Mohon tunggu...
Catatan Artikel Utama

Datang dan Pergi (Part 3)

9 April 2015   21:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:19 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjaganya sepenuh hati, kalimat yang terdiri dari 3 kata. Mudah untuk menyusunnya dan sangat mudah untuk menuliskannya. Lalu ada apa dengan kalimat tersebut? Itu hanya sebuah perintah dan pesan yang berasal dari pikiran dan hatiku sendiri. Tak ada faktor eksternal yang membuat kalimat itu muncul. Hari demi hari, aku terkadang suka lupa akan perintah tersebut. Padahal sudah jelas dari pikiran dan hatiku sendiri. Entahlah, mungkin sifatku yang memang pelupa membuat pesan tersebut suka luput. Sesungguhnya, di hari pertama Nissa menerimaku, aku mempunyai firasat yang aneh. Terus terang, aku tidak yakin dengan hubunganku waktu itu. Tak ada alasan yang jelas. Kupikir ini hanyalah sebuah pikiran seorang anak labil. Aku hanya berharap firasat itu akan hilang seiring dengan perkembangan mental dan sikap yang ada pada diriku.

3 bulan menjalani hubungan, peperangan kecil sudah hadir diantara hubunganku dengan Nissa. Pertengkaran lebih tepatnya. Mungkin jika aku menyebutnya sebagai "peperangan", terdengar seperti Amerika dengan negara-negara lainnya yang sedang menjalani perang dingin, hiperbola. Pertengkaran kecil yang diakibatkan rasa kangen yang bisa dibilang sulit untuk diatasi. Hari Kamis malam dimana aku masih menjalani kursus belajar di suatu tempat, aku terpaksa harus pergi. Nissa mengatakan bahwa dirinya ingin bertemu denganku, tetapi situasi tidak memungkinkan, untuknya. Aku menghubuhi supirku untuk menjemputku di tempat kursus. Setengah jam mungkin lamanya, akhirnya supirku datang. "Mas, anterin saya ke rumah Nissa dong", "Mas Adri gak takut kalo dimarahin mama nih? Rumah Nissa kan jauh dan macet banget ke sana", "Bodo amat deh, yang penting Nissa brenti nangis". Sejujurnya, aku bohong kepada Nissa. Aku mengatakan bahwa aku tidak bisa mengunjunginya lantaran aku harus segera pulang sehabis kursus dan di keesokan harinya aku ada ulangan. Kejutan pun harus aku berikan kepadanya.

Hari itu merupakan 2 hari sebelum aku pergi ke Jogja untuk berlibur sejenak bersama sepupuku. Aku akan berada di Jogja selama 6 hari. Setelah aku kembali ke Bandung, Nissa akan pergi ke Jakarta untuk bermain dengan teman-teman lamanya. "This is the only chance, it's now or never", begitu pikirku, dan selalu itu.

1 jam di perjalanan menuju rumahnya yang berlokasi di daerah Buah Batu, lebih tepatnya di Komplek Batununggal. Sesampai di rumahnya, aku melihat ada seorang ibu yang sedang menutup pagar. "Mas, itu kayanya ibunya Nissa", kata supirku. Aku turun dari mobil dan aku menghampiri ibu tersebut. Ternyata benar, itu ibunda Nissa."Malem tante, saya adri.", "Oh ini toh pacarnya Nissa. Ya ampun tinggi ya ternyata kamu itu. Besar lagi. Kamu dari mana nak? Kok malem-malem gini ke rumah? Mau ketemu Nissa?", "Ah iya tante. Maafin saya mungkin kurang sopan kalau saya ke sini tanpa izin. Saya habis les, dan saya harus ketemu Nissa. Apa Nissanya ada tante?", "Oh ada kok. Mau tante panggilin?", "Gausah tante. Ini saya ke sini gak bilang ke dia. Apa tante bisa mengantar saya ke dalam untuk bertemu Nissa?", "Oh sangat boleh kok. Ayo masuk. Nissa ada di kamar". Lalu aku masuk ke dalam rumahnya yang sangat megah. Ibunya mengantarku ke lantai 2 dan ibunya berbisik, "Itu kamarnya Nissa. Kamu ketok aja.", "Oh iya tante. Terima kasih banyak tante. Maaf jadi merepotkan.". Lalu aku berjalan 5 langkah ke arah kamar Nissa. Lalu kuketuk kamarnya. Pintunya terbuka, dan..........

"Adri?", "Maaf malem-malem ya Nis. Aku pengen ngehibur kamu.". Tetesan air matanya yang tak pernah kulupakan. Air matanya jatuh disaat dia tersenyum. Itu senyum terindahnya yang pernah kulihat. Pelukan haru dan rindu merenggut tubuhku yang kotor dan tak bertenaga akibat lelah. Kurasakan rasa rindu dan sayang yang tulus darinya. Ku usap tangisannya yang terisak-isak secara tiba-tiba. Kukecupkan keningnya lalu ku usap rambutnya. Aku ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja dan dia aman selama dipelukanku.

"Aku ga nyangka. Aku ga nyangka. Dasar pembohong", tangisnya. "Maafin aku Nis. Aku harus gini. Ga ada cara lain.", "Pembohong!!", "Maaf. Hanya berbohong yang bisa aku lakuin.", "Aku benci sama pembohong", "Iya aku ngerti Nis.", "Tapi aku sayang sama kamu. Makasih banyak, Adri". Ciumnya menempel di pipiku. Pelukannya semakin erat. Perasaan apa ini? Tak kusangka tindakanku membuahkan hasil yang diluar harapan. Rasa senang datang diantara kami berdua. Cium dan pelukannya yang menjadi faktor utama mengapa aku merasa senang. Itu 2 hal yang bukan sembarang hal. 2 hal yang dia lakukan memiliki makna mendalam untukku. Disitu aku mengerti apa arti dari rasa sayang dan rasa senang ketika rasa rindu terobati. Aku mengertk apa yang dia inginkan. Aku mengerti bagaimana aku harus memperlakukannya.

Sayangnya, di hari itu aku hanya mengerti sebagian kecil arti dari kasih sayang dan segala rasa positif yang muncul di antara sepasang kekasih. Aku mencoba untuk menelaah segala pelajaran itu. Aku mencari titik kesalahanku. Aku mencoba memahaminya. Di bulan ke 4-6, hubunganku kacau. Diawali oleh pertanyaannya mengenai apa yang sudah aku pernah lakukan dengan mantanku yang terakhir pada waktu itu. Aku tidak bisa jujur kepadanya. Mantan terakhirku merupakan musuh bebuyutannya. Aku berpikir, sedikit kelewatan jika Nissa menanyakan tentang itu. Itu hal yang menjadi privasiku. Sangat rahasia. Selain itu, jika aku membeberkan segalanya kepadanya, apakah dia tetap ingin bersamaku? Apakah dia tetap ingin menerimaku apa adanya seperti biasa? Aku ragu. Maka kuputuskan untuk berbohong kepadanya. Tindakanku benar, pikirku pada saat itu. Ternyata, di akhir, tindakanku hanyalah sebagai bumerang. Semuanya kembali menghantamku, perasaanku. Dia begitu kecewa denganku. Dia marah, sedih, dan segala perasaan yang negatif terpendam di dalam hatinya. Apa yang harus aku lakukan? Meminta maaf? Aku urungkan saat itu. Karena pada saat itu aku berpikir bahwa meminta maaf adalah sesuatu yang mudah. Merasa bersalah? Itu harus. Bodohnya, aku merasa bersalah malah di akhir, ketika dia meminta untuk mengakhiri hubungan kami. Aku jelas tidak mau. Aku tidak siap untuk mendengar permintaan itu. Aku tak siap kehilangannya.

Dia bilang bahwa dia mengetahui segalanya tentang aku dengan mantanku dari teman dekatnya. Terus terang, aku kesal dengan temannya tersebut. Untuk apa dia membocorkan segalanya? Apakah ada urusan dengan temannya itu? Tidak sama sekali. Memang apa yang kupikirkan dan kurasakan saat itu tidak penting sama sekali, dan aku baru menyadari hal itu sekarang. Ya, saat ini, setelah semuanya berlalu, selama lebih dari 1 tahun. Penyesalan selalu muncul di akhir, aku tahu itu. Kesalahan yang tak terbendung selalu memunculkan penyesalan bagi siapa yang berpikir dengan akal sehat dan berperasaan. Jika semuanya terjadi atas kesalahan kita, penyesalan tidak dapat dihindari. Penyesalan itu justru membekas dan membuat kita terus menyalahkan diri sendiri. Regretting is useless.

Pada akhirnya, pertengkaran hebat itu selesai dengan kepastian akan hubunganku yang akan tetap berjalan. Tetapi, aku meyakini bahwa rasa sayang yang dia berikan, mungkin banyak yang harus dia ambil kembali. Rasa sakit hati mengubahnya. Mengembalikan kepercayaan adalah tugasku saat itu. Menjalani hidup selama 18 tahun, satu-satunya pekerjaan yang tak pernah kuselesaikan adalah mengembalikan kepercayaan. Kepercayaan yang memiliki jumlah tak terhitung, hilang dalam sekejap hanya dengan 1 kebohongan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun