Sejak bulan Desember 2023 hingga sekarang, Gunung Marapi di Sumatera Barat masih aktif mengeluarkan erupsi hingga lava pijar. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan mengingat kejadian ini tidak dapat diantisipasi dan terjadi secara tiba-tiba tanpa adanya tanda-tanda atau peringatan baik dari pemerintah maupun alam. Salah satu informan yaitu warga asli Sungai Pua menyebutkan bahwa kejadian erupsi Gunung Marapi memang sangat mendadak, "Kemarin itu gak ada tanda-tanda atau peringatan sama sekali, dan baru tahu kalau meletus itu ketika terdengar suara dentuman dan guncangan".
Akibat dari kejadian yang sangat tiba-tiba tersebut, dikabarkan terdapat sebanyak 24 orang korban meninggal dunia yang merupakan kelompok pendaki yang terjebak ketika bencana tersebut terjadi. Pada saat itu, para pendaki sendiri masih aktif mendaki gunung karena memang status dari gunung tidak menunjukkan tanda-tanda akan meletus, sehingga banyak memakan banyak korban jiwa akibat kejadian yang tidak dapat dihindari.
Nagari Batu Palano, Sungai Pua sendiri merupakan salah satu daerah yang berada pada zona kuning bencana erupsi Gunung Marapi dan mendapatkan dampak berupa banyaknya debu dari abu vulkanik serta hujan kerikil pasca gunung meletus. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada salah satu warga, didapatkan bahwa bencana erupsi Gunung Marapi bukan pertama kali terjadi dan ini adalah yang kesekian kali. Beliau menjelaskan jika mereka sudah menyiapkan perlengkapan jika sewaktu-waktu harus evakuasi, "Saya sudah siapin tas siaga dan tinggal dibawa saja kalo harus mengungsi". Selain itu, masyarakat juga sudah mengetahui jalur atau rute alternatif yang dapat dilalui untuk menyelamatkan diri ketika bencana terjadi.
Meskipun tampaknya masyarakat selalu siap jika bencana gunung meletus ini terjadi kapan saja, informan menyatakan bahwa beliau tetap merasa cemas dan stress ketika bencana terjadi karena beliau memiliki anak, "Bikin was-was, saya juga punya tiga anak jadinya makin terasa was-wasnya karena mikirin mereka juga". Mengetahui hal tersebut, maka beberapa orang mahasiswa psikologi kemudian merancang sebuah program psikoedukasi yang dilakukan kepada masyarakat terkhusus kepada mereka yang berperan sebagai ibu.
Psikoedukasi yang dilakukan mencakup tentang bagaimana cara mitigasi bencana dengan selalu mengikuti informasi mengenai status Gunung Marapi dan cara memberikan pertolongan pertama secara psikologis (psychological first aid). Para mahasiswa membagikan brosur kepada masyarakat yang ditemui dan memberikan penjelasan singkat terkait isi brosur sebagai bentuk dari edukasi yang dilakukan. Harapannya, edukasi ini dapat membantu para ibu untuk lebih merasa tenang dan tidak panik ketika bencana terjadi, serta meningkatkan awareness akan pentingnya kondisi psikologis individu pasca terjadinya bencana.Â
Kelompok 3 Psikologi Bencana C
Psikologi Universitas Andalas
Renasya Nurul Aulia, Aliya Fadilah Syukri, Farras Ariqah Firdausi, Hilma Putri, Zakia Salsabila, dan Dinda Novira
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H