Kita tentu telah mengenal kue yang Bernama Nastar, Kastengels dan Klapertart. Tentang rasanya, teksturnya, profilnya, sudah tidak asing lagi. Nastar adalah kue kering dengan isian selai, biasanya berbentuk bulat dengan warna kuning segar, terkadang diberikan hiasan cengkeh sehingga menjadi mirip seperti buah tomat dengan rasa perpaduan antara gurih, manis asam dari selai, dan aroma butter yang kuat. Sedangkan Kastengels adalah kue kering berbentuk batangan dengan taburan keju di atasnya dengan rasa gurih dan asin, membuat siapa saja tidak akan bosan untuk mencicipinya. Lain Nastar dan Kastengels, lain pula Klapertart. Klapertart adalah kue berbahan kelapa, bertekstur lembut dan gurih dengan rasa manis dan aroma kayu manis yang kuat. Ketiga kudapan ini menjadi favorit pencinta kuliner, terutama di saat hari-hari raya.
Meskipun sudah sangat dikenal di tengah masyarakat, tapi ternyata ketiga kudapan ini bukanlah asli Indonesia. Bisa jadi ada yang berkata, Bukankah Klapertart berasal dari Manado? Iya benar, tetapi aslinya bukan berasal dari Manado. Ketiga kudapan ini, ternyata berasal dari bangsa Belanda. Ketika Belanda datang ke Hindia Belanda untuk menjajah, mereka juga membawa beberapa kuliner khas negaranya.Â
Karena kebiasaan orang Belanda yang mengudap camilan atau dikenal dengan hapjes dalam Bahasa Belanda, maka mereka juga gemar menciptakan camilan-camilan sebagai teman minum teh. Beberapa resep kudapan mereka kita ketahui karena penyebaran yang mereka lakukan kepada para asisten rumah tangga atau para wanita pribumi yang mereka nikahi.
Untuk lebih jelasnya, mari kita kulik bersama sejarah ketiga kuliner lezat ini.
1. Nastar
Berdasarkan laman indonesianchefassociation.com, Nastar berasal dari dua kata Bahasa Belanda yakni ananas atau nanas dan taartjes atau tart. Kedua kata ini kemudian digabung maka jadilah nastar. Jadi, sebenarnya, nastar itu adalah tart dengan isian selai nanas. Dalam Bahasa Inggris, nastar sering disebut pineapple tarts atau pineapple nastar roll.
Resep nastar terinspirasi dari pie yang dibuat di dalam loyang besar berisi blueberry, strawberry atau pun apel. Ketika orang Eropa atau Belanda berada di Indonesia mereka kesulitan menemukan buah-buahan tersebut, maka terpikir untuk mencari alternatif lain. Maka kemudian ditemukanlah nanas yang memiliki citarasa manis, asam, dan segar, mirip dengan strawberry dan apel.
Seiring berjalannya waktu, nastar mengalami banyak modifikasi. Jika di Belanda bentuk aslinya dibentuk di dalam loyang-loyang besar, maka di Indonesia dibuat dalam bentuk bulatan seperti tomat, dalam ukuran sekali dimakan saja. Menurut seorang pakar pastry di Indonesia, Chef Yongki Gunawan, nastar tidak termasuk dalam kue kering, tetapi digolongkan dalam kelompok cake. Â Hal ini dikarenakan teksturnya yang lembut dan lembab, dan tidak kering dan renyah seperti kue kering pada umumnya.
Selain rasanya yang lezat ternyata kue nastar memiliki filosofi tersendiri. Etnis Tionghoa menyebut nastar sebagai Ong lai atau Pir Emas yang dipercaya sebagai simbol kemakmuran dan rezeki. Karena itu nastar juga menjadi sajian kudapan pada saat perayaan Imlek.
2. Kastengels
Masih dari laman indonesianchefassociation.com, Kastengel berasal dari kata Bahasa Belanda yaitu kass (keju) dan stengels (Batangan). Jadi, secara etimologis Kastengels berarti kue keju batangan. Kastengels juga bisa diartikan sebagai cheese fingers dikarenakan rasa kejunya dan bentuknya yang memanjang seperti jari. Adonan kue ini terdiri dari tepung terigu, margarine, telur, dan parutan keju.
Aslinya, kastengels memiliki panjang hingga 30 cm, bisa disajikan seperti baguette atau roti Prancis, disantap dengan sup atau salad. Akan tetapi, ketika di Indonesia, orang-orang Belanda kesusahan untuk menemukan oven berukuran besar, sehingga kemudian untuk menyiasatinya dibuatlah bentuknya menjadi lebih pendek sekitar 3 -- 4 cm dan lebar 1 cm.
Ada satu hal yang uni dari kue ini. Di kota Krabbedijke, kastengels pernah menjadi alat tukar layaknya uang. Kastengels dibarter dengan barang lainnya karena dianggap sebagai makanan berharga akibat dari komposisinya yang berasal dari keju mahal.
3. Klapertart
Klapertart berasal dari dua kata Bahasa Belanda, yaitu Klapper dan taart. Klapper berarti kelapa, dan taart  berarti kue. Jadi secara harafiah klappertaart berarti kue kelapa.
Menurut sejarah, pada saat Belanda mendarat di Minahasa mereka menemukan kenyataan bahwa Minahasa adalah daerah penghasil kelapa. Maka kemudian mereka berpikir bagaimana caranya memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk menghasilkan camilan yang lezat.Â
Karena bagi bangsa Belanda, kebutuhan akan kuliner yang 'ramah' bagi lidah mereka menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi mereka harus bisa bertahan hidup, di sisi lain keadaan di negeri jajahan jauh berbeda dari negara mereka di Eropa. Baik dari segi iklim, maupun komoditi alamnya. Karena itu satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan memodifikasi bahan baku tanpa mengurangi cita rasa aslinyaÂ
Klapertart dibuat dari bahan dasar kelapa muda bersama campuran tepung, susu, mentega, dan telur, ditambah cincangan kacang kenari, kismis dan kemudian di atasnya dihiasi dengan taburan kayu manis, potongan kacang dan kismis. Rasanya yang manis dan lembut ditambah aroma kayu manis membuat siapa saja yang pernah menyantapnya akan jatuh cinta.
Kue ini dapat dimasak dengan cara dipanggang atau dikukus. Dapat disajikan dalam bentuk panas atau pun dingin. Dapat dicetak dalam bentuk loyang kecil atau pun besar. Jika ditaruh di dalam lemari pendingin dapat bertahan selama 3 hari. Saat ini, varian rasa klapertart  semakin banyak. Selain rasa original, kini dimodifikasi menjadi aneka rasa seperti rasa durian, nangka, coklat, keju, hingga green tea.
Meskipun kudapan ini warisan dari Belanda, namun sekarang Klapertart telah menjadi ikon kuliner Manado. Bersama 30 ikon kuliner Nusantara yang lain, Klapertart telah disahkan menjadi salah satu Ikon Kuliner Nusantara yang disahkan oleh Kementerian Pariwisata pada tahun 2012.
Begitulah sejarah Nastar, Kastengels dan Klapertart, kudapan warisan penjajah. Ketiga kue ini bukan lagi menjadi makanan mewah, tetapi dengan sangat mudah kita temukan di seantero Indonesia, tentu saja dengan citarasa Nusantara.
Satu hal yang bisa kita petik dari sejarah panjang ketiga kue ini adalah bahwa dari sesuatu yang buruk, kita bisa memperoleh yang baik. Dari jaman penjajahan yang kelam dan penjajah Belanda yang bengis dan kejam, kita mendapatkan berbagai warisan kuliner yang dapat kita nikmati sampai hari ini.
Begitu juga kehidupan 'kan, seringkali berkat datang dari sebuah kemalangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H