[# I - MeraHitam] merah yang ramah, aku hanyalah gelap mengendap di ingatanmu. tapi merah, dadamu tak pernah kehabisan cara lahirkan kata. mereka lahir, mereka tumbuh jadi teriak, jadi isak, jadi ratap, jerit, jadi rintih—begitu fasih senandungkan perih, nyanyikan luka, dendangkan sakit, kumandangkan nyeri, entah demi kamu, entah demi aku, entah demi manusia? pernahkah dadamu merasa kalau mereka lukiskan aku, merah? lukiskan gelap? di matamu, barangkali aku gagal jadi anjing—setia mendampingi kata-katamu. tapi apa kamu tau, kalau aku masih setia menyusun do'a agar jadi tangan bunda buat kamu? aku mau tangan itu peluk kamu, usap tangismu, mengelus kepalamu. aku mau tangan itu mengenggam tanganmu, merah. sebab, kau dan aku belum bisa saling bersidekap, bersitangkap. lagipula, sejak mula kau dan aku saling melempar sapa, rangkaian percakapan kau dan aku tampak malu-malu berjalan sebagai kita? karena itu aku mengirim tangan bunda... aku harap, tangan itu mengelus dadamu, mengajak tersenyum kata-katamu, sejukkan panas dalam hatimu [# II -AnarkImajinasi] merah, di balik dinding rumahmu kata-kataku masih berkeliaran, berputar-putar tak menemu jalan keluar —tersesat di kedalaman dirimu. semua sakitmu membuat mereka betah tinggal di sana. aku sudah ucap selamat tinggal pada mereka. kau tenang saja, merah. sejak kecil mereka bercita-cita menjadi apotik obat. sebagian lain sudah berlatih jadi perawat. mereka pasti pandai bersahabat dengan semua sakitmu. simpanlah seluruh peluk dan cium bagi mereka, dengan begitu, mereka semakin mesra dengan semua sakitmu [*] Rena Anarkarani, 6. 03. 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H