Judul Buku : Revolusi dari Desa
Penulis : Dr. Yansen TP., M.Si
Editor : Dodi Mawardi
Penerbit : PT Elex Media Komputindo
Cetakan : 1, 2014
Tebal : xxviii, 180 halaman
Revolusi dari Desa: Berguru kepada Kabupaten Malinau
Indonesia ini ibarat sebuah negeri impian di dalam dongeng. Ungkapan penulis ini mungkin terdengar klise atau terkesan bombastis. Tetapi, kalau kita coba renungkan lebih dalam, barangkali ungkapan tersebut sebetulnya cocok untuk membahasakan keistimewaan Indonesia.
Penulis mengingatkan kita bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahkan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya manusianya pun tidak kalah besarnya, negara nomor empat dengan penduduk terbanyak di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Semangat demokratis, gotong-royong, toleransi dan kekeluargaan, serta berbagai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat, juga menjadi modal sosial yang tak ternilai harganya.
Seluruh keistimewaan itu idealnya bisa menjadi modal yang bagus bagi pembangunan Indonesia yang berorientasi dan bermuara kepada terciptanya kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, harapan ini jauh panggang dari api. Dengan berbagai kelebihan dan keistimewaan di atas, jurang kemiskinan malah semakin lebar dan sebagian besar masyarakat menjadi sangat termarjinalkan.
Penulis pun mengajukan pertanyaan besar yang sangat relevan: why poor people stay poor? Mengapa penerapan berbagai konsep, strategi, paradigma, atau pendekatan pembangunan selama ini belum membuahkan hasil yang signifikan bagi masyarakat? Mengapa elite-elite lokal dan birokrasi pemerintahan daerah yang selama ini telah bekerja keras belum mampu memberikan hasil yang memadai bagi peningkatan kesejahteraan rakyat?
Akar dari fakta buram itu adalah penerapan konsep pembangunan yang keliru dan tidak masuk akal. Paradigma pembangunan yang lazim selama ini adalah menempatkan masyarakat sebagai objek dan sebagai pihak yang lemah. Pola perencanaan pembangunan umumnya memakai pendekatan dari atas (topdown planning). Pemerintah berfungsi sebagai pemegang kekuasaan dan penentu tunggal perencanaan pembangunan, bukan rakyat. Pemerintah seringkali menganggap kebijakannya sudah tepat, padahal yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi miris tersebut tidak pernah disadari, sehingga terus berulang terjadi.
Penulis tak segan menilai bahwa pemerintah hanya menampakkan ‘kesan’ memiliki tanggung jawab yang besar kepada rakyat dan hanya bersikap memelihara kewibawaannya dalam menjalankan tugas mulia untuk membangun masyarakatnya. Mungkin pemerintah memang telah bekerja keras untuk memerangi kemiskinan tetapi kerja keras itu tetap melahirkan kemiskinan secara terstruktur yang tidak pernah berubah dari keadaan sebelumnya. Sejak kemerdekaan sampai saat ini pemerintah hanya sukses menjalankan dan menghidupkan birokrasi pemerintahan.
Pertanyaannya, bagaimana mengatasi persoalan sistemik di atas? Penulis memiliki resep jitu, yaitu pelibatan masyarakat dalam pembangunan. Pelibatan itu sekaligus berarti memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Dalam konteks ini peran pemerintah (daerah) hanyalah membimbing, mengarahkan, sekaligus memberi dukungan penuh melalui segenap potensi sumber daya yang dimiliki, termasuk dalam hal dukungan dana. Selebihnya, pemerintah harus membiarkan masyarakat mengelolanya secara mandiri tanpa tekanan apapun.
Paradigma pembangunan yang menekankan partisipasi aktif masyarakat itu dikemas dengan nama “Gerakan Desa Membangun” (GERDEMA), sebuah Revolusi dari Desa. Menurut penulis, syarat dan tuntutan mutlak dari Gerakan Desa Membangun adalah perubahan yang sistematis dan menyeluruh, mulai dari perubahan pada sistem nilai, cara pandang dan perilaku budaya, dan harus benar-benar teraplikasi secara nyata dalam semua perilaku, baik perilaku birokratis, pejabat fungsional maupun perilaku personal, yaitu perilaku masyarakat, perilaku para birokrat (PNS) maupun pelaku ekonomi atau para wiraswasta, serta seluruh stakeholder atau pemangku kepentingan di daerah.
Seperti apa wajah konkret dari Revolusi dari Desa itu? Revolusi dari desa merupakan sebuah gerakan dari bawah, yang juga dapat bermakna gerakan dari rakyat, untuk kesejahteraan rakyat itu sendiri. Inti pembangunan dalam ide besar ini adalah memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada rakyat dengan kesadaran bahwa pembangunan itu harus berasal dari rakyat, pembangunan itu harus dilakukan oleh rakyat, pembangunan itu harus bermanfaat untuk rakyat. Karena hampir semua masalah pembangunan terletak di desa, maka fokus pembangunan harus dimulai dari desa. Desa sebagai pusat titik perhatian dan tempat gerakan dari pembangunan.
GERDEMA atau Revolusi dari Desa ini tidak hanya berhenti pada gagasan teoritis, tetapi sudah dipraktekkan oleh penulis sendiri yang juga menjabat sebagai Bupati Kabupaten Malinau. Bagaimana dan seperti apa detail implementasi GERDEMA di Kabupaten Malinau pembaca bisa menemukannya di Bab 2 hingga Bab 6 buku ini. Blue print dan proses implementasi GERDEMA akan ditemukan secara gamblang dan lengkap di sana.
Penulis yang juga menjadi pelaku dan pelopor GERDEMA mengakui banyak tantangan yang dihadapi dalam implementasi model pembangunan dari desa ini. Yang paling krusial adalah menghadapi situasi kemapanan, perilaku mental, budaya dan mindset yang lama, seperti suka dilayani, suka dihormati, suka berkuasa (feodal), dan ego sektoral dari jajaran pemerintahan (para teknokrat). Namun, sikap sinis, bahkan penolakan dari beberapa pihak tersebut tak menyurutkan langkah dan tekad penulis untuk memperjuangkan dan menerapkan secara konkret konsep Gerakan Desa Membangun tersebut.
Jejak kesuksesan GERDEMA bisa temukan di Bab 7 buku ini. Hasil pelaksanaan GERDEMA diukur berdasarkan 12 indikator, yaitu perencanaan desa, alokasi dana yang langsung dikelola desa, sumber pendapatan desa, kinerja aparatur, pelaksanaan tugas-tugas pemerintah desa, peran dan hubungan antar lembaga desa, pertanggungjawaban keuangan desa, partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan, dampak kebijakan, percepatan pembangunan desa (infrastruktur, SDM, ekonomi kerakyatan, dan reformasi birokrasi), pola pikir aparat kecamatan dan kabupaten, dan prinsip penyusunan APBD. Tabel (bdk. hal. 165-169) yang berisi pembanding kondisi Kabupaten Malinau sebelum dan sesudah pelaksanaan GERDEMA sangat membantu pembaca untuk melihat pencapaian-pencapaian gerakan Revolusi dari Desa ini.
Menurut peresensi, buku ini termasuk buku bagus, mungkin 25 tahun mendatang akan menjadi buku klasik. Sistematika penulisannya runut, isinya pun relevan dan kontekstual untuk Indonesia. Keistimewaan dan keunggulan utama buku ini adalah ditulis oleh pencetus, pelopor, dan pelaku Gerakan Desa Membangun itu sendiri. Ia tidak hanya mendeskripsikan teori, tetapi juga menceritakan bagaimana teori itu dipraktekkan di Kabupaten Malinau dan menuai sejumlah kesuksesan. Tidak keliru kalau kemudian kita mendorong dan berharap pemimpin-pemimpin daerah laindi Indonesia bisa berguru dan belajar kepada Kabupaten Malinau dan tidak perlu melakukan studi banding ke luar negeri.
Buku ini wajib dibaca oleh para pemangku kebijakan seperti para kepala daerah dan anggota legislatif, para birokrat, politisi, pengamat, aktivis, akademisi, mahasiswa, dan bahkan masyarakat umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H