Oleh: Aurelius Teluma
Jika bangsa ini terus memperlakukan PKI sebagai "hantu" maka selamanya isu PKI akan menghantui. Harusnya, jika ingin berdamai dengan masa lalu kelam akibat berbagai intrik termasuk kontribusi PKI, maka isu PKI harusnya dijadikan diskursus!
Parahnya lagi, jika di zaman Orde Baru hantu PKI dipelihara oleh penguasa, sejak Reformasi, hantu ini tak lagi punya majikan. Tak bertuan. Akibatnya, isu itu boleh ditunggangi siapa pun untuk menggiring perhatian massa (bukan publik!) kepada kepentingan dirinya, golongannya atau kelompoknya. Kepentingan itu cuma satu, kekuasaan politik.Â
Jadi, jika di Orde Baru isu PKI menjadi alat mempertahankan dan melipatgandakan kekuasaan, maka di zaman ini, menjadi alat  menarik simpati dan menggalang massa menuju kursi kekuasaan. Dengan begini, maka harapan melihat ulang sejarah kehadiran PKI termasuk dalam G 30 September 1965 menjadi sulit bahkan mustahil.
Jalan terbaik adalah dengan menjadikan isu dan fakta sejarah kelam itu sebagai diskursus. Artinya, segala perspektif, narasi dan opini dibiarkan berdiskusi di ranah akademis bahkan publik agar semakin banyak sudut pandang yang diketahui khalayak. Korban, pelaku, penguasa, bahkan pengamat sekalipun harus dipandang sebagai titik-titik yang bertemu untuk berdiskusi, bukan untuk saling menakut-nakuti.Â
Kini, film tentang G 30 September 1965 itu kembali dianjurkan ditonton massal setelah dilarang sejak Reformasi bergulir. Sementara itu, sejumlah film tentang topik yang sama dengan perspektif yang berbeda malah begitu sepi dari perhatian publik bahkan dilarang. Bagaimana bisa terbangun diskursus?Â
Membiarkan topik PKI di luar diskursus berarti kita tetap menjadikannya sebagai "hantu" dalam dinamika politik tanah air. Tetapi karena tak lagi bertuan, hantu isu PKI itu akan ditunggangi para elit politik oportunis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H