Meratap bujang dengan kelopak mata menutup, melawan waktu makan malam telah dihidangkan.
Meronta-ronta pintu tak terdengar suaranya.
Sempit hidup ini bagi jiwanya; kotor, bernoda yang mengalir dosa-dosa.
Dia ingin berhenti!! dari budak rantai hawa nafsu.
Serasa sulit baginya meratap masa kelam yang pilu.
Merasa ada di tepi neraka sejengkal dari ibu jari kakinya.
Kenapa masih berlanjut?
Wahai ibuku!!
Wahai bapakku!!
Percuma kau memekik, tak akan ada yang menolong mu selain amalmu bujang.
Berpikir kau bujang!!
Berpikir kau bujang!!
Firman-Nya; "Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan segala apa yang ada di antaranya keduanya dengan main-main."
Cukupkah waktumu bujang?
Gosok menggosok permukaan benak tiada arti; habis umur dalam kesenangan buana baru kau pungkiri.
Dulu kau anggap itu masih lama...
Masih lama... "Biarkan kita nikmati hidup ini dulu..., Urus saja dirimu sendiri!!"
Mulutmu terlepas ialah setan pemandu; seakan pencabut nyawa ingin berkata
“Kau makhluk yang dungu!”
Kau tunda-tunda seakan kau pemiliknya.
Paksa dirimu bujang!!
Paksa dirimu bujang!!
Sekarang jiwa itu masih ada bergelantungan di jasadmu.
Setetes air mata ketakutan kepada Rabmu lebih baik dari pada air liur yang kau tumpahkan; ialah hawa nafsu binatang.
Sadarkah kau bujang!
Siklus kematian menandakan garis mu akan berakhir di liang lahat.
Terkubur tanpa lentera, sunyi hawa tanah tiada suara yang memanggil; kecuali dua fitnah yang akan bertanya.
Apa yang akan kau jawab bujang?
Sudah siapakah kau bujang?
Menelan air mata; asin tersedu-sedu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H