Mohon tunggu...
Renas Tasya Putri
Renas Tasya Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Saya sebagai mahasiswa semester 3 Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dinamika Komunikasi Politik: Antara Pencitraan dan Substansi di Era Digital

26 Desember 2024   22:48 Diperbarui: 26 Desember 2024   22:48 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di era digital yang berkembang pesat, media sosial telah menjadi alat komunikasi yang sangat efektif dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk politik. Media sosial kini tidak hanya berfungsi sebagai sarana informasi, tetapi juga sebagai platform strategis bagi politisi dan partai politik untuk membangun citra mereka di mata publik. Di Indonesia, fenomena ini terlihat semakin signifikan sejak pemilu 2014 dan 2019, ketika media sosial memainkan peran sentral dalam membentuk opini publik serta memobilisasi dukungan politik. Dalam konteks ini, komunikasi politik melalui media sosial menunjukkan bahwa proses penyampaian pesan politik kini berlangsung secara cepat, personal, dan sering kali emosional.

Namun, penggunaan media sosial sebagai alat pencitraan politik tidak lepas dari tantangan. Media sosial memang menawarkan peluang bagi politisi untuk mendekatkan diri dengan rakyat, tetapi strategi pencitraan yang berlebihan atau manipulatif dapat memperburuk polarisasi politik serta merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Oleh sebab itu, analisis terhadap dinamika pencitraan politik di era media sosial menjadi relevan untuk memahami bagaimana strategi ini memengaruhi persepsi masyarakat dan masa depan demokrasi di Indonesia.

Pencitraan politik melalui media sosial telah menjadi bagian integral dari komunikasi politik modern. Media sosial seperti Instagram, Twitter, dan tiktok menawarkan platform yang memungkinkan politisi menyampaikan pesan-pesan politik mereka secara langsung kepada masyarakat. Dalam konteks ini, Instagram sering digunakan untuk memamerkan sisi humanis politisi melalui unggahan foto atau video yang memperlihatkan mereka sedang berinteraksi dengan masyarakat, berolahraga, atau menghabiskan waktu bersama keluarga. Visual yang menarik dan narasi personal yang dibangun di platform ini dirancang untuk menciptakan hubungan emosional yang lebih erat dengan publik. Sementara itu, Twitter digunakan untuk menyampaikan pendapat, tanggapan, atau kebijakan dengan gaya yang lebih formal tetapi tetap ringkas. Tiktok, yang popularitasnya terus meningkat, memfasilitasi konten yang kreatif dan menghibur, terutama untuk menjangkau generasi muda yang aktif di platform tersebut.

Strategi ini memiliki dampak yang signifikan terhadap persepsi publik. Di satu sisi, media sosial memungkinkan masyarakat melihat politisi sebagai sosok yang lebih manusiawi dan relatable. Transparansi dan aksesibilitas yang ditawarkan media sosial memberikan peluang bagi politisi untuk menyampaikan informasi secara langsung tanpa melalui filter media tradisional. Hal ini juga memungkinkan mereka memobilisasi dukungan dalam waktu singkat, terutama selama masa kampanye politik. Namun, di sisi lain, pencitraan politik yang berlebihan dapat menyesatkan masyarakat mengenai kompetensi dan agenda sebenarnya dari politisi tersebut. Fokus yang terlalu besar pada citra visual sering kali mengabaikan diskusi substantif mengenai kebijakan publik, sehingga masyarakat lebih banyak terpapar pada narasi emosional daripada argumen rasional.

Pengaruh media sosial terhadap polarisasi politik juga patut menjadi perhatian. Polarisasi yang semakin tajam di Indonesia sebagian besar dipengaruhi oleh algoritma media sosial yang dirancang untuk meningkatkan keterlibatan pengguna. Algoritma ini sering kali memprioritaskan konten yang provokatif atau kontroversial, yang tidak hanya memperkuat bias masing-masing kelompok, tetapi juga menghambat dialog lintas kubu politik. Pengguna media sosial cenderung terjebak dalam "filter bubble," di mana mereka hanya mengakses informasi yang sejalan dengan pandangan mereka. Fenomena ini diperburuk oleh maraknya hoaks dan disinformasi yang digunakan untuk menyerang lawan politik atau membangun narasi tertentu. Kampanye hitam dan penyebaran berita palsu selama pemilu 2019 merupakan contoh nyata bagaimana media sosial dapat digunakan untuk memperburuk polarisasi politik di Indonesia.

Selain itu, perlu dicermati hubungan antara media sosial dan media tradisional dalam komunikasi politik. Meskipun media sosial semakin dominan, media tradisional seperti televisi, radio, dan surat kabar tetap memiliki pengaruh yang signifikan. Banyak politisi memanfaatkan media tradisional untuk memperkuat narasi yang telah mereka bangun di media sosial. Sebagai contoh, wawancara di televisi sering kali diunggah kembali di platform digital untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Di sisi lain, media tradisional lebih efektif menjangkau kelompok masyarakat yang kurang aktif di media sosial, seperti generasi yang lebih tua atau mereka yang tinggal di daerah dengan akses internet terbatas. Sinergi antara media tradisional dan digital ini memungkinkan penyampaian pesan politik yang lebih luas dan komprehensif. Namun, tantangan muncul ketika kedua jenis media ini digunakan untuk menyebarkan informasi yang bias atau berita palsu, yang pada akhirnya dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik.

Pencitraan politik di era media sosial juga memengaruhi kualitas demokrasi di Indonesia. Media sosial memang meningkatkan partisipasi politik, terutama di kalangan generasi muda, dengan membuat politik menjadi lebih menarik dan mudah diakses. Namun, fokus pada pencitraan visual dan narasi emosional sering kali mengorbankan diskusi mendalam tentang isu-isu penting. Politik cenderung diperlakukan sebagai produk yang dipasarkan kepada masyarakat, dengan citra sebagai nilai jual utama. Akibatnya, proses demokrasi berisiko menjadi sekadar ajang pertunjukan yang mengedepankan popularitas daripada kompetensi dan integritas.

Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa media sosial telah membawa beberapa perubahan positif dalam komunikasi politik. Platform digital ini memungkinkan akses yang lebih luas dan inklusif, terutama bagi kelompok-kelompok yang sebelumnya terpinggirkan dari diskursus politik. Dengan media sosial, suara-suara dari komunitas minoritas atau daerah terpencil dapat lebih mudah didengar, dan advokasi mereka dapat memperoleh perhatian nasional. Hal ini memperkuat pluralisme dalam demokrasi dan memberikan ruang bagi partisipasi politik yang lebih beragam.

Selain itu, perkembangan teknologi media sosial juga memunculkan fenomena "citizen journalism" di mana masyarakat biasa dapat berperan sebagai pengamat aktif dalam proses politik. Melalui unggahan foto, video, atau komentar, masyarakat dapat mengawasi tindakan politisi dan menyuarakan kritik terhadap kebijakan yang tidak adil. Peran ini semakin penting dalam konteks pengawasan dan akuntabilitas publik. Namun, keberhasilan citizen journalism bergantung pada integritas informasi yang disampaikan serta kemampuan masyarakat untuk memilah informasi yang kredibel dari yang tidak.

Untuk mengoptimalkan potensi media sosial sebagai alat demokrasi, diperlukan peran aktif dari berbagai pihak. Pemerintah harus memastikan regulasi yang tepat untuk mengatasi masalah seperti penyebaran hoaks dan ujaran kebencian tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi. Platform media sosial juga harus mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam memoderasi konten dan meningkatkan transparansi algoritma mereka. Di sisi lain, politisi perlu mengadopsi pendekatan yang lebih etis dalam membangun pencitraan mereka, dengan menekankan pada kejujuran, konsistensi, dan komitmen terhadap kepentingan publik.

Tidak kalah penting adalah peran masyarakat dalam membangun budaya politik yang sehat di era digital. Literasi media harus menjadi bagian integral dari sistem pendidikan, agar generasi mendatang mampu menjadi konsumen informasi yang cerdas dan bertanggung jawab. Pendidikan literasi ini tidak hanya mencakup kemampuan untuk mengenali hoaks, tetapi juga memahami cara kerja algoritma media sosial dan dampaknya terhadap perilaku pengguna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun