Mohon tunggu...
Renaldi Wicaksono
Renaldi Wicaksono Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan

I'm using Kompasiana to build digital relationship with people who loves Travelling, Short Story, Movies, Start Up, Social Project, and Psychology

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menikah bukan Berarti Dewasa, Lantas Apakah Kedewasaan itu?

12 Mei 2015   10:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:08 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1431398873468358594

“Kapan loe nikah ren?” Tanya kawan saya.

“Oh belom, gue masih pengen bebas aja”

“Ah, gak dewasa banget lo!”

Deg……

Saya agak gregetan dengan kawan saya itu yang seenaknya mengejek saya dengan tidak dewasa karena belum ingin menikah. Kemudian saya memikirkan berulang kali apa saya benar-benar belum dewasa? memangnya apa sih dewasa itu?

Sesampainya saya di rumah, saya iseng membuka kembali file-file lama waktu kuliah di Psikologi UI. Saya menemukan beberapa indicator dari kedewasaan atau dalam psikologi lebih dikenal konsep kematangan. Kematangan sendiri didefinisikan sebagai kemampuan untuk memberikan respon terhadap situasi lingkungan sekitarnya sesuai dengan norma/aturan yang berlaku. Menurut Rachman (2009), seseorang dikatakan matang apabila ia memiliki kelima sikap berikut ini :


  1. Berpikir Objektif
  2. Berpikir Positif
  3. Mampu Mengendalikan dan Menyalurkan Emosi
  4. Bertanggung Jawab
  5. Mampu Membina Hubungan Interpersonal yang harmonis dan konsisten dalam waktu yang relative panjang

Mayoritas masyarakat Indonesia menganggap bahwa seseorang dikatakan dewasa apabila sudah menikah, memiliki penghasilan sendiri, dan sudah tidak tinggal lagi bersama orangtua. Mungkin atas dasar opini yang demikian yang menyebabkan teman saya ini bisa men-Judge saya tidak dewasa.

Saya sendiri tidak setuju dengan definisi masyarakat mengenai kedewasaan dengan pola pikir sempit seperti itu. Saya lebih setuju dengan 5 indikator kematangan yang telah disebutkan oleh Rachman (2009) diatas. Dalam bukunya Rachman(2009) juga menyebutkan bahwa kedewasaan itu bisa terkikis dan juga bisa menular. Hal ini tentu sangat sesuai dengan fenomena yang ada di Indonesia. Masih ingat kan dengan proses pemilu 2014 yang lalu. Saya sering sekali melihat beberapa teman men-Share berita yang belum jelas kebenarannya. Bahkan ada kawan saya yang semasa kuliah jago sekali statistic, tetapi men-share berita yang ngawur banget data-datanya. Semua digerakan oleh emosi. Tanpa berpikir panjang main asal share berita, membuat suatu opini seolah-olah fakta, dan kebenaran menjadi kabur. Semua orang kehilangan kematangannya. Dan memang benar bahwa kematangan itu bisa terkikis dan menular. Kadar rendah kematangan berpikir dari seorang tokoh dapat menular membuat orang awam menjadi ikut-ikutan berpikir dengan cara demikian.

Berita baiknya adalah meningkatnya kematangan seseorang juga bisa menular. Misalnya gerakan-gerakan sosial yang sangat marak di Indonesia seperti gerakan Indonesia Mengajar, 1001 buku, buku untuk papua. Kegiatan-kegiatan positif itu mampu menginspirasi banyak orang untuk bisa bergerak. Sadar atau tanpa sadar gerakan social seperti ini akan mampu meningkatkan kematangan dirinya. Dengan terlibat pada kegiatan sosial, seseorang akan mampu berpikir objektif bahwa kita tak bisa hanya mengandalkan pemerintah untuk membangun Indonesia, mampu berpikir positif bahwa masih ada banyak orang yang hidup serba keterbatasan tetapi mampu bersyukur serta bahagia, mampu mengendalikan dan menyalurkan emosinya dengan menyibukan diri dalam kegiatan positif, meningkatkan tanggung jawabnya sebagai orang Indonesia yang harus berbakti pada bangsa, dan meningkatkan kemampuan interpersonal dengan cara berinteraksi dengan berbagai watak manusia serta menyesuaikan diri dengan adat istiadat.

Akhirnya saya seperti harus berterima kasih kepada kawan saya itu. Saya jadi kembali mengingat arti kedewasaan sesungguhnya. Karena kedewasaan itu bisa memudar dan meningkat, maka saya harus sadar akan ‘wilayah’ ini dalam diri saya. Sepertinya saya akan ikut berkomunitas dan memperluas jejaring sosial lagi nih.

Referensi

Rachman, Eileen dan Sylvina Savitri, “Fit & Proper”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun