"(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka". Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami." (Q.S. Al-A'raaf : 51)
Pada era modern, banyak orang merasa memiliki pengetahuan lebih dan menggunakan berbagai doktrin untuk mendominasi masyarakat. Kurangnya pengetahuan di kalangan masyarakat umum turut memfasilitasi berkembangnya doktrin-doktrin tersebut. Akibatnya, praktik agama yang tidak berlandaskan nilai-nilai luhur spiritualitas marak terjadi. Sebagai contoh, agama dijadikan alat untuk tujuan sosial maupun ekonomi adalah sebuah bentuk penyimpangan yang sering kali tidak disadari.
Para pelaku hipokrisi agama memanfaatkan simbol, nama tokoh terdahulu, dan bahkan ayat-ayat suci untuk memperkuat aksi mereka. Bahkan, sebagian besar dari mereka menggunakan ayat-ayat palsu untuk meyakinkan masyarakat. Dengan memanfaatkan ketidaktahuan, mereka membangun kedominanan dalam lingkungan tersebut. Praktik ini sejalan dengan kritik tajam Nietzsche terhadap kristenisasi barat yang terjadi di Eropa pada eranya.
Munculnya fenomena ini menjadi bukti atas berbagai gagasan Nietzsche, khususnya pada ungkapannya yang berbunyi: "Tuhan telah mati dan kitalah yang membunuhnya". Fenomena ini adalah bentuk dari lunturnya nilai-nilai moral yang menjadi fondasi spiritual agama. Pemahaman terhadap agama sering kali dijadikan ilmu sekelibat mata dan disebarkan melebihi apa yang telah mereka pelajari. Penyebaran ini merupakan bentuk nihilisme yang juga telah dikemukakan oleh Nietzsche. Para pelaku menganggap diri mereka benar dan mengklaim bahwa ajaran agama yang telah menjadi budaya ini adalah suatu kesalahan yang akan mereka luruskan.
Hipokrisi agama menggantikan nilai spiritual lama yang melemah dengan motivasi pragmatis demi kepentingan duniawi. Pelaku hipokrisi agama tidaklah mereka yang mencari kebenaran sejati, melainkan para manipulator yang memanfaatkan kepercayaan publik demi mencapai derajat tinggi di masyarakat melalui bantuan lengan dari masyarakat yang terjebak dalam doktrin tersebut.
Dari hal ini, terlihatlah bahwa hipokrisi agama juga menyalahi pemikiran Nietzsche tentang manusia unggul. Nietzsche pernah mengungkapkan bahwa manusia adalah suatu evolusi yang sudah selesai, di mana setiap individu harus melalui usaha untuk melampaui dirinya sendiri untuk menjadi unggul. Hipokrisi agama bertentangan dengan ide ini, karena pelakunya hanya memanfaatkan agama untuk tujuan materialistis. Agama, yang seharusnya menjadi jalan pengembangan diri, malah diselewengkan untuk mengubah nilai masyarakat demi kepentingan pribadi. Di mana mereka bisa menggali lebih dalam ilmu-ilmu yang akan mereka dapatkan dan nantinya mampu mengubah nilai-nilai usang yang berjalan di masyarakat.
Dalam keberhasilan fenomena hipokrit agama, oknum menggunakan prinsip moralitas budak dengan menggunakan ajaran agama yang tidak lain menunjukkan suatu keterikatan moral dan memainkan agama layaknya alat mencapai kedudukan tinggi. Banyak dari mereka melunturkan nilai moralitas sebenarnya dengan berbagai manipulasi yang mereka ciptakan, salah satu contohnya adalah memberikan sebuah sumbangan kepada orang yang membutuhkan untuk membangun citra bisnis, bukan sebagai ekspresi religiositas sejati. Nietzsche menilai bahwa tindakan semacam ini merupakan bentuk dekadensi, di mana kekuatan kreatif manusia terjebak dalam pola moralitas palsu yang menindas kebebasan dan kemurnian kehendak.
Besarnya kehendak untuk berkuasa dalam diri oknum membuat mereka terobsesi hingga menyimpang dari nilai-nilai yang benar. Sebenarnya kehendak untuk berkuasa dalam diri seseorang bisa dikendalikan sesuai dengan keinginannya sendiri. Jadi hipokrit agama ini, tidak lain dan tidak bukan merupakan keinginan dari diri manusia itu sendiri. Mereka menggunakan kehendaknya untuk mendominasi lingkungan masyarakat melalui eksploitasi kepercayaan religius. Kehendak ini digunakan sebagai alat untuk menundukkan orang lain secara emosional dan spiritual dengan memanfaatkan kepercayaan masyarakat terhadap otoritas keagamaan. Bisa dibilang bahwa hipokrisi agama yang marak terjadi untuk kepentingan pribadi, baik ekonomi maupun aspek apa pun, adalah suatu kehendak berkuasa yang terdistorsi. Contoh yang terjadi akhir-akhir ini adalah penjualan garam dapur yang dilabeli oleh ayat Al-Quran dan digadang-gadang bermanfaat untuk meruqyah tubuh. Penjualan ini memanfaatkan ayat Al-Quran untuk mengambil kepercayaan pelanggan.
Secara garis besar, fenomena hipokrit agama ini adalah bentuk dari lunturnya nilai-nilai keagamaan dan berkembangnya prinsip nihilisme dalam masyarakat. Agama yang semestinya menjadi sumber pengembangan moral dan spiritual, disalahgunakan menjadi alat meraih kekuasaan dan materialisme. Solusi untuk mengatasi fenomena ini adalah dengan menciptakan nilai-nilai baru yang murni dan bebas dari ilusi moralitas palsu. Nietzsche selalu mengingatkan bahwa hanya manusia yang berani menghadapi tantangan tanpa kepalsuan moral dapat mengatasi dekadensi dan dapat menemukan makna hidup yang autentik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H