Mohon tunggu...
Remy
Remy Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengintip Strategi Invasi LGBT di Indonesia

19 Februari 2016   17:48 Diperbarui: 19 Februari 2016   18:04 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin di jaman 2000-an orang tua kita sering mengalami ketakutan kalau anaknya kuliah di luar kota akan berbuat macam-macam. Kenakalan remaja yang kerap menghinggapi pikiran orang tua meliputi bahaya narkoba, sex bebas, dan bermacam tindakan kriminal lain. Namun di tahun 2016 ini, saya yang di masa mendatang akan menjadi orang tua bukan khawatir anak saya melakukan tindakan yang saya sebutkan tadi di atas. Namun, saya lebih khawatir anak saya akan menjadi LGBT (Lesbian Gay Bisexual dan Transgender).

Mungkin ketakutan yang saya alami bukan hanya saya saja yang merasakan dan saya yakin banyak para orang tua lain yang memiliki ketakutan seperti yang saya alami. Bagaimana tidak? Setelah Amerika Serikat (AS) mengesahkan UU Perkawinan LGBT, seakan dijadikan momentum para kaum LGBT untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat jati diri mereka. Bahkan banyak LSM luar negeri yang bekerja sama dengan kaum LGBT tanah air melakukan konseling tentang LGBT ini.

Saya melihat ekspansi LGBT di Indonesia bukanlah satu hal yang kebetulan, bahkan lembaga donor seperti United Nations Development Programme (UNDP) menggelontorkan dana hingga Rp 108 miliar untuk mengadvokasi yang menurut saya tujuannya adalah agar di Indonesia diberlakukan UU sejenis seperti yang terjadi di AS dan beberapa negara di Eropa.

Pergerakan LGBT di Indonesia didukung dari berbagai acara di televisi, salah satu stasiun tv swasta pernah membahas bahwa dunia media, terutama media elektronik kerap menayangkan acara-acara yang berbau LGBT. Entah artis pria memakai pakaian wanita dan para pria yang bertindak-tanduk gemulai layaknya wanita. Tentu hal ini akan berpengaruh jika yang menonton adalah anak-anak yang masih polos yang berpotensi akan mengikuti gaya mereka dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah ketakutan para orang tua yang memiliki anak kecil karena banyak tayangan di televisi yang mengarahkan anak bertingkah tidak normal.

Mungkin memang strategi Invasi LGBT ini sudah terencana dengan baik karena kaum LGBT sangat paham bahwa media adalah satu-satunya cara yang paling ampuh untuk memperbanyak kaum mereka. Atau kalau saya sebut memperbanyak agak terlalu kasar, mungkin tujuannya adalah menjadikan kegiatan LGBT adalah satu kegiatan yang normal dan “goal” nya adalah agar masyarakat memaklumi bahwa ada kaum LGBT di tengah-tengah mereka.

Teori saya itu, bersinggungan dengan 4 fungsi media, pertama fungsi menghibur, fungsi pendidikan, fungsi memberi informasi, dan fungsi kontrol sosial. Pergerakan LGBT yang sangt masif ini memanfaatkan media dan fungsinya tersebut dengan menyusupkan tayangan hiburan yang sebagian atau mayoritas artis prianya adalah kaum LGBT. Selain itu, dengan menayangkan program hiburan yang “bergaya” LGBT secara tidak langsung mengedukasi masyarakat bahwa LGBT adalah hal biasa, bahkan rating acara tersebut tinggi.

Terakhir, adalah yang kita patut waspadai yaitu kaum LGBT memanfaatkan fungsi kontrol sosial, yaitu dimana fungsi ini bisa menjadikan sesuatu yang biasa menjadi tidak biasa dan yang tidak biasa menjadi biasa. Saat ini masyarakat masih “risih” dengan keberadaan LGBT di tengah-tengah mereka, namun jika semua media berpihak kepada kaum LGBT ini maka bukan tidak mungkin LGBT akan dianggap biasa oleh masyarakat lewat propaganda-propaganda media.

Saya mengetahui hal ini karena saya adalah orang yang berkutat di dunia media dan saat ini (mohon maaf) banyak awak media di stasiun televisi adalah kaum LGBT. Bahkan, hampir semua Production House diisi oleh kamu LGBT.

Tulisan yang saya buat ini pun tidak bermaksud untuk menyerang siapapun, namun banyak kaum LGBT mengatakan keadaan yang mereka rasakan saat ini adalah sebuah kelainan dari lahir. Saya pun berpikir jika mereka memiliki kelainan yang berbeda dari orang normal, maka seharusnya mereka berobat untuk menjadi normal. Saya menganalogikan jika, seseorang memiliki borok busuk yang bau, maka logikanya orang itu akan pergi ke dokter untuk diobati, bukan menyuruh orang yang disekitarnya maklum akan bau boroknya tersebut. Begitu juga dengan LGBT, mereka memiliki penyakit namun tidak berusaha untuk menyembuhkan diri dan malah meminta masyarakat malah menerima keberadaannya.

Oke, kalau hanya sekedar meminta mereka diakui keberadaanya, tapi tidak hanya berhenti sampai disitu, mereka merekrut orang dengan cara kasar. Dalam artian kasar adalah banyak orang-orang yang tadinya normal dipaksa menjadi penyuka sesama jenis karena mengalami pelecehan. Kita lihat saja bagaimana kasus Saipul Jamil yang memperkosa dua anak lelaki di bawah umur. Artinya, saat ini mereka pun sudah tidak canggung melakukan hal tercela yang bahkan lebih tercela dari hanya sekedar menjadi LGBT.

Serangan LBGT yang masif ini tidak didukung oleh gerakan antisipasi yang masif juga. Para penyelenggara negara terkesan masih tidak berani dalam menyikapi LGBT. Padahal, jika pemerintah bisa membuat larangan LGBT dan membuat satu program rehabilitasi kepada LGBT agar bisa kembali normal maka keadaan akan jauh lebih baik lagi. Mereka (LGBT) memang membutuhkan dukungan, tapi bukan dukungan dalam mengesahkan UU perkawinan sejenis tapi bantuan untuk mereka bisa kembali normal secara berprilaku dan secara seksual. Saya pun setuju mereka tidak pantas dihujat dan dikucilkan karena mereka tetap warga negara yang haknya harus dilindungi.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun