Mohon tunggu...
Ani Yunita Prasetiani
Ani Yunita Prasetiani Mohon Tunggu... -

Menulis itu adalah hobi yang unik, maka dari itu saya ingin terus menulis, terus dan terus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketakutan Di Hari Ke-1321

8 Juni 2012   06:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:15 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini adalah cerita tentang sebuah ketakutan yang dirasakan seorang gadis polos dan lugu. Suatu hari si gadis polos ini menceritakan ketakutan yang selama ini ia alami dan khawatirkan. Begitu dahsyatnya ketakutan yang ia rasakan, hingga membuatnya menyerah.

Aku tak mengerti kenapa ia selalu duduk sendirian di taman stasiun dekat rumahnya. Hal itu untuk mengusir ketakutannya, ku pikir. Tapi aku salah, semua dugaan itu termentahkan setelah ia bercerita tentang semua ketakutannya. Gadis itu begitu polos dan lugu dalam semua hal. Tak terkecuali dalam cinta. Ia begitu setia, setia dalam perkataan maupun perbuatan. Bahkan menunggu dalam ketidakpastian pun ia jalani.

Setiap harinya ia selalu pergi ke taman stasiun dekat rumahnya. Setiap pukul jam 4 sore pasti akan ada si gadis polos itu duduk sendirian hingga datang petang menenggelamkan bayangan dirinya. Sambil bertilawah tiada henti, hingga tak bisa lagi ia melihat tulisan di kitab sucinya oleh karena hari telah gelap, baru ia akan beranjak pergi. Dan ritual itu ia lakukan setiap harinya. Tidak peduli apakah hujan atau tidak. Jika hujan tiba, ia akan bersiaga dengan payungnya. Sesekali ia memperhatikan kereta yang lewat, sambil mengamati apakah ada orang yang datang-orang yang selama ini ia tunggu-menghampirinya. Kadang kulihat ia menesteskan airmata disela bacaan tilawahnya. Ia usap airmatanya, dan kemudian melanjutkan bacaannya kembali.

Tapi ada yang aneh dengan hari ini, di hari ke 1321 ini aku tak lagi melihatnya duduk manis sambil bertilawah di bangku yang biasanya ia duduki. Aku betanya-tanya dalam hati, “Ada apa gerangan dengan gadis itu?”

Dan pertanyaanku pun terjawab ketika aku bertemu dengannya. Dengan polosnya ia bercerita kepadaku, bahwa ia telah lelah menunggu, ia terlampau capek dengan penantiannya. “Saya sangat takut” itulah sebait kalimat ia ucap kepadaku.

“Saya takut Allah murka kepada saya, karena begitu lekatnya ia di pikiran saya. Saya takut,,, takut tak lagi bisa merasakan rasa rindu lagi. Karena semua rindutelah saya kerahkan seluruhnya untuk dia. Saya takut, tak lagi bisa mencintai hati yang lain, karena cinta saya telah luruh bersama waktu untuk menunggu kedatangannya. Dan saya takut tak lagi memiliki rasa, karena sepertinya saya telah mati rasa karenanya.”

Ia menceritakan semua itu dengan lantang tanpa tetesan airmata atau kalimat yang terbata. Bahkan ia berkata bahwa airmatanya sudah cukup habis selama ribuan hari menunggunya. Kenapa kemudian ia selalu duduk sendiri menanti di taman stasiun? Karena di situlah ia terakhir kali melihat orang yang ditunggunya. Dan di hitungan ribuan hari menunggunya itu, si gadis berharap orang itu akan menghampirinya. Tapi kenyataan berkata lain, orang yang ditunggunya selama beribu-ribu hari, tak juga datang untuknya. “Saya ikhlas dengan penantian saya, toh dia juga tak pernah menyuruh saya untuk menunggu, biarlah saya menikmatinya”. Itulah kalimat terakhir dari sekian cerita si gadis polos itu kepadaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun