Suksesi pemilu presiden berikutnya, pasca rezim SBY-Boediono, akan berlangsung tahun 2014. Bagi masyarakat awam, tahun 2014 itu masih lama. Tapi, bagi para politikus, tahun tersebut sudah di depan mata. Tidak perlu heran bila gegap gempita wacana capres-cawapres tahun 2014 berseliweran di media dan mulut-mulut elite politik.
Salah satu orang yang digadang-gadang menjadi calon orang nomor satu di Republik ini adalah Ketua Umum Partai Golongan Karya Aburizal Bakrie, yang akrab disapa Ical. Setidaknya dia dijagokan oleh partai Partai Golkar yang dipimpinnya. Merespon dukungan ini, Ical pun mulai bergerilya mencari kekuatan yang dianggap mampu menyokong ambisinya jadi presiden. Sejauh ini, sejumlah purnawirawan jenderal telah berhasil dirangkul Ical (baca di sini).
Para purnawirawan jenderal yang dimaksud adalah Jenderal (purnawirawan) Luhut Panjaitan, Jenderal (purnawirawan) Subagyo Hadisiswoyo, Jenderal (purnawirawan) Fahrul Rozi, Letnan Jenderal (purnawirawan) Johny Lumintang, Letnan Jenderal (purnawirawan) Sumardi, Letnan Jenderal (purnawirawan) Agus Widjojo, dan Letnan Jenderal (purnawirawan) Suaidi Marasabessy. Bahkan Kepala Staf Angkatan Darat, Pramono Edhie Wibowo, yang adalah adik kandung Ani SBY, juga disebut-sebut diincar Ical untuk menjadi calon wapresnya (baca di sini)
Pertanyaannya, apakah ini akan menjadi garansi Ical akan menang pada pilpres 2014 itu? Saya kira tidak. Itu tidak menjadi jaminan. Para jenderal yang dirangkul itu bukanlah figur-figur publik yang populer. Paling banter mereka lebih terkenal di kalangan para tentara. Mungkin pangkat “jenderal” itu memang menjadi nilai lebih, soalnya persepsi publik terhadap seorang jenderal selalu dikaitkan dengan sosok yang, antara lain tegas, kuat, gesit, berwibawa, memiliki jiwa kepemimpinan, dan seterusnya. Namun, publik akan sadar bahwa gambaran seperti itu tidak selalu benar. Sosok Presiden SBY menjadi contoh untuk itu. Dia sering dikritik karena dianggap lamban, lembek, dan tidak tegas.
Persoalan yang jauh lebih rumit adalah rekam jejak Ical sendiri. Ia tidak akan lepas dari belitan sejumlah kasus yang diduga terkait dengan bisnis Bakrie Group. Kasus dugaan penggemplangan pajak dan masalah lumpur Lapindo bisa kita ambil sebagai contoh. Berkali-kali memang Ical menegaskan bahwa bisnis Grup Bakrie tidak ada kaitannya dengan kiprahnya di dunia politik. Namun, bantahan itu absurd bagi publik. Tambahan lagi, bukan tidak mungkin lawan politiknya bahkan akan menjadikan sejumlah kasus itu sebagai bahan “kampanye hitam”.
Kalau memakai analisis seperti di atas, kehadiran para jenderal tidak akan mampu meloloskan Ical sebagai the next presiden. Tapi, politik itu elastis, felksibel dan susah untuk diduga. Politik adalah the art of possibility. Bisa saja Ical akan sukses meraih ambisinya menjadi presiden RI. Dengan bantuan para mantan jenderal, ia menjadi orang RI-1 pertama di negeri ini yang berasal dari lingkaran “pengusaha”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H