tafsir lengkap 30 juz Al-Qur'an dalam bahasa Bugis, menggunakan aksara lontara. Karya ini dikenal sebagai terjemahan dan tafsir Al-Qur'an pertama dalam bahasa Bugis dan berperan besar dalam memperkenalkan, melestarikan, dan mengedukasi masyarakat Bugis mengenai makna wahyu Ilahi. Diluncurkan pertama kali pada tahun 1984 dengan judul "Tarjumanna Nennia Tapesr Akorang Mabbicara Ogi", yang berarti 'Terjemah dan Tafsir al-Qur'an Berbahasa Bugis", tafsir ini merupakan upaya monumental untuk mengintegrasikan dua dimensi---agama dan budaya---dalam sebuah karya yang dapat diakses oleh masyarakat Bugis.Â
Tafsir Al-Munir adalah sebuah karya monumental yang menyajikanPenulisan Tafsir Al-Munir berawal dari keinginan AG. KH. Daud Ismail untuk memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat Bugis tentang makna Al-Qur'an. Meskipun sudah ada terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Bugis, namun belum ada tafsir yang mencakup keseluruhan 30 juz. Hal ini menjadi alasan utama di balik penulisan tafsir ini. Selain sebagai sarana untuk memperdalam pemahaman umat terhadap Al-Qur'an, karya ini juga bertujuan untuk melestarikan bahasa Bugis, terutama aksara lontara, yang pada waktu itu mulai terpinggirkan. AG. KH. Daud Ismail merasa penting untuk menyusun tafsir komprehensif, bukan hanya untuk tujuan keagamaan tetapi juga untuk menjaga keberadaan bahasa dan aksara lontara yang merupakan bagian integral dari identitas budaya Bugis.Â
Dengan ini, tafsir ini tidak hanya mengedukasi masyarakat, tetapi juga menghidupkan kembali kekayaan budaya lokal. Salah satu aspek utama dalam Tafsir Al-Munir adalah penggunaan bahasa Bugis yang disusun dengan aksara lontara. Aksara lontara sendiri telah menjadi simbol identitas budaya Bugis, yang pada saat itu mulai terlupakan. Dengan menulis tafsir menggunakan aksara lontara, AG. KH. Daud Ismail bukan hanya melestarikan bahasa, tetapi juga menunjukkan bahwa bahasa Bugis mampu berinteraksi dengan bahasa Arab, bahasa yang digunakan dalam Al-Qur'an. Melalui Tafsir Al-Munir, masyarakat Bugis diharapkan bisa memahami pesan-pesan Al-Qur'an dengan cara yang lebih dekat dengan budaya mereka, sehingga makna wahyu Ilahi dapat diterima dengan lebih baik.
 Dengan ini, tafsir ini bukan sekadar sebuah terjemahan, tetapi juga sebuah media yang membangun jembatan antara agama dan budaya. Tafsir Al-Munir dibagi dalam sepuluh jilid, yang masing-masing berisi tiga juz Al-Qur'an. Di setiap jilid, ayat Al-Qur'an pertama kali diterjemahkan dalam bahasa Bugis, kemudian ditafsirkan. Setiap tafsir dimulai dengan kata-kata "papakatajanna aya'..." ( ), yang menandakan bahwa penjelasan tentang ayat tersebut dimulai. Metode penafsiran ini memungkinkan pembaca untuk langsung memahami arti dan konteks ayat tanpa kesulitan. Selain itu, tafsir ini tidak hanya menjelaskan arti kata per kata, melainkan memberikan penjelasan secara umum mengenai konteks ayat-ayat yang mendahuluinya. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih menyeluruh dan mendalam tentang makna Al-Qur'an, sebelum merinci penjelasan pada kata-kata atau frasa yang sulit dipahami. Keunikan lain dari tafsir ini adalah bahwa AG. KH. Daud Ismail menghindari penggunaan istilah teknis dalam ilmu nahwu, saraf, atau balaghah, sehingga pembaca yang tidak terbiasa dengan istilah-istilah tersebut tetap dapat memahami tafsir ini dengan baik.Â
Tafsir ini juga menggunakan metode pengelompokan ayat yang fleksibel, biasanya terdiri dari tiga hingga sepuluh ayat dalam satu kelompok, dengan penjelasan yang terperinci. Metode ini bertujuan untuk memberikan penjelasan yang lebih mendalam dan mudah dipahami, tanpa membuat pembaca merasa terbebani dengan terlalu banyak ayat yang harus dianalisis sekaligus. Tafsir ini juga menunjukkan bagaimana nilai-nilai budaya Bugis dapat terintegrasi dalam pemahaman ayat-ayat Al-Qur'an. Sebagai contoh, pada tafsir QS. Ar-Rahman: 5, yang menjelaskan tentang matahari dan bulan yang beredar sesuai dengan perhitungan, tafsir ini menjelaskan keteraturan yang tercipta dalam sistem alam sebagai suatu bentuk ketetapan yang ditentukan oleh Allah. Hal ini dihubungkan dengan sistem penanggalan berbasis bulan yang digunakan oleh masyarakat Bugis untuk berbagai aktivitas, seperti bertani atau melaut. Dengan demikian, tafsir ini bukan hanya menyampaikan makna Al-Qur'an, tetapi juga mencerminkan cara masyarakat Bugis memahami dunia mereka berdasarkan ajaran agama Islam.Â
Tafsir ini menyadarkan kita bahwa pemahaman terhadap wahyu Ilahi dapat diperoleh dengan menghargai dan melibatkan budaya lokal yang telah lama ada. Dalam penafsirannya, AG. KH. Daud Ismail menggunakan pendekatan tafsir bi al-ma'tsur, yaitu pendekatan yang mengutamakan penggunaan sumber-sumber tradisional dalam penafsirannya, seperti ayat Al-Qur'an itu sendiri, hadis-hadis Nabi, dan tafsir-tafsir terdahulu. Selain itu, beliau juga merujuk pada tafsir lainnya untuk memperkaya penjelasan dan pemahaman terhadap ayat yang sedang ditafsirkan. Beberapa sumber yang digunakan dalam Tafsir Al-Munir antara lain Tafsir Al-Maraghi oleh Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Jalalayn oleh Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, serta Tafsir Fathul Qadir oleh Muhammad bin Ali Asy-Syawkani. Tafsir Al-Munir karya AG. KH. Daud Ismail bukan hanya sebuah karya ilmiah dalam bidang tafsir Al-Qur'an, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan terhadap bahasa dan budaya Bugis. Dengan menggabungkan bahasa Bugis dan aksara lontara, tafsir ini tidak hanya menjawab kebutuhan keagamaan, tetapi juga melestarikan kekayaan budaya lokal.Â
Melalui karya ini, kita dapat belajar bahwa pemahaman terhadap Al-Qur'an bisa sangat dekat dengan budaya kita, dan bahwa Al-Qur'an bisa dibaca dengan cara yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, tanpa kehilangan esensi dan makna yang terkandung di dalamnya. Sebagai tafsir Nusantara, Tafsir Al-Munir memberikan kontribusi besar dalam memperkenalkan model tafsir yang lebih kontekstual dan bersifat lokal, sekaligus menunjukkan bagaimana nilai-nilai Islam dapat diadaptasi dan disampaikan dalam bentuk yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat setempat. Karya ini tetap relevan sebagai sumber pembelajaran bagi generasi mendatang dalam memahami Al-Qur'an dengan cara yang lebih dekat dengan warisan budaya mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI