Di tengah berbagai kelemahan dan kekurangan yang banyak dilontarkan beberapa kalangan selama ini, langkah KPK yang menetapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi patut diacungi jempol.
Sebagaimana dirilis Kompas.com (Senin, 21/04/2014), Hadi diduga melakukan penyalahgunaan wewenang saat menangani permohonan keberatan Bank Central Asia (BCA) selaku wajib pajak pada 2003, dimana saat itu Hadi dalam kapasitas sebagai Direktur Jenderal Pajak 2002-2004.
Atas dugaan menyalahi prosedur dengan menerima surat permohonan keberatan pajak BCA tersebut, Hadi diganjar dengan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP (baca di sini).
Yang mengherankan adalah tanggapan anggota Komisi III DPR dan Wasekjen PKS Fahri Hamzah. Menurutnya, ada motif lain langkah KPK pada Hadi ini (baca di sini). Apa saja itu? Pertama, BPK kabarnya sudah menyerahkan hasil hasil audit atas penindakan KPK ke Komisi III DPR RI. Dalam audit kinerja itu ditemukan banyak masalah di KPK. Dalam konsep Fahri, penetapan tersangka untuk Hadi adalah bentuk balas dendam KPK. Ini jelas argumen sumir dan asal jeplak sebab KPK tidak mungkin menetapkan seseorang tanpa bukti yang cukup. "Balas dendam" itu bukan bukti hukum, kan?
Kedua, status tersangka untuk Hadi dinilai Fahri merusak BPK secara institusi. Pasalnya KPK mengumumkan status tersangka pada hari aktivitas Hadi di BPK belum selesai dan Hadi tidak pernah diperiksa. Logika Fahri di sini terbalik. Yang merusak citra BPK itu sebetulnya Hadi, bukan KPK. Lagi-lagi ini logika berpikir ngawur dan asalan.
Ketiga, Fahri menilai pemicu kasus penetapan tersangka untuk Hadi dipicu oleh adanya audit BPK yang tak pernah tuntas ditangani KPK seperti Century, Hambalang, SKK Migas, Flu burung dan lain-lain. Pertanyaannya, dimana hubungan kausalnya yang membuat KPK harus menetapkan Hadi sebagai tersangka? Lagi-lagi, ini cara berpikir Fahri yang tidak bermutu.
Kritik serampangan Fahri ini mengingatkan saya pada beberapa argumen yang disampaikannya di acara Indonesia Lawyers Club. Argumennya sebagian tidak nyambung dan juga asal jeplak. Tampaknya, pendapat Fahri untuk KPK memang didasarkan pada rasa dendam dan benci lantaran sang mantan presiden PKS ambruk dihantam pisau hukum KPK.
Sikap Fahri ini jelas bertentangan dengan posisinya sebagai wakil rakyat yang seharusnya mendorong dan menyokong pemberantasan korupsi, termasuk tindakan pemberantasan yang dilakukan KPK. Amat memprihatinkan. Mungkin sebagian kader PKS memang pro-korupsi dan sayang PKS sebagai institusi malah membiarkan sebagian kadernya berbicara serampangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H