Mohon tunggu...
Remy Riverino
Remy Riverino Mohon Tunggu... pegawai negeri -

....................Ingin selesai dengan diri sendiri...........................

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

LPG Non Subsidi dan RUU Pilkada

13 September 2014   07:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:49 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah lahirnya LPG memang lebih tua dari lahirnya Pilkada langsung di Indonesia. LPG diperkenalkan sejak tahun 1968 sebagai bahan bakar rumah tangga menjadi bahan bakar alternatif yang lebih bersih. Elpiji merupakan merek dagang dari LPG (Liquefied Pertroleum Gas) yang dipasarkan Pertamina.

LPG lahir ketika Orde Baru mulai menata kekuasaan karena baru saja Orde Lama berakhir. Saat itu belum ada yang namanya Pilkada langsung apalagi pilpres langsung oleh rakyat karena merupakan hal yang tabu karena dapat dianggap merongrong kekuasaan.

Dan tentu kala itu kebanyakan masyarakat Indonesia masih asing dengan LPG karena mereka masih akrab dengan kayu bakar bagi masyarakat kecil, kompor minyak tanah bagi masyarakat menengah. Sedangkan LPG untuk kalangan menengah ke atas karena harganya yang lebih tinggi dari minyak tanah.

Seiring dengan berjalannya waktu, kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun pun runtuh tahun 1998 ditandai dengan diimulainya Era Reformasi. Kita sempat berharap banyak, namun demokrasi di era reformasi berjalan melambat hingga selama 16 tahun masih belum dapat mensejahterakan rakyat. Demokrasi kita masih berproses untuk mencari bentuk terbaiknya.

Demokrasi kita terus bergerak, lalu lahirlah UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah (desentralisasi) yang mulai memunculkan kab/kota dan provinsi pemekaran. Disusul UU No.32 tahun 2004 (revisi dari UU No.22/1999) tentang pemerintahan daerah dimana kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada. Dan sekarang Pilkada langsung tampak membuahkan hasil manis dengan hadirnya pemimpin-pemimpin terbaik, jujur, pekerja keras, cerdas dan tegas serta mau melayani rakyat sepenuh hati.

Pemilihan langsung oleh rakyat menghasilkan sosok seperti Jokowi, Ahok, Ganjar, Risma, Ridwan Kamil dan Arya Bima dan putra putri terbaik lainnya di seluruh Indonesia. Siapakah mereka ini silahkan Anda googling di internet dan anda akan banyak menemui ulasan tentang mereka.

Kembali ke LPG yang kemudian belakangan mulai populer di banyak kalangan sejak Pemerintah menggulirkan program konversi minyak tanah ke LPG pada tahun 2007. Kala itu muncul pro dan kontra namun Wapres Jusuf Kalla berani begitu getol menggulirkan program konversi ini demi untuk menyelamatkan keuangan negara.

Awalnya memang sempat ada penolakan masyarakat terhadap program ini namun seiring waktu masyarakat semakin menyukai LPG karena sifatnya yang lebih praktis, bersih dan jauh lebih cepat pemanasannya jika dibandingkan dengan bahan bakar lainnya intinya acara masak memasak di dapur menjadi lebih cepat dan menyenangkan.

Konsumen LPG pun terus bertambah membuat permintaan gas terus meningkat baik LPG yang disubsidi (elpiji 3 Kg) maupun yang non subsidi (elpiji 12 Kg). Gas bahan baku LPG lebih dari setengahnyaberasal dari impor yang pasti turut mengerek harga pokok perolehan LPG non subsidi yang sejatinya harus mengikuti dinamika harga gas di pasar global yang terus menanjak naik. Mata uang resmi pembeliaan import tentu saja menggunakan mata uang dollar.

Belum lagi Pertamina mengeluarkan biaya tambahan untuk biaya penyimpanan dan pendistribusian yang meliputi biaya pengapalan, penyimpanan di depo elpiji, pengangkutan menuju stasiun pengisian, biaya pengisian elpiji ke tabung serta biaya perawatan tabung.

Menurut Pertamina, harga jual elpiji Indonesia sudah termasuk murah. Sebagai perbandingan, harga jual gas non subsidi di Korea mencapai harga Rp 17.000. Di negara Sakura, Jepang seharga Rp 20.000 per kg dan di China harganya dikisaran Rp 17.000- Rp 21.000. Di kawasan Asia Tengggara seperti di Singapura harga jual gas non subsidi sebesar Rp 17.000 per kg dan Philipina sudah mencapai angka Rp 24.000 per kg. Sedangkan di negara kita, harga jual elpiji non subsidi hanya dikisaran Rp 7.700 s.d Rp 14.300 per kg. Jauh lebih murah bukan?.

Namun karena harga LPG non subsidi tidak pernah dinaikkan sehingga tidak heran bila dalam laporan hasil pemeriksaan BPK pada Februari 2013, tercatat Pertamina menanggung kerugian atas bisnis LPG non subsidi selama 2011 – Oktober 2012 sebesar Rp 7,73 triliun (Energia Pertamina 2014).

Lebih lanjut lagi, ternyata sejak 2008 harga LPG non subsidi tidak naik naik karena alasan politik, mau dekat pemilu katanya. Padahal Pertamina sudah 5 kali mengajukan kenaikan harga LPG non subsidi namun ditolak. Hingga 2008-2013 tidak ada kenaikan sempat dinaikan namun diturunkan lagi apakah langkah ini sebagai pencitraan untuk Pemilu2014?

Andai sejak tahun 2008 sudah mulai dinaikan harga seribu rupiah perkilonya maka kenaikanya hingga sekarang tidak akan terasa. Tapi ini sudah terakumulasi selama 5 tahun tidak naik sehingga harus naik 67 % dan untuk mencapai keekonomiannya yang seharusnya naik 90 %. Sebenarnya kenaikan LPG non subsidi bukan barang yang diatur oleh Pemerintah sama persis dengan kenaikan harga minuman kemasan dan mie instan. Beda halnya kalau dengan LPG subsidi 3 kg yang memang diatur oleh Pemerintah.

Kini pemilu 2014 sudah usai, mau menaikkan harga BBM tapi pemerintah sekarang ingin mengakhiri masa pemerintahan dengan indah yang tinggal sebentar lagi maka sebagai gantinya LPG non subsidi dinaikan dan memang harus naik. Kenapa dipilih menaikkan LPG non subsidi karena menurut pengalaman selama ini ia tidak mengakibatkan demo besar-besaran seperti kenaikan harga BBM.

Sekarang kenaikan LPG non subsidi pun mulai memunculkan pro dan kontra di masyarakat, mulai ramai dibicarakan baik di warung kopi maupun di media. Dan disaat yang bersamaan, saat ini masih dilakukan pembahasan RUU pilkada dimana dimunculkan wacana agar pilkada langsung oleh rakyat dikembalikan lagi ke zaman orde baru yakni kepala daerah dipilih melalui DPRD? Ada apa ini tiba-tiba mendadak tidak mau Pilkada langsung?

Rakyat pun bertanya-tanya mau dibawa kemana lagi demokrasi Indonesia, disaat mereka punya akses untuk turut menentukan kebijakan public dengan memilih pemimpin yang diinginkan melalui pilkada langsung tiba-tiba ingin dikebiri lagi hak-hak demokrasinya dengan cara diserahkan ke wakil-wakil rakyat yang ada di DPRD yang notabenenya adalah suara partai bukan mewakili suara dan hak rakyat. Apakah kenaikan LPG ini untuk mengalihkan perhatian publik atau ada agenda tersembunyi lainnya? Tentu kita semua pasti bertanya-tanya ada apa dibalik ini semua?.

Presiden terpilih, KPK, para pakar, dan para kepala daerah bahkan ada yang keluar dari partai pengusungnya, menyatakan wacana pilkada dipilih melalui DPRD adalah suatu langkah mundur bagi demokrasi Indonesia dan hanya libido kekuasaan sesaat padahal pilkada adalah satu-satunya akses rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan terbukti melahirkan para pemimpin yang berkualitas yang mau mendengarkan dan melayani rakyat yang dipimpinnya.

Di negeri ini dimana ada migas maka ada hadir politik disitu. Namun kini sudah saatnya dirubah. Kita semua berharap kepada pemerintah baru yang sebentar lagi akan menjalankan roda pemerintahan dapat menjauhkan Pertamina dari poliltisasi dan dapat mengelola migas sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Dan mari terus kita dukung KPK dalam memberantas mafia-mafia migas sampai keakar-akarnya.

Edukasi bahwa LPG 12 kg adalah barang tidak disubsidi, barang public yang ekonomis yang harganya mengikuti harga pasar, harus terus menerus disosialisasikan kepada masyarakat baik bertatap langsung kepada masyarakat (blusukan) maupun melaui media diantaranya melalui portal media warga seperti Kompasiana ini.

Penutup, Semoga dengan semangat terbarukan Pertamina dapat menjadi perusahaan kelas dunia yang siap memberikan energy bagi Indonesia dan dunia. Amin.

*SALAM KOMPASIANA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun