ditulis oleh: Renaldy Akbar, Mahasiswa FISIP UIN Jakarta. (Sebuah wajah, resolusi, dan aksi akan isu kenaikan BBM)
Akhir-akhir ini merupakan rangkaian waktu yang cukup memporak-porandakan setiap lapisan rakyat Indonesia. Hari dimana situasi menjadi gemuruh tak kenal jarak dan waktu. Sebuah waktu yang tak sama sekali dikhendaki rakyat, atau bahkan sebuah waktu yang sangat dikutuk oleh rakyat. Ya, waktu itu adalah kenaikan BBM. Sebuah keadaan yang mengharuskan rakyat untuk kembali merunduk ketika negara mulai memainkan peran.
Kembali kita mencetak sejarah. Gaduh dan merusuh, meski hanya dibeberapa titik nusantara, namun terasa sampai hati yang mulai gelisah. Rakyat kecil tercengang ketika harga BBM melambung tinggi. Mereka memang tidak diam, tapi mereka tak bergerak, melumpuh karena tak sanggup melawan kenyataan. Bagaikan berjalan di padang duri ditambah panas pekat yang melepuhkan lapisan kulit.
Kutukan itu benar terjadi, merelakan air mata jatuh di berbagai daratan nusantara. Bayangkan saja, kehidupan yang jauh dari kelayakan harus ditumpu segumpal batu dipunggung kehidupan. Andai saja rakyat kami tidak memiliki mental baja, mungkin bunuh diri masal tak lagi dapat terhindari. Karena rakyat Indonesia adalah mantan orang-orang terjajah, maka menjadi tahan untuk menghadapi segala jajahan dari negerinya sendiri. Namun, rakyat adalah sekumpulan manusia, bukan dewa apalagi malaikat. Mereka hidup dan harus menghidupi dirinya di tengah hempitan kejahatan model baru. Pantaskah mereka mati kelaparan secara perlahan namun lihai, pantaskah mereka menyalahkan Tuhan untuk nasib mereka yang hina, dan pantaskah pengurus negara menjadi gembong kejahatan di negara yang mereka urus. Kepantasan tersebut teruji ketika kenaikan BBM menjadi hangat diperbincangkan.
Kenaikan BBM
Tepatnya 22 Juni 2013, kenaikan harga BBM berkumandang di gedung DPR. Pemerintah menyatakan bahwa kenaikan harga BBM adalah opsi terakhir demi menyelamatkan negara. Oleh karena itu, rakyat diharap maklum demi kepentingan bersama.
Seperti seruan pelemah. Itulah mental pemerintah saat ini. Selalu saja memutuskan kebijakan setelah tidak ada lagi alternatif lain. Terkesan lamban dan tidak sigap merespon keadaan, baik untuk jangka pendek, mengengah maupun panjang.
Para pakar ekonomi menilai bahwa kenaikan harga BBM seharusnya sudah dua tahun lalu dinaikan. Karena pasokan subsidi BBM tidak lagi dianggap realistis mencapai angka 300 Triliun sekitar 30% dari pendapatan negara dalam setahun. Ini merupakan pemborosan sangat serius ketika subsidi BBM adalah tumpu di berbagai lini urusan bangsa. Padahal kualitas pendidikan, infrastruktur pelosok negeri, angka kemiskinan, kelaparan, dan berbagai permasalahan lainya juga harus mendapat porsi yang serius untuk dituntaskan.
Kita boleh saja berdalih bahwa kenaikan harga BBM merupakan kebijakan yang mensengsarakan rakyat. Akan tetapi, bukankah harga BBM itu dirasakan oleh kaum menengah yang memiliki kendaraan? Artinya bahwa presiden takut kepada kaum menengah bukan pada rakyat miskin yang dominan.
Soal bagaimana dampak kenaikan harga BBM terhadap kenaikan harga pangan, ini bisa jadi merupakan akal-akalan pedagang kelas satu untuk memanfaatkan keadaan ini. Pemerintah sudah seharusnya tidak melulu pasrah kalau naiknya harga BBM pastilah juga menaikan harga pangan. Bicara soal pangan, berarti bicara soal mentri pertanian. Jadi, mentri pertanian juga harus memiliki solusi agar bisa memberikan subsidi kepada harga-harga pangan, atau kiranya kompensasi bagi kendaraan pemasok pangan. Ini berarti, kenaikan harga BBM hanya dirasakan oleh kalangan menengah. Perlu diingat bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta dan kota-kota besar lainya.
Sejatinya, urusan negara bukan bertumpu pada harga BBM. Masih banyak bidang lain yang perlu untuk di selamatkan. Sebagai contoh, apakah pemerintah menengok pemberdayaan pangan Indonesia yang disubsidi hanya menyentuh harga miliyar, sekitar 1 % dari triliun. Sampai kapan Indonesia harus melulu disuapkan luar negeri? Ironis, Indonesia sebagai surga bagi hasil bumi harus bersikap senyum manja ketika jelas hasil-hasil bumi harus diolah diluar dan kembali masuk kedalam negeri. Ini menunjukan bahwa pemerintah terlalu mendewakan luar negeri tanpa fokus pada sumber daya dalam negeri. Tidak usah muluk-muluk untuk sesegera mungkin, asal efektif, konsisten, dan cepat untuk memperbaiki sumber-sumber bumi tersebut.
Selain itu, Indonesia butuh pemimpin yang berani menggempleng investor asing yang secara licin menjajah sumberdaya alam Indonesia. Jangan kemudian menjadi ajang tawar menawar antara pihak asing dan pemerintah terkait. Sayangnya, pencegahan itu kini terjadi di bumi pertiwi. Hal-hal menjijikan itu sama saja menjual negaranya sendiri. Bagaimana bisa kita meningkatkan kualitas sumberdaya alam miliki sendiri jika yang di beri kepercayaan untuk mengurus itu malah bermental manusia uang. Disogok segumpal uang, lalu diam, sekaligus mengeroposkan kekuatan sumber daya alam. Pemerintahan macam apa itu?
Memang kenaikan harga BBM tidak terlalu signifikan untuk menggerakan masa seperti kala reformasi ’98. Banyak kalangan yang pro dan kontra didalamnya. Kita pun tak bisa menampik ketika subsidi untuk BBM membengkak dan mengharuskan penghematan demi menyelamatkan anggaran negara. Namun, pemerintah juga tidak bisa menampik jika pemborosan bukan hanya semata-mata terjadi pada subsidi BBM, tapi lebih kepada praktik korupsi di seluruh jajaran pemerintah baik pusat dan daerah yang sedang atau yang belum diusut yang mana jumlahnya pun cukup menggiurkan. Ditambah lagi, pemborosan kaum-kaum anggota DPR yang “katanya” untuk studi banding di luar negeri, atau bahkan proyek-proyek hitam di dalam tubuh pemerintahan.
Sumber permasalahan itu padahal sudah pengang di kuping pemerintah, sayangnya urusan mereka sangat banyak sehingga harus menomor duakan permasalahan yang cukup rumit namun bagaikan akar-akar darinya daripada mengurus permasalahan jangka pendek yang kelihatan media dan menjadikanya terlihat bekerja sangat keras. Kalau ini kualitas pemerintah, lebih baik tak usah terlalu ambisius untuk berkampanye menjadi pemimpin, karena bukan hanya Jakarta yang akan mereka urus, tapi 32 provinsi dengan ratusan anak kota didalamnya. Kalau tidak sanggup, nyatakan sedari awal agar semua-muanya yang parah tidak menjadi kritis. Situasinya repot begini, barulah mengeluh. Sungguh pun rakyat tidak butuh mental pemimpin pengeluh. Bukan!
Keluhan itulah yang terjadi pekan ini. Acap kali setiap presiden berpidato merupakan ajang pemakluman. Beliau minta pengertian rakyat, pemakluman rakyat, dan segala-galanya tentang tugas nya yang berat.
Opsi dari Kenaikan BBM
Daripada BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) yang hanya empat bulan digalakan lebih baik memberikan subsidi semcam itu. Bantuan seperti itu sekaligus membangun masyarakat bodoh yang cuman bisa mengandalkan pemerintah tanpa adanya pengembangan kreatifitas untuk memberdayakan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya.
Sayangnya kebanyakan rakyat Indonesia sudah dilatih seperti pengemis, jadi tak heran jika ditumpahi uang yang tak seberapa bagaikan merasakan mukjizat. Padahal mereka telah dibodoh-bodohi oleh kedok BLTS. Lebih baik BLTS yang nilainya mencapai puluhan triliun dikembangkan untuk membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat-rakyat kecil bukan menengah lagi. Ini cukup efektif untuk subsidi tepat sasaran.
Soal kebanyakan mobil-mobil yang nakal menggunakan premium, mereka pun sebenarnya tidak salah, karena tidak ada pasal undang-undang yang mengatur. Artinya, subsidi BBM bukan untuk kalangan atas hanya sebatas seruan yang sama sekali tidak kuat. Oleh karenanya kebanyakan kalangan atas ikut merasakan subsidi tersebut.
Sekirnya seperti ini, agar subsidi BBM tepat sasaran, alangkah baiknya diadakan program kartu subsidi untuk pengendara kendaraan. Jika pemiliki kendaraan tergolong miskin, angkutan umum, dan pengirim pangan ke pasar-pasar diberikan kartu subsidi yang artinya hanya mereka-merekalah yang boleh merasakan bensin premium bersubsidi. Ketika mereka ke SPBU, sebelum membeli, mereka harus tunjukan kartu tersebut, kalau tidak punya ya tidak boleh. Itu berarti mereka adalah golongan atas. Jadi tidak sembarang kendaraan bisa merasakan subsidi BBM. Asalkan program ini dijalankan dengan sebaik-baiknya, tidak menutup kemungkinan jika subsidi BBM menjadi tepat sasaran.
Aksi Mahasiswa
Acap kali isu nasional diangkat ke permukaan, disitulah mahasiswa hadir dijalan-jalan. Bergemuruh disetiap langkahnya untuk apa yang dikatakan sebagai penyambung lidah rakyat. Hal yang lumrah ketika mahasiswa selalu cepat tanggap menyikapi persoalan negeri. Mereka memenuhi jalan-jalan, berteriak lantang, dan bringas ketika dihadang.
Namun, amat sangat disayangkan ketika penyambung lidah rakyat itu menjadi perusuh aktivitas rakyat. Hal tersebut kembali terjadi saat kenaikan harga BBM menjadi pokok persoalan waktu lalu. Ribuan mahasiswa di seluruh negeri turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi ketidaksetujuan mereka. Mahasiswa menganggap, apa-apa yang mensengsarakan rakyat, harus diperangi. Sikap tersebut dibenarkan ketika setiap demonstran memiliki tujuan mulia tersebut. Akan tetapi, yang menjadi persoalan kemudian adalah ketika banyak diantara mereka hanya ikut-ikutan. Mereka yang ikut-ikutan cenderung tidak paham tentang sebab-sebab yang menjadikan harga BBM dinaikan. Ketidakpahaman tersebut menanamkan kebencian, dan kebencian tersebut akhirnya memuncak, lalu anarkisme menjadi hal yang wajar.
Sikap-sikap mahasiswa tersebutlah yang seharusnya menjadi keprihatinan besar. Seolah-olah pemerintah adalah musuh besarnya. Padahal, bukan itu yang menjadi harapan rakyat. Sebuah gerakan yang memberikan solusi dan anggun namun licin untuk menyuarakan aspirasi, itulah yang rakyat perlukan. Seakan memberi tauladan bagi rakyat, bukan menjadi semakin dibenci oleh rakyat. Runyamlah ketika kepercayaan rakyat mulai pudar terhadap mahasiswa. Tidak ada kolaborasi apik untuk menuju pengolahan tata negara yang baik dan benar.
Kita mungkin seringkali menengok aksi-aksi mahasiswa yang memblokir jalan, membakar apapun yang bisa dibakar, mencorat-coret mobil-mobil bahkan angkutan umum. Jika kita meresapi, pemblokiran jalan pastilah membuat jalanan macet yang sangat panjang. Macet tersebut menjadi kedongkolan masyarakat sekaligus menganggap mahasiswa menjadi biang keladinya, lalu timbulah kebencian masyarakat kepada mahasiswa. Disitu pula, masyarakat beropini bebas mengenai mahasiswa bahwa aksi yang dilakukanya bukan malah menjadi ratu adil bagi rakyat, tapi menjadi akar kedongkolah masyarakat.
Yang perlu digaris bawahi adalah ketika pemblokiran tersebut di lakukan dijalan yang tidak ada kaitanya sama sekali dengan intansi pemerintahan. Kecuali jika mereka mengaspirasi di tempat yang tepat, yakni instansi pemerintahan terkait. Namun masih relevan dengan sikap intektualitas seorang mahasiswa. Sayangnya, aspirasi anarkis masih ditemui di jalan-jalan yang tidak tepat, tidak berada di instansi pemerintahan, tapi di jalan-jalan biasa yang tidak nyambung dengan apa yang mereka aspirasikan.
Hal-hal tersebut yang harus mahasiswa kritisi. Mereka harus tau tempat yang tepat, menjunjung intektualitas, dan bukan menjadi peresah rakyat, agar supaya respect masyarakat kepada mahasiswa tidak punah. Sudah saatnya mahasiswa pintar membaca keadaan supaya tidak terjadi disentegrasi yang menimbulkan phobia demo. Sudah saatnya pula kritisasi mahasiswa menjadi ajang pencarian solusi. Rakyat masih berharap banyak kepada mahasiswa, jangan sampai harapan tersebut pupus karena ulah mahasiswa itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI