Mohon tunggu...
Eko Sulistyo
Eko Sulistyo Mohon Tunggu... lainnya -

Tuan Tuhan bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar [sdd]

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengakrabi Sri Gunung

14 Oktober 2011   04:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:58 1363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menggambar mungkin pelajaran yang sangat kita sukai ketika di bangku Sekolah Dasar dulu. Apalagi jika guru kita meminta menggambar pemandangan bebas. Namun yang mengherankan sebagaian besar anak akan menggambar pemandangan alam dengan dua gunung dan hamparan sawah di depannya. Belum lengkap jika belum ada jalan raya yang melintang di tengah persawahan dengan pohon atau tiang listrik dipinggirnya. Masih ada lagi matahari terbit di antara dua gunung itu. Gunung ternyata sudah kita akrabi sejak bangku pendidikan dasar.

Gunung itu nampak indah dipandang. Anggun, gagah, dan berwibawa dari kejauhan. Dalam ungkapan jawa ada istilah sri gunung. Artinya sesuatu itu nampak indah seperti gunung jika dipandang dari dari kejauhan. Namun jika didekati akan nampak bopeng dan permukaan yang tidak rata. Ada bongkahan batu, reruntuhan kubah lava, gersang, panas, dan sebagainya. Lihat saja, sebelum mencapai puncak Merapi kita akan tiba di Pasar Bubrah, sebuah tanah lapang sebelum puncak dengan batuan berserakan di sana sini. Atau Pos Arcapada sebelum mencapai puncak Mahameru. Bongkahan-bongkahan batu dan lautan pasir adalah gambar riil sebuah gunung yang dari jauh kelihatan indah dan biru.

Keelokan sri gunung itu menarik banyak orang untuk mendakinya. Tentu pertama-tama karena rasa kagum maka orang bertekad mendaki sebuah gunung. Perjalanan menuju puncak memang tidak mudah. Tak jarang terjal dan membawa pada situasi batas kemampuan manusiawi. Tapi toh orang tidak pernah kapok. Ada sensasi tersendiri ketika orang mendaki. Bahkan ketika menggapai puncak bukan lagi sebuah obsesi, gunung menjadi sarana semakin kenal diri. Atau kadang juga tiada alasan yang cukup memuaskan ketika orang ditanya mengapa menyukai gunung. Jawaban yang sering muncul adalah 'because it's there' , mengutip ungkapan George Mallory, seorang pendaki terkenal.

Wajah sri gunung itu ternyata menghadapkan kita pada dua realitas. Di satu sisi keindahan sebuah gunung, kesuburan yang diberikan, sensasi bila mencapai puncak, adrenalin yang terpacu dalam mendakinya, dan sebagainya. Di sisi lain, gunung juga menyimpan potensi bahaya, yang mengajak semua orang untuk waspada. Ada magma dan lava pijar yang sedang bergelora di dapur magma di dasar sebuah puncak gunung. Dua realitas, keindahan dan bahaya, itu selalu menyertai sri gunung yang kita lihat dari kejauhan itu.Ketika orang berani mengagumi dan membayar harga untuk menikmati keindahannya maka semua orang juga harus berani menghadapi potensi bahayanya dan menyikapinya secara bijak.

Potensi

Kesuburan yang diberikan sebuah gunung vulkanis tak dipungkiri turut membangun peradaban masyarakat di sekitar lerengnya. Ada peradaban kerajaan Tambora, Pekat, dan Sanggar yang terkubur oleh letusan Gunung Tambora pada 10 April 1815. Jejak arkeologis di sekitar Gunung Batur dan Gunung Agung di Bali juga memberikan gambaran bagaimana orientasi spiritual sebuah masyarakat Bali. Atau yang masih dapat kita lihat adalah masyarakat Tengger di Bromo dengan ritual mereka yang khas. Gunung api telah membentuk peradaban budaya dan kehidupan spiritual masyarakat.

Pertanian merupakan sektor yang berkembang dalam masyarakat sekitargunung berapi. Ambil contoh Gunung Merapi di mana mata air yang ditangkap lereng Merapi dimanfaatkan bagi 225.000 hektar lahan pertanian serta perkebunan. Merapi turut membangun pertanian dan kesejahteraan masyarakatnya. Sayuran yang dikonsumsi oleh masyarakat sebagian besar di hasilkan oleh masyarakat sekitar gunung merapi misalnya saja daerah penghasil sayuran di Tawangmangu (G. Lawu), Temanggung, Wonosobo (G. Sumbing-Sindoro), Dieng, Malang (G. Semeru), dll. Wajah sri gunung telah memberikan tanah yang subur dan memberikan kemakmuran bagi masyarakat yang mendiami lereng-lerengnya.

Gunung memberikan berkah melimpah bagi masyarakat hanya jika dikelola dengan bertanggung jawab. Air melimpah hanya mungkin jika daerah tangkapan hujan dijaga kelestariannya. Pariwisata berbasis gunung berapi juga tak kalah menarik baik itu bagi wisatawan lokal maupun internasional. Gunung-gunung seperti Semeru, Bromo, Rinjani, Merapi, Agung adalah contoh gunung yang selalu menjadi tujuan wisata. Gunung vulkanis itu menarik karena menantang para petualang. Hanya pengelolaan yang profesional dan berkeadilan akan mampu menyejahterakan semakin banyak orang.

Mitigasi

Pengalaman bencana gunung berapi di negri ini menunjukkan bahwa kita tidak terlalu siap dengan realitas kedua, potensi bahaya, karena kita terlalu lama terlena dengan keindahan gunung yang lama tidur dan memberikan kenyamanan bagi masyarakat di sekitarnya. Kenyamanan itu sedemikian lekat sehingga kita tidak mau jauh-jauh bahkan ketika bahaya itu telah di depan mata. Sri gunung mengajak kita mencintai gunung, tapi bukan cinta yang membabi buta. Kita sadar akan keindahan, kesuburan yang diberikan tapi sekaligus kita waspada dan berani mengambil jarak ketika bahaya itu mengancam.

Erupsi Merapi setahun yang lalu memberikan pelajaran berharga bagaimana kesiapan kita menanggapi bencana. Ketika pemerintah tidak mampu bekerja maksimal akhirnya masyarakatlah yang harus bertindak bermodalkan solidaritas. Birokrasi yang kacau saat bencana menunjukkan bagaimana kita tidak siap bahkan tidak mempunyai sistem yang memadai dalam situasi darurat bencana. Solidaritas nasi bungkus masyarakat Yogyakarta menjadi bukti bagaimana masyarakat sendiri yang harus aktif menjadi pelaku penanggulangan bencana. Kesadaran itu muncul dan terbangun karena kita mau mengakrabi segala sisi gunung berapi dengan segala potensinya.

Kita kaget dengan gunung yang biasanya adem ayem, sekarang menjadi sumber bencana awan panas dan debu vulkanik yang merusak dan mengganggu. Gunung biasanya dilukis indah itu menjadi menakutkan. Kita tidak bisa terlena dan tak acuh dengan potensi bahaya yang ada di setiap gunung berapi. Watak sri gunung itu mengajak kita juga berani mencintai gunung dengan keindahan dan potensi bahaya yang ada di dalamnya. Maka perlu pengenalan dan kemauan mengakrabi sifat dan potensi yang ada dalam gunung berapi.Pengenalan itu perlu agar kita dapat melakukan mitigasi lingkungan demi mencegah bahaya dan korban yang bisa ditimbulkan.

Mitigasi merupakan upaya-upaya demi mencegah dan menanggulangi dampak negatif lingkungan. Perlu sebuah rencana dan pelaksanaan kegiatan yang memadai dalam mitigasi tersebut.Langkah penting dan terutama adalah tumbuhnya kesadaran dan keakraban masyarakat terhadap gunung berapi itu sendiri. Pemerintah mempunyai tugas menyusun langkah strategis dan tergonisir sehingga kesadaran warga masyakarat tidak menjadi gerak sendiri melainkan melibatkan segenap aparatus birokrasi yang ada.

Sebulan sebelum Merapi meletus tahun lalu, penulis menemani seorang sahabat dari Australia mendaki ke Puncak Merapi. Sebelum turun kami sempat mengabadikan dalam video bagaimana kesannya terhadap Merapi. Baginya pendakian itu memberikan kesan yang luar biasa karena indahnya pemandangan dan eksotisme Merapi. Di akhir teman saya mengatakan ‘now we go down to the real world’. Indahnya sebuah sebuah gunung berapi senantiasa mengajak kita kembali turun dan berhadapan dengan dunia nyata dan wajah sri gunung yang penuh potensi keindahan sekaligus potensi bahaya. Hanya dengan menyadari keduanya kita dapat mengagumi sekaligus menyadari bahaya sehingga kita bisa mengantisipasi hal yang tidak diinginkan atau paling tidak kita bisa mengakrabi sehingga meminimalkan akibat buruknya.

Gambar pemandangan dengan gunung dan hamparan sawah di lerengnya rasanya belum lengkap dan berkesan indah (sri gunung) dan alami jika salah satu gunung tidak dilukis berasap puncaknya.Gambaran itu menunjukkan keindahan sekaligus sifat aktif dan potensi vulkanik yang dimiliki sebuah gunung berapi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun