Mohon tunggu...
Remon Tarigan
Remon Tarigan Mohon Tunggu... -

Kuli pulang pagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Masih Berharap Papua 'Bergolak'

23 Maret 2015   08:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:15 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu aku menghadiri sebuah undangan diskusi. Sebetulnya itu undangan bukan khusus untukku, tapi karena dia undangan on line terbuka dan beberapa temanku ditandai maka kuberanikan diri saja.

Sebuah diskusi ringan bertema “kilas lensa papua” digelar setelah magrib di bawah wall climbing milik KOMPAS-USU,  sebuah organisasi pencinta alam di kampus USU. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut adalah Muhammad Yamin. Pemuda perantau yang mengadu nasib ke Timika, sudah beberapa tahun menetap di sana. Bang Yamin dalah seorang jurnalis foto yang bekerja kepada sebuah kantor berita asing.

Pokok diskusi adalah sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Papua. Diskusipun meriah dengan banyak tanya dari kami yang berlatar belakang keilmuan beragam. Ada hukum, kehutanan, antropologi, sosiologi, teknik dan sebagainya. Paling banyak pertanyaan adalah seputar perang antar suku atau kampung di sana. Semua pertanyaan kami dijawab Bang Yamin dengan lugas dan menurutku cenderung berdasarkan pandangan dia sebagai jurnalis. Slide-slide foto bang Yamin ditayangkan untuk menguatkan topik diskusi.

Cukup banyak slide foto bang Yamin yang ditayangkan. Yang paling menarik bagiku adalah sebuah foto dimana banyak orang Papua (lupa nama sukunya) sedang berbaris dengan pakaian dan perlengkapan perang. Jumlah mereka cukup banyak dengan wajah-wajah yang dicat. Bagiku foto tersebut cukup dramatis dan kolosal. Seperti di pelm ‘brave heart’ saja. Aku bukan fotograper, tapi ntah kenapa foto itu cukup menyita perhatianku dan pengen rasanya ada disekitar moment itu dan punya foto seperti itu.

Oke…..

Anggaplah aku suka foto. Kalau ‘kupaksakan’ mungkin dalam waktu 3-4 tahun lagi tabunganku  sudah cukup untuk punya gear yang mumpuni, ongkos Medan-Timika PP dan biaya hidup untuk sekitar 2 minggu di sana. Dua minggu mungkin sudah cukup waktu berburu moment perang. Selesai diskusi aku pulang kerumah bersama mimpiku ke Papua.

Sesampai di rumah, tiba-tiba aku merasa menjadi sangat egois. Bayangkan, bagaimana mungkin aku yang cuma sedikit suka dunia fotografi berharap dalam 3-4 tahun kedepan warga Papua masih saja perang-perangan, demi ambisiku untuk mendapat sebuah foto seperti punya Bang Yamin????

Jika aku yang bukan siapa-siapa di dunia fotografi berharap masih akan tetap ada perang di Papua, bagaimana dengan mereka-mereka yang ‘mungkin’ punya motif ekonomi, mereka yang ‘mungkin’ menikmati konflik horizontal di Papua??.

Jadi teringat kisah seorang sahabat tentang ‘letusan Gunung Sinabung’. Dia rencananya akan mendampingi seorang fotografer dari negeri ziran mendokumentasikan aktivitas Sinabung. Rencana itu dibatalkannya sepihak hanya karena sepenggal kalimat dari sang calon dampingannya “semoga ketika kita di sana Sinabung meletus”

Argh…..

Sepertinya aku dan kalaupun ada yang menikmati konflik di Papua, maka kami sepertinya bukan manusia!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun