Mohon tunggu...
Rena Anarkarani
Rena Anarkarani Mohon Tunggu... -

Kolektor buku filsafat dan sastra. Hobi bermain bass dan memelihara kucing *__^

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hikayat Awan Kecil

17 Juli 2011   09:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:36 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hikayat Awan Kecil

Syahdan. Hiduplah satu awan sangat kecil. Ia sangat begitu kesepian. Tampak terasingkan. Mengudara sendirian seakan telah menjadi kegembiraan si Awan Kecil sehari-hari, seperti bukan lagi perihal yang ia takuti. Ia masih senantiasa berusaha terbang ke mana saja meski dengan segenap keterbatasan. Ia masih bisa berkeliaran cukup jauh, walau jauh dari Awan-Awan Besar entah karena apa?

Ia teramat kecil sekali, nyaris tak sampai seuntai. Setiap kali Awan-Awan Besar menjelmakan diri mereka sebagai hujan demi menghijaukan pegunungan, Awan Kecil diam-diam kerap terbang mendekat, hendak menawarkan jasanya. Ia begitu ingin sekali terlibat membantu mereka, meski hanya sedikit saja. Namun Awan-Awan Besar mengolok-olok dia, karena ia begitu kecil. Terlalu kecil.

"Hahaha! Kamu tuh tak punya apa-apa buat bantu kami! Lihat dirimu, alangkah kecil sekali! Mana bisa kamu ikut bantu! Pergi sana! Hahaha!"

Dengan tertunduk diam, Awan Kecil melangkah pergi bersama kesedihan mendalam. Sementara dari kejauhan, tingkah Awan-Awan Besar makin menjadi-jadi, masih terus berteriak memperolok-olok dia:

"Huh! Dasar awan lemah! Udah kecil, cengeng lagi! Hahaha! Pergi sana! Pergi! Hahaha!"

Awan Kecil lari. Terus berlari dengan segenap daya. Berlari menjauh dari Awan-Awan Besar. Lari dan lari. Ia berusaha menyingkir ke tempat lain. Berharap bisa menjadikan dirinya melahirkan hujan. Namun ke mana pun Awan Kecil pergi berlari, entah ke laut, ke lembah, ke hutan, atau ke bukit, Awan-Awan Besar terus mengintai, terus mendesaknya, terus meminggirkannya.

Menyadari kenyataan itu, Awan Kecil pergi lebih jauh lagi. Berlari dan berlari, lebih jauh dari sebelumnya, sampai ia tiba pada sebuah tempat yang sangat kering kerontang. Sangat begitu gersang. Saking demikian gersangnya, nyaris tidak ada setangkai pun dahan tumbuh di tempat itu. Hanya tampak hamparan kesunyian teramat panjang membentang. Angin bertiup dengan hawa begitu panas. Tak ada teman bicara. Tak ada sesiapa. Awan Kecil menggumam dalam hati, bicara terbata-bata pada diri sendiri:

"Barangkali, cuma ini saja satu-satunya tempat paling cocok buat Awan macam aku. Tak seorang pun pernah datang kemari. Tak seorang pun mau tinggal di tempat gersang ini. Ah, aku ingin menjadikan diriku hujan di sini, meskipun itu cuma sedikit. Cuma sekecil diriku ..."

Dari waktu ke waktu, di tengah hamparan padang gersang itu, Awan Kecil terus mengerahkan seluruh kemampuan demi menjadikan dirinya berbuah hujan. Padang masih sangat sepi. Tak seorang pun tahu sudah berapa banyak cara ditempuh Awan Kecil, hingga pada akhirnya ia berhasil melahirkan satu tetes hujan mungil.

Begitulah. Pelan-perlahan, Awan Kecil lesap menguap. Hilang. Ia baru saja berubah menjadi hujan, meski sebatas satu tetes kecil. Sedikit demi sedikit, Awan Kecil, yang kini menjelma setetes hujan, meluncur jatuh sendirian. Dengan segenap kesepiannya, ia jatuh, jatuh, dan jatuh. Tapi, tak ada siapa pun menantikannya di bawah sana. Padang begitu lengang. Hanya tampak butiran-butiran pasir. Akhirnya sebutir Hujan Kecil itu jatuh pecah juga, tepat di atas sebuah batu kerikil. Suara percikannya menimbulkan kekagetan, lantaran berbunyi lain dari bunyi-bunyi biasanya. Ia membuat bumi bangun terkejut keheranan dan bertanya:

"Hey, ada ribut-ribut apa itu?"

"Tetes hujan jatuh, tetes hujan jatuh," tandas batu kerikil.

"Benar. Ada sebutir air jatuh. Ini berarti hujan bakal turun! Lekaslah kita bangun! Hujan akan turun!" Batu menyampaikan kabar gembira kepada semesta tumbuhan kecil yang sembunyi di bawah tanah. Panas sinar matahari yang selama ini membuat tetumbuhan tidur sembunyi, tak lagi menakutkan, karena terdengar ada harapan akan turun hujan.

Semesta tumbuhan pun bangun, mereka mengintip; mengedarkan pandangan ke sekitar, dan untuk sementara waktu, padang pasir menjadi tampak indah dilukis-hiasi kehijauan. Dari kejauhan, mendadak arakan Awan-Awan Besar melihat kehijauan di sana, mereka pun berkata:

"Lihat! Lihat! Ada banyak hijau di padang itu. Kenapa kita sampai terlambat mengetahui bila tanah di sana telah diwarnai kehijauan? Ayo! Kita buat hujan besar di sana. Ayo cepat! Ayo..."

Dengan tergesa-gesa, Awan-Awan Besar pergi bersama, pergi menjadikan diri mereka hujan lebat di tempat yang dahulunya padang pasir; tempat sangat gersang. Di sana, mereka, Awan-Awan Besar, mencurahkan hujan dengan rutin. Semesta tanaman kemudian tumbuh cepat dan subur. Segala sesuatu berjalin-menjalin menjadi sebuah pemandangan hijau.

"O, alangkah berkah sekali keberadaan kita di sepanjang padang ini," demikan Awan-Awan Besar berbangga diri merayakan keberhasilan mereka. "Tanpa kehadiran kita, tidak bakal ada kehijauan di padang ini!"

Saat-saat seperti itu, entah kenapa, tak ada seorang pun teringat kepada perjalanan jauh seuntai Awan Kecil. Ya, Awan Mungil, yang dulu, dengan segala keterbatasannya telah meneteskan sebutir hujan: Hujan Kecil. Hujan yang suara percikannya pelan-pelan sempat membangunkan tumbuhan kecil di bawah tanah; membangunkan mereka yang tidur sembunyi karena takut terbakar sinar matahari.

Begitulah. Tak seorang pun ingat kepada si Awan Kecil. Sudah biarlah. Barangkali, Awan Kecil pun tak berharap muluk untuk dikenang. Roda waktu terus berputar. Detik demi detik berlalu begitu saja. Dengan sendirinya, Awan-Awan Besar pun lenyap satu demi satu. Tanaman-tanaman di padang itu juga mulai layu pelan-pelan. Mati. Padang kembali gersang. Namun, di sana masih ada batu kerikil, tempat dulu setetes hujan dari si Awan Kecil jatuh pecah.

Batu kerikil itu masih setia menyimpan kisah perjalanan Awan Kecil. Seperti menyimpan sebuah kenangan. Kelak akan datang kembali Awan-Awan Kecil Baru, dan batu kerikil itu akan bercerita kepada mereka, bila di padang ini pernah ada satu Awan seperti mereka meneteskan sebutir hujan kecil. Seperti menetaskan sebutir harapan. Sebuah asa yang menumbuhkan kehijauan. Aku percaya, mendengar cerita batu kerikil itu, Awan-Awan Kecil Baru akan saling jalin-menjalin menjadi Satu Awan Besar. Ya, menjadi Awan Besar yang ramah dan bersahaja, karena benar-benar sadar pernah menjadi Awan Kecil, dan sadar bila mereka hanya gabungan dari Awan-Awan Kecil ...

*_____*

_______________________

@ ) Secara "anarkis" prosa ini disadur-ulang dengan sembarangan dari Subcomandante Insurgente Marcos, "The Tale of the Little Wisp of a Cloud", dalam Our Word Is Our Weapon, p. 347-348.

Salam Hangat, Penyadur-Penerjemah:

Rena Anarkarani :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun