Mohon tunggu...
Relly Jehato
Relly Jehato Mohon Tunggu... Penulis - Senang Menulis

.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Teror dan Kematian Empati

21 Mei 2018   21:17 Diperbarui: 22 Mei 2018   01:26 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prinsip-prinsip "menilai" itulah yang sepi dari tindakan Adolf Eichman. Dia hanya tunduk pada doktrin Hitler. Bagai mesin mati yang tidak punya hati. Patuh tanpa bantahan. Dampaknya, jutaan nyawa hilang. Atas kejahatannya ini, dia kemudian dihukum mati dan digantung saat tengah malam 31 Mei 1962 di Israel.

 Lantas, apa hubungannya dengan para pelaku teror atau teroris? Pengalaman Ecihmann jelas banyak berbeda dengan para pelaku teror yang menghantui kita dua pekan terakhir ini. Tetapi, kesamaan antara mereka adalah soal kepatuhan pada doktrin. Mereka sama-sama tidak punya kemampuan untuk "menilai", juga mati rasa, dan tidak memiliki empati.

Dalam artikel 'The Psychology of Terrorism' di Psychologytoday, Steve Taylor, dosen senior di bidang psikologi di Leeds Metropolitan University Inggris, mengatakan apa membuat teroris berbeda adalah kemampuan mereka untuk "mematikan" rasa empati demi keyakinan dan tujuan yang ingin mereka capai (baca di sini).

Berdasarkan deskripsi di atas, saya berkesimpulan, teror bom bunuh diri tidak terutama disebabkan oleh masalah kemiskinan, ketidakadilan, atau bahkan ideologi, tetapi pada  "lemahnya kemampuan untuk menilai dan minimnya perasaan empati" dari para pelaku. Kita sedang menghadapi robot atau mesin yang mati rasa.

Jadi, masalah teror itu terutama ada pada masing-masing pelaku. Persoalan kemiskinan, ketidakadilan, ideologi, atau politik hanyalah pelengkap. Mengapa? Kalaupun miskin, tapi jika punya empati, bom bunuh diri itu tidak akan terjadi. 

Kalaupun menjadi korban ketidakadilan, tetapi kalau orang itu memiliki perasaan empati dan mempu menilai tindakannya, membunuh orang-orang yang tak bersalah itu mustahil dilakukan. Kalau empati manusiawi itu ada, indoktrinasi ideologi yang menghalalkan pembunuhan tidak akan mempan merasuki  jiwa dan tubuh para pelaku teror.

Deretan kesimpulan logis bisa kita perpanjang. Tapi, saya kira tidak perlu diuraikan secara detail di sini. Pesan pentingnya, proses deradikalisasi dan deindoktrinasi terhadap para pelaku teror baiknya juga memperhatikan dan menyentuh masalah yang terkait dengan empati dan kemampuan untuk menilai tindakan ini.

Dengan kata lain, menghidup-kembangkan perasaan empati dan melatih kemampuan untuk menilai tindakan perlu masuk dalam materi proses deradikalisasi dan deindoktrinasi para tahanan teroris yang saat ini jumlahnya sudah mencapai ratusan orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun