Air menjadi kebutuhan pokok setiap kegiatan manusia, seperti untuk kegiatan domestik, kegiatan industri, kegiatan produksi, kegiatan medis, dan kegiatan lainnya. Tidak hanya manusia, tetapi juga makhluk hidup lainnya membutuhkan air untuk keberlangsungan hidup masing-masing. Menurut Karangan et al. (2019), air merupakan sumber kehidupan yang menjadi unsur penting bagi seluruh makhluk hidup di bumi ini. Setiap sel-sel yang terdapat pada organisme hidup mengandung air sebanyak 60% dan aktivitas metaboliknya dilakukan pada tempat berair. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga ketersediaan air di bumi ini, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Penjagaan kuantitas air dapat dilakukan dengan mengurangi angka kebocoran yang dapat terjadi ketika pendistribusian air. Sedangkan penjagaan kualitas air dapat dilakukan pada sumber mata air dengan tidak membangun infrastruktur di area sumber mata air yang dapat mencemari sumber tersebut. Namun, seiring dengan pesatnya peningkatan jumlah manusia, air menjadi sumber daya yang sulit ditemukan. Air yang dimaksud disini adalah air bersih yang memiliki kualitas tertentu dan memenuhi syarat-syarat kualitas air bersih.Â
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyebutkan bahwa krisis air merupakan ancaman serius bagi seluruh negara di dunia. Hal ini dikarenakan perubahan iklim yang mengganggu siklus hidrologi, yaitu siklus atau pergerakan air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer secara terus menerus. Perubahan iklim ini dibuktikan dengan perbedaan kondisi, beberapa negara mengalami kekeringan tetapi di belahan dunia lain mengalami bencana banjir yang menunjukkan bahwa perubahan iklim ini mengakibatkan munculnya fenomena ekstrim dengan periode yang lebih singkat. Hal ini diperparah dengan kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia. Berbagai aktivitas manusia menyebabkan sumber daya air bersih menjadi tercemar. Tidak dapat dipungkiri, setiap aktivitas yang dilakukan manusia pasti menimbulkan hasil akhir dan sisa atau limbah. Limbah dari aktivitas manusia tersebut akan mencemari sumber air bersih, baik air permukaan maupun air tanah. Akibatnya, masyarakat kesulitan mencari air bersih yang layak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Permasalahan krisis air bersih juga terjadi pada negara Indonesia yang merupakan sebuah negara kepulauan dengan lebih dari 60% wilayahnya berupa perairan. Indonesia termasuk negara tropis yang hanya terdiri dari dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Sepanjang tahunnya, negara Indonesia selalu mendapat air hujan. Dengan kondisi iklim tersebut, seharusnya kebutuhan air bersih di Indonesia dapat tercukupi dan tidak menjadi suatu permasalahan serius. Namun, berdasarkan data United States Agency For International Development (USAID) dan Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene (IUWASH), Indonesia menduduki peringkat terakhir dari negara-negara di ASEAN dalam masalah akses air dan sanitasi perkotaan (Febriawati et al., 2020). Masih banyak daerah di Indonesia yang penduduknya kesulitan untuk mencari air bersih. Hal ini membuktikan bahwa di negara yang terlewati musim hujan sepanjang tahunnya pun masih bisa mengalami krisis air bersih.Â
Krisis air bersih di Indonesia juga didorong dengan buruknya pengelolaan sumber daya air. Sebagian besar pengelola air bersih di Indonesia hanya menggunakan sumber air tawar, seperti air permukaan dan air tanah. Faktanya, sumber air tawar hanyalah 3% dari total sumber air yang ada di bumi ini. Dari 3% sumber air tersebut, hanya sekitar 1% sumber air tawar permukaan yang biasa diakses masyarakat. Di lain sisi, sumber daya air yang biasa digunakan masyarakat tersebut semakin berkurang akibat berbagai aktivitas manusia. Banyaknya bangunan dan alih fungsi lahan menyebabkan kelangkaan sumber air tanah karena minimnya daerah resapan air. Selain itu, air permukaan lebih rawan tercemar oleh limbah yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia, seperti aktivitas domestik, aktivitas industri, aktivitas medis, dan lain sebagainya. Terlepas dari 1% sumber air tawar tersebut, terdapat sumber air yang yang kualitasnya kurang lebih sama dengan kualitas sumber air permukaan lainnya. Sumber air tersebut yaitu air hujan. Sesuai dengan prinsip siklus hidrologi, air akan berputar terus menerus dari permukaan bumi ke atmosfer dan kembali lagi turun ke bumi. Dengan demikian, air hujan akan terus tersedia jika siklus hidrologi berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai alternatif sumber air bersih di Indonesia.
Salah satu contoh bukti nyata terjadinya krisis air di Indonesia yaitu permasalahan air yang terjadi di DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang terus mengalami tekanan akibat pertumbuhan penduduk. Peningkatan jumlah penduduk yang pesat menyebabkan banyak lahan di Jakarta yang dialihfungsikan dan penurunan kualitas sumber daya air. Sebanyak 97,5% air waduk di Jakarta tercemar, 88% air sungai tercemar, 68% air tanah tercemar, dan 100% air laut di teluk Jakarta tercemar (Febriawati et al., 2020). Berdasarkan Dinas Tata Air DKI Jakarta, PDAM wilayah Jakarta hanya mampu memenuhi kebutuhan air bersih sebanyak 60% dari total penduduk Jakarta pada tahun 2014 (Kartolo & Kusumawati, 2017). Daerah yang selalu diperhatikan oleh pemerintah seperti Kota Jakarta pun masih tidak dapat memenuhi kebutuhan air bersih seluruh penduduknya, apalagi daerah lain yang jauh dari pusat pemerintahan. Dari kasus tersebut, membuktikan bahwa pengelolaan air di Indonesia masih belum maksimal.
Di sisi lain, Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki intensitas curah hujan tinggi. Kondisi ini dapat menjadi peluang untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat. Salah satu metode yang paling tepat untuk memanfaatkan tingginya intensitas curah hujan di Indonesia yaitu metode konservasi air Rain Water Harvesting atau pemanenan air hujan. Sesuai dengan namanya, metode ini dilakukan untuk mengumpulkan, menampung, dan menyimpan air hujan. Teknik pemanenan air hujan ini telah diterapkan di beberapa negara maju, seperti Jepang. Di Jepang, metode ini mampu menyediakan air bersih untuk memenuhi kebutuhan domestik, seperti penyiraman toilet, pemadam kebakaran, dan air minum darurat. Apabila teknik pemanenan air hujan ini diterapkan di Indonesia, dapat menjadi sumber alternatif yang ekonomis dan mengatasi permasalahan krisis air.
Bedasarkan Sari & Suhendri (2018), terdapat 6 komponen dasar dalam sistem pemanenan air hujan. Pertama, permukaan tangkapan air yang merupakan komponen awal yang dibutuhkan untuk menerapkan metode pemanenan air hujan. Atap suatu bangunan mempengaruhi banyaknya air hujan yang akan dimanfaatkan kembali. Permukaan atap yang tersusun dari bahan berpori dan bertekstur, seperti genteng tanah liat, akan lebih banyak menahan air hujan dibandingkan dengan atap lunak berbahan aluminium atau logam. Pemilihan material atap juga penting agar air hujan terhindar dari bahan-bahan yang tidak diinginkan. Kedua, talang yang berfungsi sebagai saluran air untuk air hujan yang ditangkap oleh atap bangunan. Ketiga, filter untuk memisahkan air hujan dengan kotoran yang terbawa, baik dari hujan itu sendiri atau dari atap bangunan. Penggunaan filter ini bertujuan agar didapatkan air yang bersih pada tangki penyimpanan. Selanjutnya, tangki penyimpanan yang berfungsi untuk menyimpan cadangan air hujan yang sudah disaring oleh filter. Dari tangki penyimpanan inilah akan didistribusikan air hujan hasil pemanenan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air aktivitas domestik. Distribusi air dari tangki penyimpanan biasanya dilakukan dengan bantuan pompa air. Komponen terakhir yaitu sistem perawatan air hujan untuk kebutuhan lebih lanjut. Air hujan yang hanya disaring dengan filter sederhana dapat digunakan untuk kebutuhan air non-minum, seperti penyiraman toilet dan irigasi. Jika ingin menggunakan air hasil pemanenan untuk minum, perlu dilakukan penyaringan lebih lanjut dan proses yang kompleks.
Metode pemanenan air hujan sebenarnya sudah menjadi wacana pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan kekeringan. Beberapa sudah menerapkan metode ini tetapi masih belum dilakukan dengan efektif dan efisien, baik secara biaya maupun kuantitas air hujan yang dapat digunakan. Terdapat beberapa hambatan untuk menerapkan metode pemanenan air hujan secara massal. Hambatan yang utama yaitu kurangnya tempat sebagai peletakan tangki penyimpanan air hujan. Dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di Indonesia akan membawa peningkatan kepadatan penduduk di suatu daerah. Semakin padat penduduk suatu wilayah maka semakin banyak infrastruktur bangunannya. Sedangkan, untuk memaksimalkan jumlah air hujan yang dapat disimpan dari metode pemanenan air hujan dibutuhkan volume tangki yang lebih besar pula. Selain itu, kendala pada penerapan metode pemanenan air hujan yaitu permasalahan kualitas air bersih yang didapat. Seperti yang kita ketahui, air hujan dapat berasal dari manapun, seperti air sungai, air selokan, air danau, dan lain sebagainya. Hal tersebut membuat air hujan memiliki kualitas air yang tidak menentu sehingga perlu dilakukan uji kualitas air hujan yang ditampung. Agar air hujan yang ditampung dapat digunakan untuk aktivitas yang membutuhkan air dengan kualitas baik, perlu dilakukan penyaringan air hujan lebih lanjut dengan proses yang kompleks untuk mengurangi bahan pencemar air. Tidak semua masyarakat mau melakukan proses penyaringan yang kompleks itu karena tentunya membutuhkan biaya lebih. Oleh karena itu, penerapan metode pemanenan air hujan perlu direncanakan dengan baik agar dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.Â
Metode ini cocok diterapkan pada bangunan dengan atap yang luas, seperti hotel, stasiun, gedung olahraga, komplek industri, perkantoran, dan lain sebagainya. Dengan atap yang luas maka daerah penangkapan air hujan akan lebih besar. Hal ini perlu diiringi dengan penyediaan lahan untuk penyimpanan tangki penyimpanan air hujan yang ditangkap. Tangki air ini penting untuk menyimpan cadangan air hujan karena curah hujan bersifat fluktuatif tiap bulannya. Oleh karena itu, perlu direncanakan dengan baik volume tangki penyimpanan agar metode pemanenan air hujan dapat menjadi solusi krisis air yang efisien. Berdasarkan Kartolo & Kusumawati (2017), volume tangki untuk rumah dengan luas 60 m2 yaitu sekitar 9 m3 dengan daya tampung yang dapat memenuhi 76,5% dari total kebutuhan air dalam satu rumah. Apabila digunakan untuk penyiraman tanaman dan toilet, maka dapat menutupi kebutuhan 296 hari dalam setahun atau 82,02% kebutuhan air untuk menyiram tanaman dan toilet. Dengan contoh tersebut, menunjukkan bahwa potensi metode pemanenan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air domestik sangatlah besar. Jika metode ini diterapkan dengan desain yang tepat pada daerah penangkapan luas, seperti area industri, maka tentu akan menghemat kebutuhan air dalam kegiatan industri tersebut.
Dengan menerapkan metode pemanenan air hujan, kebutuhan air untuk penyiraman toilet dan tanaman akan terpenuhi sehingga air bersih yang dimiliki setiap individu dapat disimpan untuk kebutuhan lainnya. Pada umumnya, dalam sekali penyiraman toilet dibutuhkan 3 - 5 Liter air. Dalam sehari, seseorang dapat menggunakan sekitar 20 Liter air hanya untuk dibuang kembali dalam penyiraman toilet. Jika kita menggunakan air hasil pemanenan air hujan maka kita dapat menghemat sekitar 20 Liter per harinya sehingga air bersih dengan kualitas baik dapat digunakan untuk kebutuhan lain, seperti mandi, memasak, mencuci, dan kegiatan lain yang membutuhkan air dengan kualitas lebih baik. Air yang dihasilkan dari metode ini dapat menjadi solusi krisis air di daerah yang sulit menemukan air bersih, seperti daerah pesisir. Penduduk di daerah pesisir seringkali terkendala air bersih untuk digunakan dalam kesehariannya karena sebagian besar air di daerah pesisir merupakan air laut. Dengan menampung air hujan yang turun, dapat menjadi sumber air tawar yang baik bagi penduduk daerah pesisir. Selain itu, metode pemanenan air hujan dapat menjadi alternatif cadangan air ketika musim kemarau tiba. Saat musim kemarau, keberadaaan air dari sumber air, seperti sungai, danau, dan air bawah tanah akan berkurang sehingga banyak orang kesulitan mencari sumber air. Pemanenan air hujan juga akan meningkatkan akses masyarakat terhadap persediaan air karena letaknya tidak sejauh sumber air lainnya.Â
Metode pemanenan air hujan juga berperan untuk mengurangi bencana banjir akibat berkurangnya daerah resapan air ke tanah. Jika tidak ada lagi lahan sebagai tempat menampung air, seperti di kota-kota besar yang kebanyakan lahannya sudah dikembangkan untuk pengembangan infrastruktur kota, maka hanya sedikit air hujan yang dapat masuk kembali ke tanah atau disebut infiltrasi. Hal ini menyebabkan air hujan hanya bisa mengalir di atas permukaan tanah (surface runoff) dengan volume yang besar dan dapat mengakibatkan terjadinya banjir. Dengan menerapkan metode pemanenan air hujan, air hujan yang turun tidak terbuang begitu saja. Air hujan akan ditampung dalam tangki penyimpanan untuk dimanfaatkan kembali. Dengan demikian, air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah (surface runoff) memiliki volume yang lebih kecil sehingga banjir dapat dihindari.