Mohon tunggu...
Renaldy Akbar
Renaldy Akbar Mohon Tunggu... -

Mahasiswa FISIP, Jurusan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.\r\n\r\nrenaldyakbar.wordpress.com \r\ntwitter:@rereyakbar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tanggapan Soal Kenaikan BBM

17 Juni 2013   15:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:53 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Renaldy Akbar, Mahasiswa FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya setuju dengan rencana kenaikan BBM. Bukan pada sikap kelambanan pemerintah dalam mengambil keputusan dan tidak berani mengambil resiko. Mengapa? Rencana kenaikan BBM seharusnya sudah dinaikan sejak dua tahun lalu lantaran subsidi yang dikeluarkan sudah tidak realistis. Dana yang digulirkan untuk subsidi BBM berkisar 300 Triliun sedangkan subsidi untuk pangan hanya 180 Miliyar. Hal tersebut membuktikan bahwa ragam keputusan tidak efisien dan tidak memberkan solusi untuk jangka panjang. Tahun lalu Indonesia mengimpor minyak sampai 18 Miliyar US Dollar. Berapa triliun rupiah itu? Artinya bahwa kita lebih banyak mengimpor dari luar negeri daripada mengekspor hasil pangan ke luar negeri.

Menurut Faisal Basri, isu ini sama hal nya dengan manusia yang sakit tidak diobati semakin lama penyakitnya semakin bertambah banyak dan harus dioperasi. Sayangnya biaya operasi itu mahal. Jadi menunda itu biaya nya mahal.

Operasi yang dimaksud adalah rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM. Naiknya sangat tinggi sampai 30%. Inilah akibat dari pemerintah yang tidak secara berani menelaah keputusan jangka panjang. Mereka hanya fokus pada citra. Maksudnya adalah, ketika BBM diturunkan masyarakat akan menganggap bahwa pemerintah itu sukses dalam menjankan tugasnya. Namun, pemerintah harus menelan ludahnya sendiri ketika biaya subsidi yang sangat tinggi berimbas pada kas negara yang semakin merosot. Puncaknya, mereka bicara bahwa kenaikan BBM adalah satu-satunya alternatif. Bukankah ini kebohongan publik?

Baiklah, jika BBM naik, toh kesesuaian harga minyak dunia bisa naik bisa turun. Kalau harga minyak turun ya pemerintah bisa menyesuaikan. Harga minyak itu tidak selalu naik bukan?

Sekarang ini dibutuhkan komunkasi politik yang tepat. Dulu presiden berjanji untuk tidak akan menaikan BBM, keadaan yang kalut seperti ini, beliau bilang bahwa kenaikan BBM adalah opsi terakhir. Bagaimana rakyat tidak marah?

Jadi pemerintah harus fokus untuk bagaimana menciptakan komunikasi politik yang tidak kemudian menggaduhkan opini rakyat. Selain itu, alternatif yang diambil haruslah cerdas. Apakah BLT adalah solusi yang paling baik? Saya rasa tidak. Bantuan “langsung” itu secara eksplisit telah membodohkan rakyat. Mental orang-orang Indonesia dibuat seperti pengemis yang bisanya hanya mengharap belas kasih.

Saya rasa bukan itu yang rakyat mau. Kunci kemiskinan tidak bisa lepas dari banyaknya pengangguran baik di kota maupun daerah. Mengapa pemerintah tidak memutar uang BLT yang sangat tinggi pula jumlahnya dengan membuat berbagai lapangan pekerjaan. Apalagi masyarakat pemerintah sangat konsumtif. Jadi saya rasa rakyat itu butuh kerja bukan semata-mata disuapin uang melulu. Uang itu akan habis, tapi keahlian akan terus terpakai.

Bagaimana soal PKS?

Saya rasa sikap PKS itu hanya pencitraan semata demi mendongkrak suara pada pemilu 2014 atau mungkin untuk menutupi kasus besar yang sedang diterimanya. Ini sudah terlihat jelas. Sasaranya adalah masyarakat kecil yang secara garis besar tidak mengerti politik.

Rakyat kecil kebanyakan menganggap bahwa menolak kenaikan BBM itu berarti pro rakyat. Nah, itulah sela-sela yang digemborkan oleh PKS. Mau PKS pro atau kontra toh jumlah anggota koalisi lebih banyak di DPR, jadi pastilah BBM akan naik. Lalu adakah alasan lain selain untuk mendongrak suara dan menutupkan isu yang terjadi di tubuh PKS?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun