Pendidikan merupakan sebuah alat dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum pada UU No. 20 Tahun 2003 dimana pendidikan bertujuan untuk  mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Tujuan dari pendidikan ini di uraikan dalam beberapa kompetensi yang terdiri dari tiga aspek yaitu afektif, kognitif dan psikomotorik. Agar dapat mengetahui bahwa tujuan pendidikan telah tercapai atau tidaknya maka diperlukannya sebuah evaluasi. Salah satu bentuk evaluasi yang sering di gunakan dalam pendidikan yaitu Ujian Nasional. Ujian Nasional atau biasanya di sebut dengan UNAS merupakan alat evaluasi standar pendidikan baik itu pendidikan dasar maupun menegah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh pusat penelitian pendidikan.
Dalam penyelenggaraan Ujian Nasional ini tentunya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dilansir dari laman kompasiana yang di tulis oleh Sunardi dimana beliau merupakan salah satu Guru IPA di SMP N 01 Sungai Lilin. Adapun kelebihan dan kelemahan menurut beliau adalah: (1) UN dapat menggambarkan kondisi pendidikan yang ada di Indonesia, (2) mendorong sekolah untuk selalu berlomba-lomba atau  berkompetensi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolahnya masing-masing, (3) Dapat meningkatkan motivasi guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, (4) meningkatkan motivasi belajar peserta didik untuk selalu belajar. Sedangkan kekurangan UN adalah (1) Dalam penentuan standar nilai UN semua di sama ratakan padahal terkadang masih terdapat sekolah yang kekurangan fasilitas pembelajaran sehingga mereka terkadang sulit untuk mengejar standar nilai yang telah di tentukan, (2) menyebabkan kompetensi yang tidak sehat antar sekolah, sebab apabila ilai UN dijadikan sebagai tolak ukur dalam kualitas pendidikan hal tersebut menimbulkan adanya kecurangan dalam pelaksanaan UN, (3) adanya pemborosan dana pendidikan dalam penyelenggaraan UN, (4) penilaian UN belum efektif dikarenakan hanya menilai satu aspek saja.
Pada tahun 2019 lalu Menteri Pendidikan Nadiem Makarim membuat keputusan yaitu menghapus Ujian Nasional (UN) dan akan di ganti dengan Assessment atau mengacu pada nilai rapor sekolah. Tentunya hal ini menuai kontroversi di kalangan guru khususnya wali murid dan peserta didik. Beberapa dari mereka menolak dengan adanya penghapusan ini namun dan sebagiannya lagi menyetujui adanya penghapusan UN tersebut. Bagi mereka yang menolak dengan penghapusan UN merasakan bahwa langkah ini adalah sebuah kemunduran bagi kualitas pendidikan. Dengan adanya kebijakan ini akan membuat turunnya motivasi belajar peserta didik, karena selama ini para peserta didik merasa takut akan tidak dapat lulus di Ujian Nasional sehingga mereka berjuang dalam mempersiapkan diri mereka untuk menghadapi UN.
Sementara bagi mereka yang menyetujui dengan adanya penghapusan UN ini beralasan bahwa UN ini bukanlah sebuah tolak ukur dalam menilai kualitas pendidikan. Mereka merasa tidak adil dengan UN ini dikarenakan selama mereka menempuh pembelajaran di sekolah yang dimana mereka mempelajari banyak sekali mata pelajaran namun di akhir masa sekolah mereka di nilai dari hasil ujian yang hanya mencangkup 3 mata pelajaran. Tak hanya itu saja mereka juga merasa dengan adanya UN ini membuat peserta didik stress sebelum menghadapi UN mereka selalu di selimuti rasa takut akan tidak lulus pada ujian nasional ini. Â Dan hal itu membuat mental dan psikis mereka terganggu.
Berdasarkan pengalaman saya yang pernah mengikuti Ujian Nasional, saya merasakan bahwa Ujian Nasional tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur untuk menilai kualitas pendidikan dikarenakan adanya sikap kecurangan dalam mengikuti Ujian Nasional tersebut. Misalnya ada pihak yang memberikan kunci jawaban. Sehingga hal ini menjadi hal yang tidak adil bagi pihak yang sungguh-sungguh dalam belajar. Tidak hanya itu hal tersebut juga menyebabkan munculnya sikap curang yang tertanam dalam diri individu tertentu. Pada saat seseorang telah memberikan kunci jawaban pada saat ujian berlangsung mereka sangat percaya dengan kunci jawaban tersebut sehingga mereka berpikir bahwa tanpa belajar mereka bisa mengerjakan soal tersebut dengan ketergantungan adanya kunci jawaban yang telah di sebarluaskan.
Dengan adanya kebijakan dari menteri pendidikan akan penghapusan UN ini tentu saja saya berada di pihak pro atau setuju dengan hal tersebut. Dengan adanya perubahan atau penghapusan sistem Ujian Nasional yang dimana akan diganti menjadi assessment atau nilai raport sekolah tentunya merupakan hal yang baik dimana peserta didik tidak akan merasa kelelahan dan khawatir dalam mengerjakan butir-butir soal  ujian nasional. UN hanya melihat hasil akhir pengerjaan soal tanpa melihat proses pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik selama masa di sekolah. Adanya kebijakan akan penghapusan UN ini memberikan sekolah kebebasan dalam menentukan peserta didik tersebut karena sekolah yang mengerti dan memahami bagaimana proses pembelajaran peserta didik selama di sekolah. Maka tidak ada namanya lagi kecurangan atau pun merasa di rugikan serta merasa tidak adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H