialah bersenang-senang dan mencari jati diri masing-masing remaja, dimana cara melakukannya dengan membuat keresahan bagi masyarakat sekitar. Bahkan ramai di sosial media terkait kejadian klitih tersebut, seperti komentar "Yogyakarta Istimewah sebelum jam 22.00, tapi mencekam setelah jam 22.00". Keberadaan terror klitih tersebut sepertinya juga berpengaruh terhadap pariwisata di Jogja, bahkan salah satu wisatawan dalam negeri yang hendak berlibur ke Jogja lebih memilih kembali ke kota asalnya secepat mungkin karena dirasa kurang aman.

            Selain dua fenomena anarkis tersebut, masih banyak fenomena-fenomena anarkis lain yang bahkan dilakukan oleh orang-orang dewasa, seperti tawuran antar warga, cekcok antar warga yang berakhir saling menyerang secara fisik. Jika dilihat secara keseluruhan berdasarkan fenomena-fenomena yang disebutkan di atas, masyarakat Indonesia cenderung menyelesaikan masalah dengan cara adu fisik, baik antar individu maupun antar kelompok. Mereka akan dinilai hebat dan kuat apabila secara fisik, mereka berhasil mengalahkan kelompok atau individu lain. Sedikit berbeda dengan pola pikir negara maju, dimana seseorang akan dinilai hebat dan kuat apabila seseorang tersebut mampu menjadi problem solving dimana permasalahannya diselesaikan secara rasional, bukan dengan adu kekuatan fisik. Pola pikir tersebut memiliki kecendrungan sebagai salah satu penghambat dari kemajuan bangsa. Jika ditelisik lebih mendalam, pola pikir yang dimiliki para pejabat negara di Indonesia juga sama hal-nya dengan rakyatnya. Masih mementingkan dirinya sendiri dan kelompoknya. Segal acara akan dilegalkan dan dihalalkan sendiri demi memenuhi kepuasan dan keinginan diri sendiri dan kelompok. Memang, dapat dikatakan solid, namun kesolid-an tersebut dicapai dengan merugikan dan mengancam keberlangsungan hidup orang lain.

            Indonesia dengan kekayaan yang melimpah ruah, namun hanya sedikit dari mereka yang mampu mengolahnya. Sehingga diperlukan juga SDM yang berkualitas, yang haus akan ilmu dan pengolahan asset negara, bukannya haus akan ketenaran duniawi agar dikenal orang banyak. Indonesia diprediksi akan mengalami fenomena bonus demografi pada tahun 2030, dimana masyarakat usia produktif lebih mendominasi dibandingkan masyarakat yang berusia non-produktif. Diharapkan, dengan mencapainya bonus demografi tersebut, Indonesia dapat mencapai tahun keemasan-nya. Namun, jika dilihat dari pola pikir SDM generasi sekarang yang cenderung mendahulukan kekuatan emosional secara fisik dibandingkan berpikir rasional, apakah Indonesia akan benar-benar mencapai tahun emas secara tepat waktu pada 2030?

            Infrastruktur dan perekonomian yang sangat maju, akan menjadi sia-sia apabila tidak diimbangi dengan SDM yang berkualitas. Untuk mencapai SDM yang berkualitas, diperlukan perubahan pola pikir menjadi lebih kritis dan rasionalis, tanpa menerapkan unsur kekerasan baik untuk menyelesaikan permasalahan ataupun hanya dalam konteks kesenangan atau hiburan. Penanaman pola pikir tersebut hendaknya menjadi tugas seluruh elemen di masyarakat, terutama orang tua dan keluarga, dimana disitulah sekolah utama generasi penerus bangsa, agar dapat membentuk pola pikir yang kritis dan rasionalis. Bimbingan keluarga sangat diperlukan untuk tumbuh kembang generasi penerusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun