Mohon tunggu...
Relly Jehato
Relly Jehato Mohon Tunggu... Penulis - Senang Menulis

.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Foke-Nara yang Tersandera

27 Agustus 2012   09:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:16 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertarungan menuju pemilihan umum gubernur DKI Jakarta Putaran II makin panas saja. Seperti diketahui, dua pasangan calon yang sukses masuk ke putaran ke-2 ini adalah pasangan Foke-Nara dan Jokowi-Ahok. Tim sukses dari dua pasangan calon ini berjibaku membujuk publik agak memilih calon yang diusungnya. Hal ini bisa kita baca dan saksikan melalui berbagai pemberitaan media. Dinamika seperti itu memang wajar. Begitulah riil politik wacana dan kekuasaan.

Hanya saja, yang patut disayangkan adalah geliat dukung-mendukung sebagian orang dan kelompok tertentu yang justru mencederai prinsip fair, jujur, dan bertanggung jawab dalam merayu suara rakyat. Salah satu contoh yang paling berbahaya adalah penggunaan isu SARA. Isu seperti ini sangat provokatif dan berpotensi menyulut emosi yang mampu melahirkan sikap-sikap anarkis. Yang tidak kalah memprihatinkan adalah politisasi derita rakyat seperti masalah kebakaran. Dan masih banyak yang lainnya.

Fokus perhatian kita barangkali lebih terarah kepada kampanye-kampanye hitam seperti di atas. Tapi, jangan lupa satu hal, yaitu geliat partai politik (parpol) di pemilihan gubernur ini. Untuk sebuah pemilu yang demokratis, keberadaan partai politik itu mutlak. Ia merupakan instrumen yang melekat kuat dan tidak bisa dilepas-pisahkan dalam sistem demokrasi.

Namun, persoalannya, parpol saat ini semuanya pragmatis, oportunis, dan menipu rakyat. Persepsi masyarakat terhadap parpol pun buruk dan dianggap sebagai lembaga yang koruptif. Hal ini ditunjukan oleh sejumlah survei. Dalam konteks ini, menurut saya, parpol menjadi bahaya laten, baik bagi para calon gubernur, maupun untuk rakyat.

Sayangnya, pasangan Foke-Nara merupakan pasangan yang paling banyak didukung partai. Sebut saja Demokrat, PPP, PAN, Golkar, dan PKS. Sulit untuk dibantah bahwa koalisi yang dibangun adalah koalisi transaksional. Bahkan isu soal mahar berhembus sangat kencang. Begitu pun dengan soal jatah-jatah jabatan strategis. Transaksi ini cenderung akan membuat elite politik ini lupa akan nasib rakyat.

Yang menarik, walaupun Jokowi-Ahok didukung PDIP dan Gerindra, tapi jauh-jauh hari Jokowi tegaskan bahwa dia tidak akan mau disetir oleh partai yang mengusungnya. Dan tuntutan Jokowi ini diterima oleh elite politik PDIP dan Gerindra. Hal sebaliknya terjadi pada Foke-Nara. Tidak ada penegasan bahwa Foke tidak akan tunduk pada kekuasaan partai-partai yang mendukungnya.

Berangkat dari fakta di atas, bisa disimpulkan bahwa pasangan Foke-Nara sekarang ini tersandera oleh partai-partai politik pengusung. Kalau terpilih, nasib pasangan ini barangkali akan seperti Presiden SBY yang tidak punya nyali mengambil keputusan politik yang tegas dan berpihak kepada rakyat ketika berhadapan dengan elite-elite dari partai politik yang menjadi anggota koalisi pemerintahannya. Ini merupakan bencana besar bagi rakyat, khususnya rakyat DKI Jakarta.

Namun, saya kira Foke-Nara masih memiliki kesempatan untuk sampaikan kepada rakyat pemilih komitmen untuk tidak tunduk kepada partai-partai pengusungnya. Siapa tau ada rakyat atau pemilih yang terbujuk dengan komitmen tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun