Mohon tunggu...
Renaldy Akbar
Renaldy Akbar Mohon Tunggu...

Mahasiswa FISIP, Jurusan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.\r\n\r\nrenaldyakbar.wordpress.com \r\ntwitter:@rereyakbar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rekonstruksi Sistem Pemilu 2014 untuk Siapa?

5 Mei 2013   18:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:04 1753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Renaldy Akbar, Mahasiswa FISIP UIN Jakarta

Tumbangnya masa orde baru 1998 melahirkan secercah harapan untuk menata Indonesia yang lebih demokratis. Boleh dibilang trauma masyarakat akan sistem otoritarian membledak sehingga mengawali evaluasi sistem politik yang lebih demokratis. Kendati demikian, realita yang kerap terjadi bertolak belakang dengan harapan. fenomena sistem politik Indonesia semakin hari semakin menunjukan kegalauan. Sampai saat ini, persiapan arena demokrasi 2014 pun masih menuai kritik terhadap sistem pemilihan anggota legislatif.

Dalam sejarah sistem demokrasi, di Indonesia telah terjadi ragam rekonstruksi sistem. Sejak pemilu 1955-1999 pesta demokrasi digelar dengan sistem proporsional tertutup dimana para calon legislatif ditentukan oleh partai. Pemilih tidak secara terbuka mengetahui siapa-siapa yang bakal menjadi wakil mereka karena dalam surat suara tidak ada nama-nama caleg, yang ada hanya gambar partai saja. Sistem ini dianggap tidak responsif akan perubahan-perubahan yang terjadi pada caleg-celegnya.

Kemudian pada pemilu 2004, sistem tersebut mengalami rekonstruksi yakni dengan menerapkan sistem semi proporsional terbuka. Pada sistem ini, suara tidak sah membledak dari 3,7 juta sampai 10, 96 juta. Hal tersebut terjadi lantaran sistem semi terbuka tidak terstruktur dengan definisi suara sah dan tidak sah. Saat itu, nama caleg dan partai terpampang dalam surat suara. Namun,  suara sah jika pemilih mencoblos partai saja atau mencoblos partai dan caleg. Tidak sah jika pemilih hanya memilih caleg saja. Kejadian itu pun berujung pada perubahan sistem, yakni sistem proposional terbuka.

Pemilu tahun 2009 tersistem dengan proposional terbuka yaitu selain memilih tanda gambar, pemilih juga berhak memilih langsung caleg. Sistem ini berdampak pada pertentangan antar sesama caleg maupun partai. Sistem yang “katanya” menerapkan sistem proposional terbuka masih menunjukan sikap otoritarian partai dimana daftar calon tidak berdasarkan suara terbanyak tapi berdasarkan urutan atau rangking. Jelas bahwa ketimpangan ini lah yang melangkahkan pada rekonstruksi sistem pemilihan umum tahun 2014.

Sistem pemilu legislatif tahun 2014 sepertinya tidak jauh-jauh dengan masa sebelumnya. Bedanya, mau caleg diurutan berapa pun jika mempunyai suara terbanyak maka dialah yang akan menang. Pada sistem ini, aktor utamanya adalah caleg, bukan partai. Jadi semua memiliki peluang yang sama sehingga alat yang cepat untuk memenangkan kompetisi ini adalah uang.

Fakta yang terjadi bahwa sistem ini menyurutkan kualitas wakil rakyat nantinya. Mengapa? Karena untuk mendongkrak suara pemilih dibutuhkan budget kampanye yang tidak sedikit. Hal tersebut menyegarkan si pemilik modal untuk bisa masuk dalam rentetatan calon legislatif. Siapa yang melakukan kampanye jelas harus bermodal.

Selain itu, keeksistan artis adalah peluru tajam bagi suara partai. Artis yang dikenal masyarakat menjadi daya tarik bagi pemilih karena mereka-mereka lebih jauh dikenal daripada segelintir politisi yang tak terkenal. Parahnya, artis yang diusung partai sungguh berjumlah fantastis.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana kredibilitas si pemilik modal dan si artis untuk mewakilkan rakyat Indonesia?

Melihat realita yang terjadi, nampaknya Indonesia mulai mengalami krisis pemimpin. Sistem tersebut secara terang-terangan menggeser orang-orang yang memiliki kredibiltas tinggi namun tersingkir karena tidak memiliki modal dan kepopuleran di kalangan masyarakat. Ini membuktikan bahwa partai tidak serius dalam menerapkan sistem demokrasi yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu, dana kampanye yang jelas tidak sedikit, butuh milyaran rupiah. Bahkan kabar yang terus berkembang sampai 6 Milyar Rupiah. Lalu buat apa orang-orang secara susah payah mengeluarkan dana yang tidak sebanding dengan gaji mereka jika menjabat menjadi anggota DPR? Secara logis, jika mereka sudah masuk ke dalam bangku DPR, yang terjadi bukan memikirkan rakyat akan tetapi berfikir keras untuk mengembalikan modal kampanye. Ujungnya jelas, yakni korupsi akan menjadi praktek masal.

Sama hal nya dengan jual-beli undang-undang, si pemilik modal berpotensi melindungi perusahaan-perusahaanya dengan mengutak-atik perundang-undangan. Jika perusahaan mereka melanggar undang-undang, toh mereka punya hak untuk mengubah undang-undang tersebut. Lebih dari itu, undang-undang menjadi sarana bagi kemslahatan golongan-golongan tertentu.

Bagaimana dengan artis? Ditakutkan mereka hanyalah boneka dari para elit politik untuk menaikan suara partai. Mudahnya begini, jika suatu elemen partai akan membuat undang-undang yang secara emplisit menguntungkan pihak-pihak tertentu, artis tidak dapat berkutik selain mengiyakan kemauan tersebut. Karena jelas hal itu adalah simbiosis mutualisme antara partai yang mensaranakan mereka masuk ke DPR dan artis yang juga memiliki suara untuk mensahkan undang-undang.

Memang tidak ada satu pun yang dapat diklaim paling baik dibanding sistem-sistem lainya. Akan tetapi, diantara sistem-sistem tersebut seyogyanya pemerintah mengambil langkah cerdas dengan menerapkan sistem yang paling sesuai dengan kondisi negara Indonesia.

Menurut saya, sistem proposional terbuka yang diterapkan pada pemilu 2014 bukan tidak memiliki relevansi, akan tetapi lebih kepada rendahnya pengawasan dan perundang-undangan dalam melaksanakan sistem ini.

Keluesan caleg yang terbuka tidak dibarengi dengan pengawasan. Jika sistem ini diterapkan seharusnya KPU (Komisi Pemilihan Umum) berperan untuk meminta laporan dana kampanye. Karena ditakutkan dana kampanye yang banyak akan  mengindikasikan tindakan korupsi. Namun, lagi-lagi ketakutan akan terus terbayang-bayang antara permainan caleg dan KPU. Runyamlah negeri ini jika budaya konsolidasi korupsi sudah menjalar dimana-mana.

Selain itu, undang-undang seharusnya mengatur tentang prasyarat agar melaporkan dana kampanye nya. Karena, jika ingin menerapkan sistem proposional terbuka maka kita bicara tentang bagaimana agar uang tidak menjadi alat untuk berkompetisi sehingga korupsi politik dapat ditekan sebagaimna mestinya.

Jadi, jika saya menarik kesimpulan bahwa: Siapapun anda yang ingin masuk ke kursi DPR, pandanglah diri anda, sudahkah anda memiliki dana ataukah anda punya popularitas? Secara kritis boleh jadi wakil-wakilnya rakyat berafilasi menjadi wakil-wakilnya pemilik modal dan pengartisan caleg melegalkan citra dan suara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun