Bengkulu, sudah sejak dulu daerah ini dikenal sebagai penghasil batu bara dan komoditas perkebunan. Kopi, kelapa sawit, dan karet, adalah produk unggulan perkebunan Bengkulu yang sampai saat ini masih menjadi primadona. Sayangnya, potensi besar ini tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai. Akibatnya, arus distribusi menjadi tersendat dan berpengaruh pada biaya produksi.
Berbicara mengenai infrastruktur pendukung, jalanlah yang paling terkait erat dengan pengangkutan hasil bumi di Bengkulu. Sebagai contoh, ketersediaan kopi, sawit, atau karet di daerah lain pasti dibutuhkan dalam waktu cepat dan terus menerus. Jika kondisi jalan mulus, maka keinginan tersebut akan sangat mudah diwujudkan, tapi dalam keadaan jalan buruk, pasokan pun menjadi terlambat. Dalam dunia bisnis, tentu ini sangat merugikan.
Bukanlah sesuatu yang aneh melihat jalan rusak di Bengkulu. Bahkan ada anekdot di tengah warga yang kembali dari luar kota melalui jalur darat. Kendaraan dipastikan sudah memasuki kawasan Bengkulu bila berguncang karena menabrak lubang di jalan. Pemandangan jalan berlubang bisa dipastikan selalu ada di setiap ruas jalan di kota dan kabupaten. Alhasil, tidak hanya mempengaruhi arus lalu lintas barang dari dan ke Bengkulu, atau distribusi antar kota dan kabupaten di Bengkulu, keresahan pun terjadi pada masyarakat pengguna kendaraan bermotor.
Pada malam hari lubang tidak tampak karena kurangnya penerangan, dan ketika hujan, lubang tergenang air sehingga tidak tahu berapa kedalamannya. Tidak jarang ini mengakibatkan celaka. Jika keadaan tersebut dibiarkan berlarut, entah kapan Bengkulu akan sejajar dengan daerah lain, khususnya di Pulau Sumatra.
Buruknya infrastruktur jalan di Bengkulu ini diakui oleh Gubernur Bengkulu. Dalam tatap mukanya dengan Komisi VII DPR RI, 1 Agustus 2016, beliau menyampaikan bahwa kondisi jalan yang lumayan baik di Bengkulu hanya sekitar 52 persen. Sisanya, sangat memprihatinkan. Inilah yang menurutnya menjadi penyebab kemiskinan di Bengkulu.
Seperti yang sudah di ketahui, kelas jalan yang ada di Bengkulu didominasi oleh jalan kelas III dengan kapasitas maksimal MST 8 ton. Tetapi tidak ada pemisahan antara jalan publik dan jalan angkutan barang, sehingga bukanlah pemandangan aneh melihat truk-truk besar berisi sawit atau batu bara melintas di antara kendaraan-kendaraan pribadi di ibukota Provinsi Bengkulu. Hasilnya, tidak perlu waktu lama untuk kembali melihat kerusakan jalan setiap selesai diperbaiki.
Pembangunan jalan lingkar ini merupakan rencana lama yang pengerjaannya sengaja ditunda karena belum sepakatnya pihak pemerintah dengan warga yang daerahnya akan dilalui jalan lingkar. Isu tentang kerusakan lingkungan adalah alasan utamanya. Warga khawatir akan kehilangan daerah resapan airnya, yaitu kawasan Danau Dendam Tak Sudah, padahal pemerintah sudah menjamin bahwa jalan yang akan dibangun tidak sedikitpun menyentuh jalur air. Keresahan ini sesungguhnya wajar, karena selain sebagai sumber kehidupan, danau ini merupakan cagar alam dan salah satu ikon objek wisata Bengkulu.
Ada alternatif lain, sebenarnya, untuk mengurangi beban jalan sebagai jalur distribusi barang dan jasa, baik antar kota di Provinsi Bengkulu, maupun dari dan ke luar Bengkulu. Sebagai wilayah pesisir, jalur laut adalah solusinya. Namun isu pendangkalan yang masih menjadi kendala utama, dan minimnya dukungan infrastruktur maritim lainnya, membuat Pelabuhan Pulau Baai yang ada Kota Bengkulu belum mampu difungsikan secara maksimal.
Peningkatan kelas jalan, pembangunan jalan lingkar, maupun meningkatkan fungsi pelabuhan laut, adalah piliha upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bengkulu. Efek dari pembenahan infrastruktur ini tidak akan mempengaruhi aktifitas produsen dan konsumen bidang perkebunan dan pertambangan saja, tapi juga mereka yang berkecimpung di bidang lain, termasuk masyarakat umum.