Pembajakan Jurnal: Tantangan Serius bagi Peneliti dan Reputasi Ilmiah
Pembajakan jurnal atau journal hijacking merupakan ancaman serius yang mengintai dunia akademik, terutama dalam komunitas ilmu pengetahuan dan informasi. Sune Dueholm Mller dan Johan Ivar Sb, dalam artikel mereka yang berjudul "The 'Hijacking' of the Scandinavian Journal of Information Systems: Implications for the Information Systems Community", mengungkapkan bagaimana fenomena ini telah berkembang menjadi masalah yang kompleks. Pembajakan jurnal terjadi ketika pihak ketiga menggunakan nama, domain, atau ISSN jurnal ilmiah yang sah untuk menipu penulis dan pembaca. Dalam kasus yang diuraikan oleh Mller dan Sb, Scandinavian Journal of Information Systems (SJIS) menjadi korban pembajakan, di mana penipu menciptakan situs web palsu dan menerbitkan artikel dengan biaya, memanfaatkan identitas para penulis tanpa sepengetahuan mereka.
Ancaman ini semakin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi, di mana pada tahun 2023, jumlah jurnal yang dibajak terus bertambah. Abalkina (2021) menyebutkan bahwa pembajakan jurnal telah menjadi masalah global, dengan lebih dari 700 jurnal yang tercatat sebagai korban. Di dalam komunitas Information Systems (IS), hijacking ini memberikan dampak yang signifikan terhadap reputasi para peneliti dan kredibilitas jurnal itu sendiri. Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak akademisi yang berasal dari negara berkembang, seperti India dan Irak, sering kali menjadi target utama karena terbatasnya akses terhadap informasi terkait kredibilitas jurnal. Dalam banyak kasus, mereka terjebak oleh iming-iming penerbitan cepat di jurnal yang terlihat sah namun sebenarnya palsu.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dunia akademis sedang berada di persimpangan penting. Dengan meningkatnya tekanan untuk "publish or perish," para peneliti semakin rentan terhadap penipuan semacam ini. Data dari Retraction Watch (2023) mengungkapkan bahwa dalam satu dekade terakhir, kasus pembajakan jurnal meningkat lebih dari 50%, dengan mayoritas korban adalah peneliti junior yang berupaya memenuhi persyaratan publikasi.
Journal hijacking tidak hanya sekadar ancaman bagi individu peneliti, tetapi juga berdampak luas pada integritas ilmu pengetahuan itu sendiri. Sune Dueholm Mller dan Johan Ivar Sb menggambarkan bagaimana pembajakan Scandinavian Journal of Information Systems (SJIS) pada tahun 2023 menjadi contoh konkret tentang dampak negatif dari praktik ini. Salah satu dampak utama dari pembajakan jurnal adalah kerugian finansial yang dialami penulis. Peneliti yang tertipu oleh situs palsu biasanya diharuskan membayar biaya penerbitan artikel (Article Processing Charges - APC) yang bervariasi antara USD 250 hingga USD 375, seperti yang disebutkan oleh salah satu korban dalam artikel ini. Jumlah ini mungkin tampak kecil, tetapi bagi peneliti di negara berkembang, biaya ini sangat memberatkan.
Lebih jauh, Mller dan Sb juga menjelaskan dampak reputasi yang dialami para peneliti. Artikel yang diterbitkan di jurnal palsu ini seringkali terkait dengan identitas akademik mereka di platform seperti Google Scholar. Hal ini berakibat pada penurunan kredibilitas ilmiah mereka karena artikel tersebut tidak menjalani proses peer-review yang sah. Dalam beberapa kasus, seperti yang dialami oleh seorang peneliti dari Irak, artikel yang telah dicuri oleh jurnal palsu bahkan diterbitkan di bawah nama penulis yang berbeda, merusak hak kekayaan intelektual dan kredibilitas mereka secara permanen. Pencurian identitas ini berdampak langsung pada perjalanan karir akademik mereka, di mana salah satu korban tidak dapat memenuhi syarat kelulusan doktoral karena salah satu publikasinya ternyata diterbitkan di jurnal palsu.
Pada tahun 2021, Abalkina menemukan bahwa sekitar 15% dari seluruh jurnal yang beroperasi secara global terindikasi sebagai jurnal predator atau dibajak. Lebih lanjut, di tahun yang sama, organisasi COPE (Committee on Publication Ethics) melaporkan bahwa setidaknya 30% dari keluhan yang mereka terima terkait dengan praktik pembajakan atau predatory publishing. Data ini menunjukkan betapa besarnya masalah ini dan bagaimana hal ini menyebar lintas disiplin ilmu, tidak hanya dalam Information Systems tetapi juga di bidang medis dan humaniora. Retraction Watch juga mencatat adanya peningkatan signifikan dalam jumlah artikel yang harus ditarik dari publikasi karena terbit di jurnal yang terbajak atau dipalsukan.
Meskipun hijacking jurnal adalah fenomena yang baru dikenal dalam komunitas IS, fenomena ini tidak dapat dianggap remeh. Selain dampak langsung yang dirasakan penulis, pembajakan jurnal juga merusak kepercayaan masyarakat akademik terhadap seluruh proses publikasi ilmiah. Pembaca yang tidak waspada mungkin akan mengutip artikel dari jurnal palsu, sehingga informasi yang salah atau tidak diverifikasi bisa beredar luas. Artikel palsu yang masuk ke dalam database ilmiah, seperti Scopus atau Google Scholar, menjadi bom waktu yang pada akhirnya dapat mencemari diskusi akademik di berbagai bidang.
Sebagai respons, Mller dan Sb merekomendasikan peningkatan kesadaran di kalangan akademisi mengenai bahaya pembajakan jurnal. Mereka juga menyarankan agar platform seperti Scopus dan Google Scholar mengadopsi mekanisme pelacakan yang lebih ketat untuk memastikan bahwa jurnal yang diindeks adalah jurnal yang sah. Selain itu, mereka mengusulkan strategi yang lebih proaktif dari komunitas ilmiah global, termasuk membentuk dewan etika yang bisa secara khusus menangani masalah pembajakan jurnal di tingkat internasional.
Dari paparan Mller dan Sb mengenai fenomena pembajakan jurnal, jelas bahwa masalah ini semakin mengancam integritas dunia akademis. Dengan peningkatan yang signifikan dalam jumlah jurnal yang dibajak dan artikel palsu yang diterbitkan, ada kebutuhan mendesak untuk tindakan kolektif dari berbagai pihak, termasuk peneliti, penerbit, dan platform indeksasi ilmiah. Peningkatan kesadaran di kalangan akademisi tentang tanda-tanda jurnal palsu serta pengembangan mekanisme pelacakan oleh platform seperti Scopus dan Google Scholar menjadi kunci dalam memerangi praktik ini. Peneliti juga perlu lebih teliti dalam memilih jurnal untuk publikasi karya ilmiah mereka. Selain itu, pembentukan dewan internasional yang khusus menangani kasus-kasus pembajakan jurnal akan memberikan perlindungan tambahan bagi para akademisi, khususnya mereka yang berada di negara berkembang. Dengan strategi yang tepat, fenomena pembajakan jurnal ini dapat ditekan, sehingga kredibilitas ilmiah dan integritas akademis dapat dipertahankan. Jika dibiarkan, bukan hanya reputasi peneliti yang akan dirusak, tetapi juga seluruh ekosistem ilmu pengetahuan yang berbasis pada kebenaran dan transparansi akan terancam.
Referensi
Mller, S. D., & Sb, J. I. (2023). The 'hijacking' of the Scandinavian Journal of Information Systems: Implications for the information systems community. Information Systems Journal, 34(2), 364-383. https://doi.org/10.1111/isj.12481