Mohon tunggu...
Satrio Utomo
Satrio Utomo Mohon Tunggu... Penulis - Analis Pasar Modal, Analis Teknikal, Trader Saham, Penulis Buku

Saya adalah pelajar dari Jalan 'Pasar Modal' (a.k.a. seorang profesional trader). Sudah lebih dari 10 tahun malang melintang di dunia persahaman. Silakan akses profile lengkap saya di http://www.facebook.com/satrioutomo

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pertalite: Tetap Saja BBM yang 'Diproyekkan'

17 Mei 2015   09:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:54 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Selamat pagi...

Diproyekkan. Mungkin ini istilah lama yang sudah jarang kita dengar. Sekedar ilustrasi, kisruh antara Gubernur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dengan DPRD DKI kemarin, pokok permasalahannya adalah UPS yang 'diproyekkan'. Istilah diproyekkan ini, biasanya terkait dengan 'barang yang kualitas sama atau bahkan lebih rendah, tapi kemudian dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi, untuk memenuhi kebutuhan dari pihak lain'. Dalam kasus UPS si Ahok, UPS yang harganya hanya Rp 500 ribu, kemudian jual kepada Pemerintah dengan harga miliaran Rupiah, untuk memenuhi proyek. Proyek pengadaan barang yang dibuat oleh Pemerintah.

Istilah 'diproyekkan' ini, sepertinya juga cocok kalau kita lekatkan kepada Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium. Dengan tidak adanya BBM dengan oktan (RON) 88 yang dijual dipasaran, PERTAMINA kemudian mengambil langkah strategis: memenuhi kebutuhan BBM RON 88, dengan BBM RON 92 yang 'diproyekkan'. BBM RON 92 yang ada di pasar, kemudian dicampur dengan segala macam bahan, agar RON-nya turun sesuai 'spesifikasi proyek', kemudian dijual kepada Pemerintah, dengan 'harga keekonomian'. Harga keekonomian yang hingga saat ini masih merupakan misteri karena setiap kali harga BBM Premium naik, selalu saja PERTAMINA bilang: belum mencapai harga keekonomian... belum mencapai keekonomian... belum mencapai keekonomian.

Pertalite: BBM yang Diproyekkan (juga)

Tidak lama berselang, PERTAMINA mengusulkan BBM Pertalite sebagai pengganti dari BBM Premium. Pertalite ini, konon adalah BBM dengan RON 90, yang dijual dibawah harga Pertamax, tapi lebih mahal dari Premium.

Awalnya, saya melihat Pertalite ini sebagai sebuah pilihan yang masuk akal. Toh, Premium memang harus segera dihapuskan. Karena statusnya sebagai BBM yang diproyekkan, Premium memang tidak efisien. Harga kemahalan, kualitasnya juga kurang. Jadi memang harus dihilangkan. Akan tetapi, saya menjadi 'curiga' ketika saya melihat definisi dari Pertalite yang diungkapkan Direktur Pemasaran PERTAMINA, Ahmad Bambang didepan DPR hari Rabu kemarin:

Untuk membuat Pertalite, kita menggunakan nafta yang memiliki RON 65-70, agar RON-nya jadi RON 90 kita campurkan HOMC, HOMC ini bisa dibilang ya Pertamax, campurannya HOMC yang RON-nya 92-95, plus zat aditif EcoSAVE biar tambah halus, bersih dan irit. Pokoknya ketiga bahan ini campur-campurin sampai pas RON 90

Karena istilah tersebut terlasa terlalu teknis dan terlalu detail, saya jadi terus penasaran: Apakah benar BBM RON 90 ini adalah BBM yang umum tersedia di pasaran? Apakah benar BBM RON 90 ini mudah diperoleh di dunia internasional? Masalahnya begini: dalam kasus Premium, karena kebutuhan akan BBM Premium tersebut sedemikan besar, maka ketika BBM RON 88 tidak lagi dibuat, Pertamina 'terpaksa' mengada-adakan atau memproyekkan BBM Premium ini, dari BBM RON 92 yang ada di pasar. Hasilnya sudah jelas: Indonesia terjebak oleh kebijakan BBM yang tidak transparan dan sangat rawan oleh korupsi. Yang untung hanya Petral dan beberapa gelintir orang yang lain.

Indonesia itu sebuah negara besar. Jumlah penduduknya saja, sudah lebih dari 250 juta. Jumlah kendaraan bermotornya juga sudah melewati angka 100 juta. Untuk memenuhi kebutuhan BBM dari pasar sebesar itu, tentu saja memerlukan suplai BBM yang luar biasa besar juga. Untuk memenuhi BBM dari pasar, kita tidak bisa menggunakan strategi: oh.. ini BBM kita bikin.. nanti kalau kurang kita impor. Jelas tidak bisa. Untuk memenuhui kebutuhan BBM yang sedemikian besar, kita harus menggunakan strategi: 'ini BBM kita bikin, tapi kalau kurang, mau impor juga mudah karena di pasarnya banyak. Kalau tidak, ya jelas: kita akan masuk dalam lingkaran setan lagi, seperti lingkaran setan yang sudah terbentuk untuk BBM Premium.

Berbicara mengenai BBM yang banyak tersedia di pasar, saya kemudian mengintip beberapa BBM di kawasan Asia yang aktif perdagangannya Chicago Merchantile Exchange Group. Ini memang derivatif. Tapi, saya memang hanya mencari sesuatu yang mudah dilihat harga pasarnya, sehingga jika terjadi kekurangan, PERTAMINA tidak akan kesulitan untuk mencari suplai. Disitu saya melihat, bahwa yang aktif perdagangannya, hanyalah BBM dengan RON 92, RON 95, dan RON 97. Dari pencarian saya di Google, RON 90 itu hanya BBM standar yang dipakai di Jepang. Sehingga tidak banyak suplainya di dunia ini. Apakah benar kita akan menggunakan BBM seperti itu sebagai alternatif pengganti dari Premium? Kalau iya... berarti memang benar-benar gawat. Kalau sukses... Pertalite nantinya hanya akan menjadi 'BBM yang diproyekkan lagi'. Tidak akan berbeda hasilnya dengan posisi BBM Premium saat ini.

Saya kira, Pertalite tidak bisa digunakan sebagai alternatif BBM Premium. Kalau ternyata nanti BBM Premium dihilangkan, maka solusi yang paling masuk akal adalah New Premium nantinya adalah BBM dengan RON 92, Pertamax yang naik menjadi BBM dengan Oktan 95, dan Pertamax Plus yang tetap dengan oktan 98. Langkah ini adalah sebuah pilihan yang paling masuk akal. Di satu sisi, BBM yang tersedia di pasar dalam negeri, adalah BBM yang mudah dicari suplainya di pasar internasional sehingga kalau kekurangan, Pertamina akan mudah untuk melakukan impor dengan harga yang wajar. Disisi lain, konsumen juga akan diuntungkan karena mendapatkan BBM dengan kualitas yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun