Mohon tunggu...
Remy Riverino
Remy Riverino Mohon Tunggu... pegawai negeri -

....................Ingin selesai dengan diri sendiri...........................

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ice Bucket Challenge, Sukseskah?

25 Agustus 2014   06:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:39 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Setelah fenomena Gangnam Style dan Harlem Shake berlalu kini muncul lagi demam Ice Bucket Challenge (IBC). Rame-rame para pesohor di dunia melakukan tantangan IBC ini. Dari orang terkaya di dunia, pesepakbola termahal dunia, selebriti populer sampai warga biasa masing-masing membuat video IBC dan menguploadnya ke Sosmed.

Seperti diketahui IBC adalah suatu gerakan kampanye dalam bentuk tantangan mengguyur tubuh dengan es (mandi es) yang ditujukan untuk penggalangan dana bagi perawatan penderita dan meningkatkan kesadaran public terhadap penyakit Amytrophic Lateral Sclerosis (ALS). Penyakit ini dikenal juga sebagai penyakit Lou Gehrig yakni suatu penyakit yang menyerang sel saraf di otak dan sumsum belakang, khususnya saraf motorik tubuh manusia. (Lebih jelasnya tentang ALS dapat di klik disini).

Semakin banyak dan ramainya orang yang melakukan tantangan mandi es ini, timbul pertanyaan sukseskah inisiatif IBC ini? Berikut fakta-faktanya:

Seperti yang dirilis oleh LiveScience.com, bahwa hingga tanggal 22 Agustus 2014, organisasi ALS telah menerima donasi sebesar 53.300.000 US Dollar. Jika dibandingkanpada periode yang sama tahun yang lalu, yakni hanya sekitar 2.200.000 US Dollar tentu jumlah donasi ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan bahkan jumlahnya melebihi dari total pendapatan organisasi ALS pada tahun lalu. Jadi dalam hal jumlah uang yang didonasikan dapat dikatakan kampanye IBC ini telah berjalan Sukses.

Namun ada yang menarik, meski setiap harinya ALS terus mendapatkan dukungan dan presentase IBC terus naik dimana antara tanggal 1 Juni 2014 dan 13 Agustus 2014 sudah terdapat lebih 1,2 juta video IBC di Facebook (menurut New York Times). Tapi selama kurun waktu tersebut, organisasi ALS hanya menerima donasi dari sekitar 107.000 orang pendonor baru.

Adanya fakta jumlah orang yang mempublikasikan diri dengan membuang air es di kepala mereka ini, angkanya lebih banyak dibandingkan dengan angka orang yang memberikan sumbangan (donasi uang) maka ditakutkan dapat mengarah menjadi masalah slacktivism yakni praktek dukungan virtual di dunia maya seperti halnya mengklik “Like” pada halaman amal di Facebook yang tidak memiliki efek di dunia nyata.

Sebagai contoh beberapa waktu lalu, seorang supporter Liverpool FC nekad ber ice bucket ria hanya untuk menyambut kedatangan seorang Mario Balotelli, striker yang ditransfer dari AC Milan ke Liverpool FC. Tindakan supporter ini patut dipertanyakan, apakah ia mendukung ALS atau malah mendukung pembelian Balotelli oleh klub kesayangannya? Yang ditakutkan, orang ramai-ramai berpartisipasi membuat video IBC hanya karena dapat membuat mereka merasa mirip seperti selebriti atau ingin seperti pesohor dunia yang juga ikut kampanye yang sama. Maka hal itu dapat dianggap perilaku dunia maya yang tidak berefek ke dunia nyata. Dimana tujuan edukasi dan amalnya sudah melenceng dan menjadi terkesan hanya untuk hiburan dan seru-seruan saja.

Gerakan IBC juga mendapat kritik karena dianggap pemborosan air dan membuang-buang waktu. Disamping itu meski tantangan mengguyur es ke kepala ini menyenangkan, ia tetap mempunyai resiko kesehatan. Sebagaimana dikutip dari Kompas.com bahwa dalam skala kecil, IBC ini dapat menyebabkan cedera mata, akibat gesekan bongkahan es pada kornea. Pelaku IBC juga dapat kena hipotermia, tubuh shock dan dapat menganggu ritme detak jantung. (lengkapnya klik disini).

Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap gerakan mengguyur es ke kepala ini, gerakan ini tetaplah suatu hal yang positif karena sudah dapat menggerakkan hati banyak orang di seluruh dunia untuk turut berkontribusi terhadap biaya perawatan para penderita ALS dan amat berguna bagi keberlanjutan penelitian ALS sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini obat untuk penderita ALS belum ada.

SALAM KOMPASIANA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun