Dua rival, Prabowo dan Jokowi, yang terlibat perang urat syarat beberapa bulan terakhir akhirnya bersua muka lagi kemarin (Jumat, 17/10/2014). Dalam jumpa pers pasca pertemuan yang berlangsung dalam jangka waktu super singkat, 15 menit, dua tokoh tampak saling menghormati satu sama lain. Ucapan selamat, yang sesekali diselip tutur puja-puji, untuk Jokowi meluncur (tampaknya) tanpa beban dari mulut Prabowo. Ya, inilah salah satu momen penting dari dinamika persaingan pilpres 2014. Perjumpaan dua rival ini adalah rekonsiliasi simbolis dan nyata yang diharapkan mampu mengademkan suasana dan dinamika politik di tanah air.
Kalau kita mau utak-atik lebih jauh kalkulasi politis pertemuan kedua tokoh ini dari perspektif (kepentingan) Prabowo, mungkin ada baiknya kita memulai dengan pertanyaan klise ini: apa sih yang membuat Prabowo mau bertemu dan memberi selamat untuk kemenangan Jokowi? Apa sekedar mau menunjukkan sikap legowo (walaupun dari sisi waktu bisa dibilang sudah telat)?
Pertanyaan itu sebenarnya sudah dijawab oleh Prabowo. Alasannya simpel dan relevan. Mantan Danjen Kopassus ini tidak ingin negara dan masyarakat terpecah belah. Ia ingin masyarakat kembali bersatu dan mendukung secara kritis pemerintahan terpilih. Dalam linimasa page Facebook-nya, Prabowo tegaskan fitrah politiknya secara gamblang. “Dalam berpolitik saya selalu mengutamakan keutuhan bangsa dan kejayaan Republik Indonesia,” ujarnya.
“Setelah saya renungkan mendalam, saya melihat di pihak PDIP dan koalisi mereka masih banyak patriot-patriot, anak-anak Indonesia yang juga cinta bangsa dan negara dan rakyat. Karena itulah saya memilih untuk terus berjuang untuk nilai-nilai yang kita pegang teguh yaitu Pancasila, UUD 1945 yang utuh dan asli, NKRI dari Sabang sampai Merauke yang kuat, yang adil, yang sejahtera, yang berdiri di atas kaki kita sendiri dan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika,” tegasnya.
Pertanyaannya, apakah hanya itu pertimbangan Prabowo mau menerima kunjungan Jokowi? Kalau jawabannya “ya”, obrolan kita cukup sampai di sini saja. Tidak ada yang perlu dibahas lebih jauh lagi. Tetapi kalau jawabannya “tidak”, mari kita lanjutkan diskusinya dan coba melihat beberapa perspektif lain yang mungkin relevan untuk membaca sikap Prabowo.
Orang sering bilang, politik adalah the art of possibility. Ada beberapa kemungkinan lain yang menjadi alasan Prabowo legowo dengan kemenangan Jokowi. Pertama, mantan menantu mendiang Soeharto ini sadar bahwa “sikap tidak menerima kekalahan” akan memunculkan antipati publik. Survei LSI beberapa waktu lalu menunjukkan fakta bahwa 93% publik ingin capres siap terima kekalahan. Hasil survei ini memang hanya menunjukkan harapan publik, bukan antipati publik. Tetapi paling tidak, hasil telisik pendapat publik itu bisa jadi “warning” atau "alarm" bagi Prabowo. Mau tak mau, ia akhirnya perlu mempertimbangkan aspirasi publik tersebut, sebab kalau tidak, bisa mengancam reputasi dan masa depan politiknya sendiri.
Kedua, Prabowo ingin menepis kesan bahwa Koalisi Merah Putih, melalui parlemen, ingin mengganjal dan merong-rong pemerintahan Jokowi. Dinamika dan proses politik di parlemen sejauh ini memang memberi kesan seolah-olah Koalisi Merah Putih sedang melakukan politik balas dendam dan ingin menunjukkan superioritasnya atas Koalisi Indonesia Hebat yang digalang PDIP. Ingat, “politik balas dendam” biasanya berasosiasi negatif. Nah, langkah politik yang berasosiasi negatif ini biasanya tidak disukai oleh masyarakat. Hanya orang aneh yang setia memilih dan mendukung partai yang citranya negatif, bukan?
Prabowo tentu menyadari, dinamika dan proses politik yang ditunjukkan Koalisi Merah Putih di parlemen akan berdampak bagi citra dan elektabilitas Partai Gerindra yang dipimpinnya. Kesediaannya untuk bertemu Jokowi merupakan langkah awal untuk membangun kesan positif bagi kiprah Partai Gerindra di Senayan. Perintah Prabowo agar Gerindra mendukung pemerintahan Jokowi menjadi indikasi kuat langkah Prabowo tersebut.
Ketiga, Prabowo mungkin membaca bahwa ada anggota partai Koalisi Merah Putih yang sedang mengambil keuntungan, bahkan memiliki agenda terselubung, dan hanya memanfaatkan dirinya dan Gerindra. Toh, dalam politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Pertarungan politik yang saat ini sedang berlangsung, terutama di parlemen, memang tidak banyak menguntungkan Partai Gerindra. Hal itu terlihat dari komposisi pimpinan DPR dan MPR yang lebih banyak dinikmati oleh kader-kader partai Koalisi Merah Putih yang lain. Kader-kader Gerindra justru tenggelam dan berada di bawah bayang-bayang kader-kader partai lain.
Itu memang konsekuensi dari kontrak politik yang sudah mereka teken, tapi ya, tentu saja rugi untuk Gerindra. Kalau sudah begitu, untuk apa ngotot tidak ingin bersua secara langsung dengan rival seperti Jokowi, bukan? Selain menampilkan sikap elegan seorang pemimpin, kesediaan untuk bersilaturahmi dengan Jokowi merupakan investasi politik Prabowo untuk 2019 atau 2024. Ini lumrah kok dalam politik. Bukan sesuatu yang tabu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H